APP menyamarkan deforestasi masa silam di Sumatera

 

Evaluasi independen menemukan kebijakan konservasi hutan perusahaan tak lebih dari sekadar deklarasi
“deforestasi terencana sudah tuntas” di Sumatera
 
Pekanbaru, Sumatra – Satu analisa baru oleh Eyes on the Forest (EoF) menemukan bahwa “kebijakan konservasi hutan”  yang diterbitkan pada Februari oleh salah satu produsen pulp dan kertas terbesar dunia,  Asia Pulp & Paper (APP) dari Sinar Mas Group, tampaknya menjadi upaya lainnya menyembunyikan deforestasi dan kerusakan hutan cukup luas yang diakibatkan oleh perusahaan selama hampir tiga dekade beroperasi di Sumatera.

“Analisa terkini kami menemukan bahwa kebijakan itu melindungi paling banyak 5.000 hektar hutan alam di Provinsi Riau, satu kontras kentara dengan lebih dari 1,4 juta hektar deforestasi yang kami perkirakan disebabkan produksi pulp perusahaan di provinsi ini, ujar Muslim Rasyid dari Jikalahari.
Laporan baru diterbitkan hari ini mengungkapkan bahwa konsesi-konsesi pemasok SMG/APP di Riau sendiri kehilangan lebih dari 680,000 hektar hutan alam antara dimulainya pabrik pengolahan pulp di Riau tahun 1984 dan 2012.  Dari angka itu, 77% hilang karena praktek yan dipertanyakan legalitasnya serta 83% terjadi di habitat harimau dan gajah Sumatera.
“APP di dalam kebijakan yang sangat digembar-gemborkannya saat ini tidaklah berkomitmen memperbaiki hutan alam dan lahan gambut sebagai kompensasi atas kerusakan lingkungan serius yang diakibatkannya di masa silam,” ujar Hariansyah Usman dari WALHI Riau.  Fakta bahwa penyigian Nilai Konservasi Tinggi dan Stok Karbon Tinggi yang diiklankan dilakukan di dalam konsesi-konsesi yang baru saja menuntaskan pembabatan hutan terencana yang membuat nilai dari penyigian ini menjadi nol.”
“Analisa kami menunjuk satu kesimpulan: bahwa APP berpikiran bisa membodohi orang agar  membayangkan keuntungan konservasi besar sembari melengahkan pelanggaran di masa lalu,” ujar Aditya Bayunanda dari WWF-Indonesia. “Masalah kita adalah kita tidak melihat keuntungan konservasi di masa depan yang potensial yang menyeimbangkan isu-isu belum tuntas berakar dari warisan deforestasi APP, emisi gas rumah kaca yang dahsyat, hilangnya habitat satwa liar, dan banyaknya konflik dengan masyarakat yang kehilangan lahan-lahan mereka.”
SMG/APP mengumumkan bahwa kebijakannya sebagai “akhir dari penebangan hutan alam di seluruh rantai pasokan di Indonesia, yang berlaku segera.” Bagaimanapun, menurut Aditya Bayunanda, “Temuan kami menunjukkan bahwa SMG/APP mengumumkan kebijakan karena para pemasok telah menyelesaikan pembabatan hutan alam terencana di Sumatera. 89% hutan alam tersisa tahun silam di konsesi pemasok di Riau yang memang dilindungi undang-undang dan tambahan 8% oleh komitmen perusahaan itu sendiri.” .
Pabrik-pabrik pengolahan pulp APP juga terus menerima dan menghancurkan kayu hutan alam yang ia klaim ditebangi sebelum moratorium yang jatuh tanggal 1 Februari 2013. Ini menciptakan celah dimana para pemasok bisa saja menggunakannya untuk memasukkan kayu ke pabrik dari penebangan baru yang bisa melanggar kebijakan itu. Laporan dari beberapa LSM di Kalimantan Barat pekan lalu soal pelanggaran terhadap kebijakan konservasi hutan APP oleh dua pemasoknya membuktikan keprihatinan bahwa kayu baru saja ditebangi akan terus “dicuci” di dalam pabrik pulp.
Terlepas permintaan berulang soal transparansi oleh Organisasi masyarakat sipil yang menghadiri sejumlah pertemuan “sosialisasi” oleh APP/SMG di Indonesia soal kebijakannya, perusahaan belum jua memberikan detil lengkap soal status hutan alam di konsesi pemasoknya. Perusahaan berdalih, mereka belum memiliki data tutupan hutan untuk semua konsesi dan bahwa tidak ada kesepakatan soal peran jelas dan protokol partisipasi kelompok masyarakat sipil dalam memonitor pelaksanaan kebijakan tersebut.
“Cukup mengejutkan bagi produsen pulp dan kertas untuk tidak memiliki data paling mendasar soal perluasan dan kondisi pasokan kayu di konsesi pemasok mereka. Bahkan cukup mengagetkan bahwa perusahaan berharap pelaporan audit internalnya tanpa verifikasi independen oleh kelompok sipil, yang cukup bagus meyakinkan para pelanggan, dengan pertimbangan pada sejarah komitmen gagal oleh SMG/APP”, kata Aditya Bayunanda. “Hingga kini, tidak ada verifikasi independen sejati soal pelaksanaan apapun.”
“Eyes on the Forest merekomendasikan bahwa para pembeli dan mitra bisnis APP lainnya agar tetap berhati-hati dan tidak berbisnis dengan perusahaan itu,” ujar Muslim Rasyid. “Semua pihak seharusnya meminta SMG/APP meningkatkan kebijakannya guna menerapkan penanganan kehancuran yang mereka sebabkan, memberikan transparansi soal semua kegiatan, termasuk status basis pasokan kayu yang ada serta rencana ekspansinya di Sumatera dan Kalimantan untuk membuktikan bahwa ada   manfaat konservasi nyata pada kebijakan itu.”
EoF menerbitkan analisa laporan soal peta daring interaktif, berdasarkan platform  mesin Peta Google Earth untuk memudahkan para-pihak mengevaluasi sendiri sejumlah aspek kebijakan konservasi hutan baru  SMG/APP dan memantau pelaksanaannya. EoF akan memperbarui database secara berkala dari provinsi lainnya sebagai informasi dan rincian baru soal konsesi yang ada agar bisa tersedia.
Notes for editors:
Untuk informasi selanjutnya, sila kontak:
Muslim Rasyid, Jikalahari ph: +62 812 7637 233
Hariansyah Usman, WALHI Riau ph: +62 812 7669 9967
Nursamsu, WWF Indonesia, Riau-based ph: +62 812 7537 317
Afdhal Mahyuddin, EoF Editor ph: +62 813 8976 8248

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *