CAT Jikalahari 2021 – Kolaborasi Tanpa Korporasi: Yang Baik Dijaga, Yang Rusak Diperbaiki

Pekanbaru, 30 Desember 2021—Gerakan kolaborasi antara CSO, seniman dan pemerintah salah satu cara Jikalahari untuk bersama-sama menyelamatkan hutan alam yang tersisa di Riau terutama di kawasan konservasi. “Gerakan awal ini yang dilakukan di Taman Nasional Zamrud (TNZ) Siak dan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Pelalawan, punya makna penting untuk generasi mendatang,” kata Made Ali Koordinator Jikalahari

TNZ yang masih berhutan alam dengan keanekaragaman hayatinya yang berlimpah, simbol untuk dijaga, dirawat dan dilestarikan dengan model kelola berbasis masyarakat adat dan tempatan. “TNTN yang 70 persen hutan alamnya telah rusak karena dirambah oleh cukong dan korporasi sawit termasuk HTI adalah model Kelola berbasis masyarakat melalui penataan kawasan hutan yang telah dibentuk tim kerja oleh Menteri LHK sejak 2016 hingga kini, kata Made Ali

“Hadirnya komunitas kesenian dalam Forest Art semata-mata untuk mengajak generasi muda peduli dan sadar akan pentingnya pelestarian lingkungan hidup dan hutan atas dampak perubahan iklim, kata Made Ali

Selain kolaborasi, sepanjang 2021 Jikalahari juga mengadvokasi kebijakan dan korporasi yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan kehutanan.

Korporasi HTI yang kembali merusak hutan alam, merampas tanah dan ruang hidup masyarakat adat dan tempatan tak layak lagi diberikan sanksi administratif oleh pemerintah. “Saatnya izinnya dicabut untuk dijadikan wilayah kelola untuk masyarakat,” kata Made Ali

Munculnya korupsi pertanahan, kembali menunjukkan pengaruh modal korporasi yang menyuap Bupati Kuansing Andi Putra adalah bentuk lemahnya pengawasan dalam rantai perizinan pertanahan. Pun dalam perkara Karhutla Gandaerah yang memunculkan rawannya korupsi pengurangan izin pertanahan. “KPK jangan hanya berhenti pada GM PT AA yang telah menjadi tersangka, perlu mengejar penerima manfaat dan membongkar dugaan korupsi PT Gandaerah Hendana. Juga membongkar modus pengurangan dan perpanjangan hak guna usaha korporasi di sektor perkebunan sawit,” kata Made Ali

Hutan alam yang telah dihancurkan korporasi segera dihentikan dengan cara cabut izin korporasi. Hutan alam yang tersisa di luar izin korporasi yang masih tersisa di kawasan konservasi perlu segera dijaga dan diselamatkan dengan model kolaborasi tanpa melibatkan korporasi.

Berikut advokasi yang dilakukan Jikalahari sepanjang 2021:

Pertama, Peran Penting Partisipasi Publik Pasca Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja . Dua hal pertimbangan MK, penyusunan UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan UUD 1945 dan UU 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundangan. Namun pertimbangan terpenting, berkaitan dengan partisipasi publik yang diabaikan pemerintah. Akhirnya makna partisipasi publik bukan saja dimaknai pemerintah hanya sekedar membuat forum dan mengundang organisasi atau masyarakat terdampak lalu aspirasi dan suaranya diabaikan oleh pemerintah.

Namun aspirasi dan suara publik tak sekedar didengarkan, tapi harus dilibatkan dalam proses pembahasan sebuah produk hukum.

Jikalahari memaknai proses partisipasi publik dalam produk hukum juga harus dilibatkan di dalam pembahasan peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan gubernur hingga peraturan bupati atau peraturan lembaga lainnya.

Pengalaman Jikalahari, saat pemerintah daerah menyusun Ranperda RTRWP Riau 2016 – 2036, Jikalahari terus memberikan masukan dan kritik terhadap rancangan yang telah disusun. Temuannya, Ranperda RTRWP ini akan menguntungkan korporasi, menyebabkan deforestasi, memperbesar konflik masyarakat yang kehilangan tanahnya, menimbulkan kerusakan gambut dan akibatkan karhutla berkepanjangan. Bahkan Jikalahari menemukan adanya mal administrasi dalam penyusunan Ranperda ini. Namun kritik dan saran Jikalahari diabaikan hingga Ranperda RTRWP disahkan pada 2018.

Jikalahari mengajukan Judicial Review terhadap Perda ini, dan pada 3 Oktober 2019 Mahkamah Agung mengabulkan gugatan Jikalahari dan menyatakan Pemerintah Provinsi Riau dan DPRD harus memperbaiki Perda RTRWP Riau sesuai dengan gugatan yang diajukan.

Putusan MK salah satunya memerintah Pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

Jikalahari memaknai ‘kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas’ termasuk Menteri LHK mereview izin korporasi Hutan Tanaman Industri (HTI) yang menguasai hutan tanah masyarakat adat, merusak habitat flora dan fauna serta mencemarkan dan merusak lingkungan hidup dan kehutanan, harus segera dilakukan karena korporasi HTI masuk dalam objek vital nasional. Sebab aktivitas dan operasional korporasi HTI di lapangan masuk dalam kategori berdampak luas terhadap kehidupan makhluk ekologis. Menteri LHK harus segera menghentikan selama 2 tahun pelayanan kepada korporasi HTI sebagai wujud menaati putusan MK.

Pemerintah dan DPR RI wajib mengundang masyarakat terdampak, akademisi dan CSO yang concern dan memiliki rekam jejak melakukan kerja dan advokasi yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan kehutanan, agraria dan pada isu perubahan iklim dalam perbaikan formil sebagaimana perintah putusan MK

Kedua, Korupsi Pertanahan, Kembar Siam Korupsi Kehutanan dan Pertambangan. Setelah munculnya korupsi pertanahan, menyempurnakan kejahatan maha dahsyat di Riau selain korupsi kehutanan dan pertambangan. Ketiga korupsi ini dibongkar oleh KPK yang sesungguhnya mempermalukan Polda Riau yang tidak berani melawan kejahatan ekologis.

Modus kejahatan pertanahan dalam kasus korupsi OTT Bupati Kuansing dan Karhutla PT Gandahera memperlihatkan rantai perizinan sangat mudah dikorupsi berkaitan dengan perpanjangan maupun pengurangan luasan HGU perusahaan sawit.

Modus – modus ini juga terjadi di korupsi kehutanan dan pertambangan yang melibatkan taipan Sukanto Tanoto (APRIL Group) dan alm Eka Tjipta Wijaya (APP Group) di sektor kehutanan dan elit politik di sektor tambang yang melibatkan Sofyan Basir mantan Dirut PLN dan Politisi DPR RI Idrus Marham dan Eni Maulani Saragih.

Meski dalam OTT Kuansing KPK akhirnya menetapkan GM PT AA sebagai tersangka, KPK perlu memperdalam hingga menetapkan pemilik atau beneficial ownership PT AA sebagai tersangka. Karena yang dilakukan GM PT AA atas kebijakan dari owner PT AA.

Ketiga, KLHK Cabut Izin Korporasi HTI di Riau. Munculnya kembali peristiwa konflik dan perusakan hutan dan lingkungan hidup yang dilakukan PT Arara Abadi (APP Group) di Pelalawan dan Bengkalis serta PT Selaras Abadi Utama (APRIL Group) di Pelalawan menunjukkan ketidakpatuhan mereka terhadap kebijakan KLHK yang telah melakukan aksi koreksi berupa pengenaan sanksi terhadap korporasi HTI namun di lapangan performa korporasi HTI tidak berubah, justru APP dan APRIL meningkatkan kapasitas produksi naik 4,2 juta ton (150%) dan 2,8 juta ton (89%) per tahun.

Tindakan pencabutan izin oleh Menteri LHK adalah jalan terbaik setelah pengenaan sanksi administratif tidak dipatuhi oleh korporasi.

Keempat, Tolak Sawit Jadi Tanaman Hutan. Isu sawit jadi tanaman hutan ini merupakan kepentingan dari perusahaan – perusahaan besar demi menghilangkan kejahatan mereka yang sudah terlanjur menanam sawit dalam kawasan hutan. Ini upaya mereka untuk mengurangi kerugian negara akibat pajak yang tidak mereka bayarkan karena menanam sawit dalam kawasan hutan tanpa izin.

Sawit jadi tanaman hutan juga akan memicu deforestasi besar-besaran di kawasan hutan, menghancurkan habitat bagi satwa dilindungi seperti gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang sudah terancam punah. Ini juga akan meningkatkan konflik antara manusia dan satwa, karena hilangnya sumber makanan akibat konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dalam skala yang masif.

Jika sawit jadi tanaman hutan, konversi hutan menjadi perkebunan sawit tak lagi dianggap deforestasi. Padahal secara biologis, tanaman sawit tak bisa dikategorikan ke dalam tanaman hutan karena siklus hidupnya, kondisi alam dan intensitas pengelolaannya berbeda dengan

Kelima, RUU Provinsi Riau. Berkaca pada putusan MK terkait uji formil UU Cipta Kerja yang menempatkan partisipasi publik sebagai hal yang penting dalam pembahasan produk hukum, dalam pembahasan RUU Provinsi Riau, harus diberlakukan pemaknaan partisipasi publik yang substansial. Jikalahari bersama koalisi telah mengirimkan draft RUU Provinsi Riau ke Gubernur dan sudah diserahkan ke Panja DPR RI. Termasuk masyarakat terdampak yang berkaitan dengan perampasan hutan tanah oleh korporasi, wajib diundang dan bukan sekedar didengar oleh DPR RI.

Keenam, Menjaga yang Baik, Memperbaiki yang Rusak. Gerakan kolaborasi antara CSO, seniman dan pemerintah salah satu cara Jikalahari untuk bersama-sama menyelamatkan hutan alam yang tersisa di Riau terutama di kawasan konservasi. Gerakan awal ini yang dilakukan di Taman Nasional Zamrud (TNZ) Siak dan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Pelalawan, punya makna penting untuk generasi mendatang.

TNZ yang masih berhutan alam dengan keanekaragaman hayatinya yang berlimpah, simbol untuk dijaga, dirawat dan dilestarikan dengan model kelola berbasis masyarakat adat dan tempatan. TNTN yang 70 persen hutan alamnya telah rusak karena dirambah oleh cukong dan korporasi sawit termasuk HTI adalah model Kelola berbasis masyarakat melalui penataan kawasan hutan yang telah dibentuk tim kerja oleh Menteri LHK sejak 2016 hingga kini

Ketujuh, Riau Hijau Kok Menanam? Gubernur Riau Syamsuar membanggakan Riau Hijau dengan mengumumkan telah mendistribusikan dan menanam 1.649.870 bibit untuk mengembalikan kelestarian alam menuju Riau Hijau. Apa yang dilakukan Syamsuar kini, bertolak belakang dengan pernyataannya saat menggagas konsep Riau Hijau.

Pada 4 November 2020 dalam siaran persnya di mediacenter.go.id, Syamsuar mengatakan, “Program Riau Hijau bukan hanya sekedar menanam pohon, namun bagaimana kita eksis mendorong pengabdian dan pembangunan daerah yang berwawasan lingkungan.”

Jikalahari menilai tindakan Syamsuar yang berfokus pada jumlah penanaman pohon tidak memenuhi komitmen Riau Hijau yang diusung saat kampanye dan program andalan 100 hari kerja Gubernur Riau. Padahal Riau Hijau yang sebenarnya dan disampaikan sendiri oleh Syamsuar adalah hendak memperbaiki tata Kelola lingkungan hidup dan kehutanan di Riau serta pembangunan daerah yang berwawasan lingkungan.

Kedelapan, Mandeknya Perhutanan Sosial di Riau. Luas perhutanan sosial di Riau hingga Desember 2021 baru mencapai 127.411,36 ha dari 1 juta ha atau 12,7 persen dari target PIAPS yang ditetapkan oleh KLHK. Lambannya realisasi di Riau karena  sejak putusan Mahkamah Agung atas Judicial Review Perda RTRWP Riau pada 3 Oktober 2019 terkait pemanfaatan kawasan hutan untuk PS dan penggunaan kawasan hutan untuk TORA sebelum mendapat rekomendasi dari Gubernur terlebih dahulu dilakukan pembahasan bersama DPRD, hingga saat ini belum juga diperbaiki.

Bukannya memperbaiki Perda RTRWP Riau untuk mempercepat realisasi PS, Gubernur Riau justru menerbitkan Izin Kemitraan Kerja sama antara Dinas LHK Provinsi Riau dengan PT Bumi Laksamana Jaya (BLJ) pada lokasi yang telah diajukan usulan perhutanan sosial dan telah di verifikasi teknis oleh Balai PSKL Sumatera.

Kesembilan, Drama Illegal Logging Kapolda Riau. Pada 15 November 2021, tiba-tiba Kapolda Riau Irjenpol Agung Setya Imam Efendi “membongkar” illegal logging di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil (GSK) dan menemukan pelakunya (Mat Ari alias anak Jendral). Mat Ari salah satu cukong besar di GSK, “ini adalah untuk menjaga kelestarian. Akan kami kejar kaki tangan yang terlibat sampai tuntas. Mari sama-sama kita jaga alam kita dan cagar biosfer GSK ini,” kata Agung Setya pada 17 November 2021.

Belum sempat “mengejar kaki tangan yang terlibat sampai tuntas” pada 17 Desember 2021 Agung Setya digantikan oleh Irjenpol M. Iqbal sebagai Kapolda Riau melalui telegram Kapolri. Jikalahari mencatat drama ala Agung Setya juga dilakukan oleh Kapolda-kapolda sebelumnya. Ujung-ujungnya rebut di media massa, pelaku utamanya atau aktor intelektualnya tidak pernah ditangkap oleh Polda Riau.

Illegal logging yang masih terus terjadi di Cagar Biosfer GSK juga menunjukkan gagalnya praktik HTI yang mengelilingi GSK sebagai bumper perlindungan. Polda Riau harusnya juga memeriksa dan menyelidiki keterlibatan konsesi HTI atas tindakan illegal logging di GSK.

Jikalahri merekomendasikan kepada:

  1. Presiden Jokowi segera mencabut izin korporasi HTI dan memerintahkan Kapolri menuntaskan mafia tanah yang melibatkan korporasi sawit.
  2. Presiden Jokowi mengevaluasi atau memecat Menteri ATR/BPN atas peraktik korupsi perpanjangan maupun pengurangan areal HGU yang berdampak pada penegakan hukum di sektor pencemaran dan perusakan lingkungan hidup (Karhutla).
  3. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mereview izin-izin HTI yang setiap tahun terus menerus melakukan perusakan dan pencemaran lingkungan hidup termasuk merampas hutan tanah masyarakat adat dan tempatan.
  4. KPK membongkar praktik-praktik korupsi pertanahan yang melibatkan korporasi sawit dalam rantai perizinan pertanahan yang rawan di korupsi, salah satunya modus perluasan dan perpanjangan HGU.
  5. Kapolda Riau berhentilah bermain drama illegal logging. Segera tetapkan tersangka aktor intelektual pelaku illegal logging yang melibatkan pihak pemodal (kejahatan kerah putih).
  6. Gubernur Riau berhentilah menjadikan Riau Hijau hanya gimik dan simbol seolah-olah dengan terbitnya Pergub Riau Hijau, kondisi hutan tanah di Riau baik-baik saja. Gubernur Riau harus segera komit dan menjalankan perbaikan tata Kelola lingkungan hidup dan kehutanan sebagai wujud Riau Hijau.

Narahubung:

Made Ali, Koordinator Jikalahari—0812 7531 1009

Aldo, Staf Kampanye dan Advokasi—0812 6111 6340

CAT 2021 Jikalahari selengkapnya dapat didownload di sini:

About Nurul Fitria

Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *