PEKANBARU, 19 SEPTEMBER 2017—DPRD Provinsi Riau seyogyanya menunda paripurna pengesahan Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 pada 20 September 2017 menyusul terbitnya Perpres Nomor 88 Tahun 2017 Tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan yang diterbitkan pada 11 September 2017. Selain itu, penundaan pengesahan draft RTRWP menjadi krusial untuk mengakomodir penyesuaian sebagai akibat diterbitkannya beberapa aturan lain yang penting seperti: PP 57 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut serta PermenLHK Nomor P.17/Menlhk/Setjen/Kum.1/2/2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.12/Menlhk-II/2015 Tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri.
Merujuk pasal 22 ayat 2 huruf a UU 26/2007 tentang Penataan Ruang menjelaskan Penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi harus memperhatikan salah satunya perkembangan permasalahan nasional dan hasil pengkajian implikasi penataan ruang provinsi. “Ketiga produk hukum di atas memandatkan Pemda Riau menetapkan rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut berupa areal korporasi HTI bekas terbakar dijadikan kawasan fungsi lindung gambut dan penataan batas kawasan hutan antara masyarakat adat dan tempatan dengan korporasi HTI,” kata Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari, “ Penetapan fungsi lindung gambut provinsi dan penyelesaian penataan batas kawasan hutan dilaksanakan sebelum RTRWP ditetapkan.”
Jikalahari menemukan ada perbedaan pola ruang antara draft RTRWP Riau 2017 – 2037 hasil kerja Pansus RTRWP Riau dengan draft RTRWP 2016 – 2035 yang diserahkan Gubernur Riau kepada DPRD Riau pada September 2016 terkait Kawasan Lindung Bergambut.
Dalam draft RTRWP Riau 2017 – 2037 Pasal 26 ayat 3 tidak menyebutkan luasan Kawasan Bergambut di Provinsi Riau, termasuk di dalam RTRWP 2017 – 2037 hasil kajian Bappeda Riau (Bab IV Rencana Pola Ruang 4.1.2 huruf b juga tidak menyebut luasan Kawasan Lindung Bergambut di Riau). Pansus RTRWP Prov Riau hanya mengalokasikan kawasan lindung bergambut seluas 21.615 hektar berdasarkan usulan Pansus RTRWP Riau.
Luasan Kawasan Lindung Kubah Gambut justru tertera di dalam draft RTRWP Riau 2016 – 2035 seluas 1.693.030 hektar. Dalam kajian Bappeda RTRWP Riau 2016 – 2035 yang dterbitkan pada Mei 2016 (Bab IV Rencana Pola Ruang 4.1 Rencana Kawasan Lindung) disebutkan kawasan kubah lindung gambut seluas 1.693.030 hektar.
“Mengapa Pansus RTRWP Riau menghilangkan luasan Kawasan Lindung Bergambut seluas 1,6 juta hektar?” kata Woro, “Semestinya Pansus RTRWP Riau memperjuangkan seluruh areal bergambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter dijadikan fungsi lindung atau setidaknya merujuk SK MenLHK Nomor SK.129/MenLHK/Setjen/PKL.0/2/2017 Tentang Penetapan Peta Kesatuan Hidrologis Gambut Nasional untuk Provinsi Riau seluas 5.040.735 hektar dengan fungsi budidaya seluas 2.567.352 hektar dan 2.473.383 hektar untuk kawasan lindung.”
“ Dengan hilangnya luasan Kawasan Lindung Bergambut yang hanya menjadi 21.615 ha, draft RTRWP Riau 2017 – 2037 mengabaikan agenda restorasi gambut dan terus melanggengkan kondisi yang mendorong terjadinya pembakaran hutan dan lahan gambut di Riau,” kata Woro.
Di samping itu, melalui Perpres 88/2017 Pemda Riau juga berpeluang menyelesaikan konflik tata batas antara masyarakat hukum adat dan tempatan dengan korporasi Hutan Tanaman Industri (HTI). Seluas 2 juta hektar kawasan hutan di Riau dikuasai korporasi APP dan APRIL. Padahal di dalam 2 juta hektar itu tumpang tindih dengan hutan dan tanah masyarakat adat dan tempatan. “Perpres 88/2017 memberi kewenangan pada Pemda Riau melakukan tata batas sebelum RTRWP Riau ditetapkan,” kata Woro, “Apalagi hutan tanah Melayu dikuasai korporasi HTI bertentangan dengan budaya Melayu karena budaya Melayu mengenal pengelolaan hutan tanah secara komunal.”
“Jika 65 anggota DPRD Riau masih berpihak kepada masyarakat adat dan tempatan, perlindungan ekologis, serta budaya Melayu, sebaiknya pengesahan Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 ditunda untuk dilakukan publik review draft RTRWP Riau 2017 – 2037. Ini untuk memastikan kebijakan yang dihasilkan memberikan ruang untuk masyarakat adat dan tempatan, budaya Melayu serta perlindungan ekologis,” kata Woro.
Narahubung:
Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari, 0813 1756 6965
Okto Yugo Setiyo, Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari 0853 7485 6435