Pekanbaru, 31 Januari 2022—Jikalahari apresiasi respon anggota DPR RI asal Riau Abdul Wahid atas komitmen menyelesaikan RUU Provinsi Riau sebagai Pimpinan Baleg. “Dari 17 anggota DPR dan DPD RI asal Riau hanya Abdul Wahid yang merespon RUU Provinsi Riau. Mengapa sisanya diam saja?” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.
Selain Abdul Wahid (PKB) ke 17 anggota DPR dan DPD RI asal Riau yaitu Syamsurizal (PPP), Achmad (Demokrat), Jon Erizal (PAN), Khairul Anwar (PKS), Arsyadjuliandi Rachman (Golkar), M Rahul (Gerindra), Effendi Sianipar (PDIP), Syahrul Aidi (PKS), Marsiaman Saragih (PDIP), Idris Laena (Golkar) dan M Nasir (Demokrat). Sedangkan DPD RI yaitu Instsiawati Ayus, Edwin Pratama Putra, Misharti dan Muhammad Gazali
Selain merespon RUU Provinsi Riau, Abdul Wahid juga hendak memastikan dana bagi hasil (DBH) dari sektor sawit dinikmati masyarakat Riau dan desa-desa adat juga dapat merasakan alokasi anggaran dari pemerintah.
DBH sawit dan desa adat memang masuk dalam RUU Provinsi Riau versi tanggal 17 Maret 2021 yang diusulkan Gubernur Riau.
Versi usulan masyarakat sipil pada 4 Oktober 2021, khusus frasa Desa Adat diubah menjadi Wilayah Adat. “Karena Desa Adat (objek) seharusnya Masyarakat Adat dan Wilayah Adat. Desa adat hanya mandat UU Desa, namun direplika dalam RUU ini. Secara sosiologis, seharusnya penyusun RUU ini merujuk pada kekhasan Riau yaitu masyarakat adat, dari awal masyarakat Riau menyebut wilayah mereka dengan wilayah adat dan RUU ini harus merujuk ke istilah yang memang menjadi kekhasan Riau,” kata Made Ali. Penghapusan ini hasil diskusi dengan Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau pada 17 September 2021.
Ada lima hal kekhasan yang harus diperjuangkan Abdul Wahid dalam RUU Provinsi Riau versi masyarakat sipil;
Pertama, Kebudayaan Melayu. Provinsi Riau memiliki budaya Melayu Riau yang berfungsi untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat Riau sangat menentukan masa depan Provinsi Riau karena masyarakat itulah yang membangun Provinsi Riau. Pada masa ini budaya melayu Riau diterjang oleh pengglobalan, banyaknya masuk budaya asing semua pengaruh itu membuat budaya melayu riau akan rusak dan bahkan mungkin musnah sehingga hilangnya indentitas melayu Riau.
Kedua, Masyarakat Adat. Sayangnya Masyarakat Adat mengalami keterpinggiran, kriminalisasi bahkan pemusnahan kehidupan masyarakat adat dari pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah Provinsi Riau. Padahal jauh sebelum Indonesia merdeka, masyarakat adat sudah ada di Riau yang tersebar diseluruh kabupaten dan kota. Sampai detik ini, masyarakat adat di Riau masih ada kurang lebih tiga ratus (300) suku.
Ketiga, Ruang Ekologis Riau memiliki kekhasan bukan saja karena adanya masyarakat adat dan kebudayaannya, juga memiliki keanekaragaman hayati berupa flora dan fauna langka, hutan hujan tropis, gambut, sunga, laut. Ruang ekologis ini ditempati oleh makhluk hidup termasuk didalamnya masyarakat adat dan tempatan. Dalam perkembangannya, ruang ekologis ini mulai hancur dan rusak, bahkan punah karena aktifitas legal maupun illegal dari korporasi. Ruang ekologis ini harus diselamatkan melalui kebijakan, tanggungjawab dan wewenang kepala daerah di Provinsi Riau.
Keempat, Lembaga Adat Melayu Riau. Riau memiliki Lembaga Adat Melayu Riau yang telah memiliki dasar hukum Perda Provinsi Riau No 1 Tahun 2012 tentang Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau. Menjadi penting dalam penguataanya pada undang-undang Provinsi Riau.
Kelima, Ekonomi Riau Hijau. Provinsi Riau kaya akan sumberdaya alam seperti; gas dan minyak bumi, hasil perkebunan, kehutanan dan hasil laut. Namun selama ini pemanfaatan sumberdaya alam tidak dilakukan secara adil dan berkelanjutan. Hampir ¾ dari luasan Provinsi Riau dikuasai oleh segelintir orang untuk perkebunan sawit dan HTI. Kedepan pendekatan pembangunan berkelanjutan dilaksanakan untuk memastikan pengelolaan sumber daya alam di Provinsi Riau dilakukan secara adil, meningkatkan kesejahteraan rakyat, bertanggung jawab dan memperhatikan pelestarian lingkungan hidup.
DBH Sawit tidak perlu lagi masuk dalam RUU Provinsi Riau paska terbitnya UU No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, khususnya Pasal 123 yang berbunyi; (1) Pemerintah dapat menetapkan jenis DBH lainnya. (2) DBH lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari penerimaan negara yang dapat diidentifikasi Daerah penghasilnya.
Pada ayat (3) DBH lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk mendanai kegiatan tertentu sesuai dengan kewenangan Daerah dan/atau prioritas nasional. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai DBH lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah berkonsultasi dengan komisi yang membidangi keuangan pada Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan Pasal 123 ayat 1 adalah Jenis DBH lainnya antara lain dapat berupa bagi hasil yang terkait dengan perkebunan sawit.
“Yang kami pertanyakan emangnya dengan Riau dapat DBH sawit masyarakat adat dapat menikmatinya? Nah, ini yang tak nyambung dari pernyataan Abdul Wahid, padahal kesejahteraan masyarakat adat ada pada hutan tanahnya yang saat ini dirampas paksa oleh korporasi HTI, Sawit dan Tambang,” kata Made Ali
Terkait komitmen menyelesaikan RUU Provinsi Riau, Abdul Wahid perlu membuka ruang partisipasi publik khususnya pada isu masyarakat adat, kebudayaan, ruang ekologis, kesenian dan muatan lokal (pendidikan lokal).
Narahubung:
Made Ali, Koordinator Jikalahari—0812 7531 1009
Aldo, Staf Kampanye dan Advokasi—0812 6111 6340