SEMPENA 18 TAHUN JIKALAHARI

Satu Tahun Riau Hijau, Peluang dan Tantangan Perbaikan Sumberdaya Alam di Riau

Pekanbaru, 25 Februari 2020, Jikalahari melakukan refleksi 1 tahun berjalannya Riau Hijau, program yang digaungkan oleh kepemimpinan Gubernur Syamsuar dan Wakil Gubernur Edy Natar. Riau Hijau berisi tentang kebijakan dan aksi terkait lingkungan hidup dan kehutanan. Aksi-aksi kebijakan dan tindakan yang dilakukan meliputi perbaikan regulasi, inovasi kerja-kerja birokrasi dan penegakan hukum.

Pemerintah Provinsi Riau mengakomodir program Riau Hijau dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Riau 2019-2024. Perwujudan Riau Hijau termaktub dalam tujuan dari pencapaian visi dan misi. Dalam misi 2. Mewujudkan pembangunan infrastruktur daerah yang merata, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan pada tujuan; Mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan (RIAU HIJAU).

“Kebijakan Riau Hijau merupakan trobosan yang baik untuk perbaikan tata kelola lingkungan hidup dan Sumber Daya Alam (SDA) di Riau. Namun sayang, kebijakan ini masih berjalan parsial dan tidak dipahami oleh pejabat pembantu Pak Gubernur,” Kata Tarmizi, Deputi Direktur Fitra Provinsi Riau.

Jikalahari mengusulkan dalam konsep Riau Hijau harus menyediakan ruang kelola masyarakat, konservasi dan kebijakan berbasis lingkungan termasuk komitmen menghentikan kebakaran hutan dan lahan serta banjir.

Berdasarkan data Sipongi KLHK, luas karhutla di Riau tahun 2019 mencapai 90,223 ha. Sedangkan menurut BPBD Riau sejak Januari – Oktober 2019, karhutla di Riau seluas 9.713,80 ha, catatan Jikalahari, hotspot di Riau pada periode 20 Februari 2019 – 20 Februari 2020 mencapai 9.049 titik dan 4.153 diantaranya memiliki konfiden lebih dari 70% atau dipastikan terjadi kebarakan dan 2.142 berada di dalam konsesi HTI dan Perkebunan kelapa sawit.

Karhutla kembali terjadi di Riau dan paling banyak di areal konsesi korporasi. Hingga kini, Dirjen Gakkum KLHK atas kebakaran hutan dan lahan pada 2019, telah menyegel konsesi milik 11 korporasi, namun belum ada yang dibawa ke meja hijau maupun menjadi tersangka. Polda Riau juga baru menetapkan 2 tersanka korporasi pelaku karhutla, yaitu PT Tesso Indah dan PT WSSI, padahal Polda juga telah menangani perkara lain seperti PT SRL. Satgas karhutla, yang juga beranggotakan polda Riau menemukan 5 korporasi pelaku krhutla. Namun lagi-lagi belum ditetapkan tersangka.

Salah satu penyebab karhutla berulang di areal korporasi karena, korporasi tidak melakukan restorasi di lahan gambut yang berada dalam konsesi seperti yang diatur dalam PP 57 tahun 2016 dan prioritas restorasi dari Badan Restorsi Gambut. Alih – alih penegasan terhadap korporasi dilakukan oleh pemerintah, KLHK malah menerbitkan Peraturan Menteri No 10 Tahun 2019 yang membolehkan korporasi mengelolah gambut di luar puncak kubah gambut.

“Jikalahari mendesak KLHK untuk mencabut P. 10 tahun 2019 dan menjadikan areal terbakar dalam konsesi sebagai perhutanan sosial” kata Maizaldi, Direktur KAR

Akses perhutanan sosial (PS) masyarakat di Riau masih minim. Sampai saat ini baru 101,784 ha izin PS yang didapatkan oleh masyarakat dari total PIAPS seluas 1,084,514 juta ha. Hutan adat hanya terealiasi hanya 507 ha terdiri dari 2 SK hutan adat yang terdapat di kenegerian kampar dan kenegerian petapahan.[1]

Gubri juga perlu memulihkan dan mengakui ruang kelola Masyarakat Adat. Hutan adat yang saag ini ada seluas 507 ha yang diberikan oleh Menteri LHK perlu diperluas. Ruang kelolaa masyarakat selain ps dan tora juga harus memasukkan wilayah adat selain dalam bentuk hutan adat, agar Masyarakat Adat dapat kelola wilayah adatnya.

Sebelumnya perhutanan sosial di Riau mandek sejak tahun 2018. Salah satunya disebabkan oleh terbitnya perda 10 tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau. Perda tersebut mengharuskan setiap usulan perizinan PS harus mendapat rekomendasi dari gubernur setelah dibahas bersama DPRD.

Pada Agustus 2019, Jikalahari mendaftarkan gugatan Judicial Review Perda 10 Tahun 2018 tentang RTRW Provinsi Riau ke Mahkamah Agung. Gugatan dikabulkan Mahkamah Agung pada 3 Oktober 2019. Pemprov Riau harus segera menyusun kembali dengan memastikan ruang kelola rakyat, perlindungan hutan dan lahan gambut serta melibatkan partisipasi publik.

Selain memulihkan wilayah kelola rakyat, Gubri juga harus menyelesaikan persoalan perambahan dan penghancuran hutan alam tersisa mengakibatkan habitat satwa terus terdegradasi. Dampaknya dalam setahun Riau Hijau ada 4 korban jiwa akibat konflik satwa.

Pertama, Kamis, 30 Januari 2020, Darmawan, 42 tahun tewas dimangsa harimau sumatera saat mencari kayu di Kawasan hutan Desa Tanjung Simpang, Kecamatan Pelangiran, Inhil. Kedua, Pada 2019, Wahyu Kurniadi asal Aceh yang bekerja di perusahaan kontraktor PT Kencholin Jaya rekanan PT Riau Indo Agropalma (RIA), kena terkam di areal kerja RIA petak RIAE 021301, Kecamatan Pelangiran, Indragiri Hilir. Ketiga, M Amri, juga bekerja di RIA, meninggal di kanal sekunder 41, Desa Tanjung Simpang, Pelangiran, Indragiri Hilir dan Darwaman alian Nang, tewas diterkam Harimau di konsesi PT Bhara Induk.

Korban keganasan Harimau Sumatera di Lanskap Kerumutan terus bertambah akibat habitat mereka telah dirusak oleh perusahaan HTI dan sawit yang menebang hutan alam. Terdapat 15 korporasi HTI dan HPH serta 7 korporasi sawit di lanskap Kerumutan. Pada 2005 luas hutan alam di lansekap Kerumutan 512.972 ha, saat ini tinggal 285.659 ha, dan terus mengalami penurunan. Apabila kondisi ini terus dibiarkan tanpa ada penanganan dan pemulihan lanskap Kerumutan maka korban akan terus berjatuhan.

Untuk itu, Jikalahari merekomendasikan program Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo perlu direplikasi di wilayah-wilayah Taman Nasional dan wilayah konservasi. Seperti TN Bukit Tigapuluh, TN Zamrud, SM Kerumutan, SM Rimbang Baling, SM Balai Raja,  bentang alam Semenanjung Kampar dan Giam Siak Kecil. Hal ini dilakukan karena kerusakan yang terjadi di areal konservasi berujung pada korporazi sawit membeli sawit dari kawasan hutan yang merupakan tindak pidana. RETN merupakan program yang bertujuan memulihkan kembali fungsi hutan di Tesso Nilo berbasis masyarakat dengan melibatkan Pemerintah Pusat, Penegak Hukum, NGO dan Masyarakat Adat.

“Satu tahun Riau Hijau masih belum mampu menjawab persoalan lingkungan hidup dan sumber daya alam di Riau. Kebijakan tersebut belum dapat berjalan baik, baik pada implementasi kebijakan, ruang kelola masyarakat serta perlindungan dan pemulihan kawasan konservasi dan hutan alam tersisa, sehingga persoalan besar lingkungan hidup dan sumber daya alam masih terus terjadi seperti karhutla, banjir, konflik tenurial, konflik manusia satwa dan lainnya. Di mana dampak yang ditimbulkan begitu besar, baik secara ekonomi, sosial, budaya, bahkan menyebabkan hilangya nyawa warga Riau,” Kata Besta Junandi Nduru.

Selain kebijakan melalui Riau Hijau yang harus disempurnakan, momentuk pilkada serentak di 9 Kabupaten/Kota harus menjadi peluang perbaikan lingkungan hidup dan SDA di Riau. Isu lingkungan hidup dan Riau Hijau perlu dipahami para calon kepala daerah khususnya di 9 daerah di Riau yang akan menggelar Pilkada serentak 2020.  Ruang-ruang diskusi publik, termasuk Komisi Pemilihan Umum perlu untuk menjadikan isu lingkungan hidup menjadi isu prioritas dalam perhelatan Pilkada 2020.

Untuk perbaikan tata kelola lingkungn hidup dan SDA kami merekomendasikan:

  1. Kepada KLHK dan Polda Riau segera metapkan tersangka korporasi pelaku karhutla di Riau.
  2. Kepada KLHK mencabut P.10 tahun 2019 tentang Pengelolaan Gambut di Luar Puncak Kubah Gambut.
  3. Mereplikasi RETN ke wilayah Taman Nasional dan wilayah konservasi di Riau
  4. Kepada Gubernur Riau untuk melakukan percepatan konsep Riau Hijau menjadi kebijakan rujukan pembangunan berkelanjutan daerah yang menitikberatkan perbaikan tatakelola lingkungan hidup dan SDA.
  5. Mendorong penyelesaian sawit illegal melalui reforma agraria (PS dan TORA), Penegakan hukum dan pemulihan lingkungan hidup.
  6. Merubah susunan Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) dengan melibatkan tokoh masyarakat, akademisi dan NGO untuk percepatan restorasi gambut di Riau.
  7. Merekomendasikan kepada Kementerian LHK untuk review izin konsesi di habitat satwa dilindungi.
  8. Membuat kebijakan untuk pencegahan pengrusakan hutan alam pada wilayah konservasi, konsesi korporasi dan wilayah lainnya.
  9. Implementasi Reforma Agraria (PS dan TORA) pada wilayah adat, wilayah masyarakat baik pada kawasan tidak berizin ataupun pada wilayah konsesi.
  10. Akses kelola, kontrol, ruang partisipasi dan peran perempuan dalam pengelolaan SDA dan lingkungan.
  11. Mengevaluasi dan melanjutkan Renaksi pencegahan dan pemberantasan korupsi di Riau

 

Narahubung

Besta Junandi, Staf Kampanye Perkumpulan Elang 081276961806

Maizaldi, Direktur KAR 085271697010

Tarmizi, Deputi Kordinator Fitra Riau 085278175515

Arpiyan Sargita, Staf Kampanye dan Advokasi Jikalahari 0812 6111 6340

[1] https://www.cakaplah.com/berita/baca/2020/02/21/presiden-jokowi-akan-serahkan-sk-hutan-adat-untuk-kampar-hari-ini#sthash.RIykPA8A.dpbs

About Nurul Fitria

Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *