Apakah UU Pertanahan dapat Mengikis atau Justru Mewadahi Korupsi Tanah?

Ayu dukung petisi ini untuk mendukung tolak RUU Pertanahan Tolak RUU Pertanahan yang tidak Pro Pelestarian Hutan http://chng.it/JtdB6zprtV

K O R U P S I  T A N A H
Ketidak-adilan bukan akibat kelangkaan tanah, tetapi akibat buruknya tatakelola pertanahan termasuk state capture melalui undang-undang

#By HK, 09072019.

Terkait sedang dibahasnya RUU Pertanahan dan tinjauan saya atas kelemahan RUU itu (Liihat KOLOM TEMPO 7 Juli 2019), narasi ini saya posting kembali yang mungkin dapat sebagai cermin: Apakah UU Pertanahan nantinya dapat mengikis atau justru mewadahi korupsi tanah?

Mengapa tanah menjadi penting dalam transaksi korupsi dan juga rentan terhadap korupsi? Dan mengapa pula saya usul menunda ditetapkannya RUU Pertanahan? ( Lihat di https://www.jpnn.com/news/guru-besar-ipb-usulkan-tunda-pengesahan-ruu-pertanahan )

Karena nilai tanah dapat menjadi pemicu untuk kepentingan yang bersaing atas kontrol kepemilikannya, yang menjadi motivasi utama di balik korupsi tanah. Setiap jengkal tanah, mempunyai nilai alami tanah. Nilai alami itu berasal dari kemampuannya memenuhi berbagai kebutuhan manusia: pertanian, perumahan, perkebunan, pertambangan, dll. Nilai itu juga memunculkan kemampuan alamiahnya menyimpan sumberdaya di bawahnya (mineral) dan di atasnya (flora dan fauna).

Korupsi tanah melibatkan pemilik kewenangan dan kekuasaan untuk memutuskan siapa yang dapat memiliki dan mengakses tanah. Di situ kolusi hanya mungkin terjadi apabila mereka yang memiliki kekuasaan dan kontrol atas tanah, menyalahgunakan kekuasaan dan otoritasnya itu; dan hal itu dimungkinkan apabila keterbukaan informasi bagi publik tidak dilakukan. Maka, dalam korupsi tanah, kekuasaan adalah sumberdaya yang dieksploitasi. Tata kelola yang buruk akan meningkatkan kemungkinan korupsi dalam sistem pertanahan dan administrasinya dan mengintensifkan tekanan pada penggunaannya (FAO 2012).

Oleh karenanya, tantangan dalam sistem pemerintahan yang mengalami korupsi tanah biasanya bermanifestasi melalui penguasaan sumberdaya alam yang sangat besar. Itu berarti ada korelasi kuat antara tingkat korupsi di sektor pertanahan dengan berkuasanya oligarki di suatu negara.

Secara empiris–ini dapat dibaca di publikasi Tranparency International (2016) “What is Land Corruption?” oleh Farai Mutondoro, Mary Jane Ncube and Manase Chiweshe–korupsi tanah telah dipicu oleh persoalan kedaulatan ekonomi dan pembangunan melalui pemberian investasi yang menggunakan tanah kepada elit, dengan imbalan perdagangan sumberdaya mineral, misalnya.

Hasilnya adalah menjamurnya korupsi tanah melalui suap, perampasan tanah dan pencabutan hak milik, transaksi tanah gelap antara aktor negara dan investor domestik maupun internasional, serta munculnya para raja tanah. Dalam skenario seperti itu, istilah pembangunan dan kepentingan nasional telah digunakan sebagai alat (melalui state capture) merampas hak kaum miskin dengan menyembunyikan kesepakatan gelap antara aktor negara dan pemodal.

Korupsi tanah juga didorong oleh politisasi tanah dan rezim penguasaan tanah yang buruk. Mayoritas warga yang tinggal di daerah-daerah komunal misalnya, di mana mereka hanya menggunakan akses atas tanah yang mereka duduki, tanpa legalitas; yang berarti bahwa negara melalui aktor-aktornya memiliki hak hukum untuk membebaskan mereka kapan saja.

Dalam skenario itu telah memungkinkan negara-negara tertentu menggunakan tanah sebagai alat untuk mempertahankan tendensi patrimonialnya. Maka, tanah digunakan sebagai alat untuk memastikan bahwa para aktor negara mendapatkan suara politik lebih banyak melalui pembagian tanah berdasarkan patronase. Maka, tanah menjadi instrumen politik.

Di Indonesia, hal ituIah antara lain yang menjadi penyebab silang-sengkarut perencanaan tata ruang. Data KPK (2017), misalnya, menunjukkan adanya HGU perkebunan kelapa sawit tumpang tindih dengan dengan izin pertambangan (3,01 juta ha), tumpang tindih dengan IUPHHK-HTI (534 ribu ha) dan IUPHHK-HA (349 ribu ha), serta menempati kubah gambut (801 ribu ha).

Maka, besarnya permintaan, kekurangan dan kerusakan tanah bukanlah merupakan akibat dari kelangkaan tanah atau meningkatnya populasi manusia, tetapi akibat buruknya tata kelola dan korupsi tanah. Mereka yang berada dalam posisi kuat dapat mengkonsolidasi diri secara primitif, orang miskinlah yang menderita akibat korupsi tanah.

Kenyataan-kenyataan di atas menunjukkan bahwa korupsi tanah adalah tantangan politik yang membutuhkan solusi politis, misalnya melalui penetapan Undang-undang. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa pengendalian korupsi seperti itu tidak efektif dalam lingkungan dimana kemauan politik anti korupsi di tataran elit menghilang ●

About Nurul Fitria

Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *