Jikalahari Mendesak KPK Memeriksa Aktor-Aktor yang Terlibat Dalam Korupsi Alih Fungsi RTRWP Riau

Pekanbaru, 14 Maret 2018—Jikalahari menyayangkan  sikap PLT Gubernur Riau Wan Thamrin Hasyim, Rahmad Rahim Kepala Bappeda Propinsi Riau dan Ahmad Hijazi Sekretaris Daerah Propinsi Riau yang mengadukan perkembangan RTRWP Riau kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat melakukanKoordinasi dan Supervisi pencegahan korupsi di Gedung Daerah.

Rahmad Rahim mengeluhkan catatan perbaikan KLHS terus diberikan KLHK. “Tanpa RTRW, pertumbuhan ekonomi Riau di bawah nasional. Banyak permohonan investasi yang masuk tidak bisa dieksekusi,” kata Rahmad Rahim. “RTRW Riau sakitnya tu di sini. Sampai hari ini yang tak punya RTRWP cuma Riau,” kata Wan Thamrin Hasyim. “KLHS sudah tiga kali asistensi, cuma tidak pernah tuntas. Ini masih kita kejar. Mudah-mudahan KPK memfasilitasi,” kata Ahmad Hijazi[1].

“Mereka mengadu dan meminta KPK untuk memfasilitasi penyelesaian RTRWP,  di sisi lain Pemprov Riau sama sekali abai dan tidak menjalankan 19 Rencana Aksi GNPSDA KPK ada motif apa di balik itu?” tanya Made Ali, Wakil Koordinator Jikalahari.

Gubernur Riau bersama KPK (Februari 2015) telah menyusun 19 Renaksi Pemda Riau (Gubernur dan Bupati/Walikota), salah satunya pengukuhan kawasan hutan untuk diintegrasikan ke dalam RTRWP Riau. Renaksi tersebut mengacu pada hasil kajian KPK dengan fokus area yaitu: (1) Penyelesaian Pengukuhan Kawasan Hutan, Penataan Ruang dan Wilayah Administrasi, (2) Penataan Perizinan Kehutanan dan Perkebunan, (3) Perluasan Wilayah Kelola Masyarakat, (4) Penyelesaian Konflik Kawasan Hutan, (5) Penguatan Instrumen Lingkungan Hidup Dalam Perlindungan Hutan dan (6) Membangun Sistem Pengendalian Anti Korupsi.

“Padahal Renaksi itu menjadi solusi bagi pemprov Riau untuk memperbaiki tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan sekaligus memudahkan dalam penyelesaian  Ranperda RTRWP Riau. Namun, satu Renaksi pun tidak ada yang dijalankan oleh Pemprov Riau,” kata Made Ali.

Terkait Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), sebelum RTRWP menjadi Perda wajib dilakukan terlebih dahulu.  Paragraf 2 Tata Ruang Pasal 19 ayat 1 dan 2 menegaskan untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wajib didasarkan pada KLHS. Perencanaan tata ruang wilayah ditetapkan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Khusus Pasal tentang KLHS menyebut Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan atau kebijakan, rencana, dan atau program[2]. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS ke dalam penyusunan atau evaluasi RTRWP[3].

“Apa catatan dari KLHK sehingga KLHS bolak-balik dan tidak kunjung divalidasi? Informasi itu tidak pernah disampaikan kepada publik oleh Pemprov Riau. Pemprov lebih sering berdalih bahwa terhambatnya proses RTRWP provinsi Riau banyak menghambat investasi di Riau.  Sayangnya, hingga saat ini  Pemprov tidak pernah menyampaikan informasi siapa dan bisnis di sektor apa yang terhambat tersebut?” tanya Made Ali.

Pada Oktober 2017 Gubernur Riau menyerahkan Draft Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 kepada  Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Mendagri mengundang Kementerian terkait membahas evaluasi draft Ranperda RTRWP Riau[4]. Dalam rapat tersebut KLHK  belum  memberikan persetujuan dan  meminta  dilakukannya  KLHS oleh Pemprov Riau.

Pada 13 November 2017 Mendagri menerbitkan SK Nomor 188.34-8552 Tahun 2017 tentang Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Riau tentang RTRWP Riau Tahun 2017 – 2037. Mendagri memutuskan, salah satunya dalam  hal  evaluasi Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037  untuk Gubri menyusun KLHS dengan berkoordinasi dengan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Menindaklanjuti evaluasi Mendagri, Gubri membentuk Tim Penyusun KLHS Provinsi Riau pada 13 Oktober 2017. Rapat konsultasi publik pertama digelar pada 15 November 2017 di kantor Bappeda, dilanjutkan pada 21 Desember 2017.  “Namun, publik tidak pernah tahu perkembangan KLHS dari Pemprov Riau,” kata Made Ali.

Jikalahari mengingatkan bahwa  proses RTRWP Provinsi Riau  sarat akan praktek-praktek korupsi. Kasus korupsi mantan Gubernur Riau Anas Maamun adalah satu kasus yang menjadi bukti bahwa alih fungsi lahan dalam RTRWP erat kaitannya dengan  kejahatan  korupsi. Kasus ini  selain melibatkan Anas Maamun juga melibatkan terpidana lainnya yaitu Gulat Manurung dan Edison Marudut.  Annas Mamun disuap oleh Gulat Manurung, Edison Marudut serta Darmex Agro (Duta Palma grup) untuk melepaskan sawit illegal mereka dalam kawasan hutan.  Annas Maamun menerima uang USD 166.100 (setara Rp 2 Miliar) dari Gulat Medali Emas Manurung dalam rangka pengurusan revisi RTRWP Riau. Gulat memasukkan lahannya di Kuantan Singingi 1.188 hektar, Bagan Sinembah Rokan Hilir 1.214 hektar dan lahan milik Edison Marudut Marsadauli Siahaan di Duri Bengkalis 120 hektar.

Annas Maamun menerima uang dalam bentuk Dollar Singapura setara Rp 3 Miliar dari PT Duta Palma melalui Suheri Tirta, Humas PT Duta Palma. Surya Darmadi, Komisaris PT Duta Palma menjanjikan uang Rp 8 Miliar setelah Menteri Kehutanan menyetujui usulan revisi RTRW Riau dimana lahan PT Duta Palma seluas 18.000 hektar dimasukkan ke dalam usulan revisi tersebut

Selain Anas Maamun, Gulat Manurung, dan Edison Marudit, masih ada beberapa aktor yang belum tersentuh hukum dalam kasus tersebut. Untuk itu,  Jikalahari juga mendesak KPK agar segera mengusut aktor-aktor lainnya yang terlibat dalam korupsi alih fungsi lahan usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan untuk RTRWP Riau tahun 2014 yang melibatkan terpidana Annas Mamun, Gulat Manurung, dan Edison Marudut.

“Masalah investasi yang terhambat yang sering disebut-sebut Pemerintah Provinsi Riau,  sekaligus menunjukkan  bahwa Pemerintah provinsi Riau tidak peka dan tidak peduli terhadap persoalan lingkungan yang terjadi di depan mata seperti asap akibat karhuta, dan kematian warga akibat serangan Harimau baru-baru ini. Semestinya bencana alam karena salah kelola  tersebut harus dihentikan siklusnya dengan membuat perencanaan tata ruang yang lebih sensitif terhadap habitat satwa dan juga ruang kelola rakyat. Sepertinya, mereka hanya memikirkan investasi yang bernilai ekonomi namun merusak lingkungan hidup dan penuh dengan  praktek korupsi,” kata Made Ali.

 

Narahubung:

Made Ali, Wakil Koordinator Jikalahari 0812 7531 1009

Okto Yugo Setiyo, Staf Kampanye dan Advokasi Jikalahari 0853 7485 6435

 

[1] Harian Riau Pos, edisi Rabu 14 Maret 2018, Halaman 11

[2] Pasal 15 ayat 1 UU 32 Tahun 2009 Tentang Perlundungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

[3] pasal 15 ayat 2 huruf a UU 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

[4] Pasal 92 ayat 4 Permendagri 80 tahun 2015 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah

About Okto Yugo

Manajer Advokasi dan Kampanye Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *