Menuju Praktek Perkebunan Kelapa Sawit yang Berkelanjutan Secara Ekologis, Ekonomi dan Sosial

Kertas Posisi

Kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap keberlanjutan dan perbaikan tata kelola kelapa sawit dimulai dengan sejak diterbitkannya Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia atau dikenal dengan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) pada 2011 yang kemudian direvisi pada 2015.

Ini tidak terlepas dari dorongan berbagai pihak agar Indonesia sebagai negara produsen CPO terbesar untuk lebih memperhatikan aspek ekologi.  Dorongan ini tidak terlepas dari fakta yang ditunjukan berbagai laporan maupun penelitian bahwa rantai pasok industri kelapa sawit di Indonesia masih meninggalkan tumpukan persoalan. Sejak diberlakukannya ISPO pada Maret 2011 sampai Februari 2016, Sertifikat ISPO yang telah diberikan adalah sebanyak 225 sertifikat dengan luas area sebesar 1.4 juta Ha (s/d Februari 2017) dan Certified CPO sebesar 5.9 juta ton/tahun.

Dalam kurun waktu 1 (satu) tahun sejak Februari 2016 terjadi kenaikan signifikan dalam penerbitan sertifikasi ISPO yang mencapai 290% dari total sertifikat yang diterbitkan rata-rata pertahun sejak pemberlakuan sertifikasi ISPO pada Tahun 2011. Meningkatnya jumlah perusahaan yang menerima sertifikat ISPO tidak diikuti oleh perbaikan tata kelola industri kelapa sawit, yang ditandai dengan masih banyaknya persoalan seperti :

  1. Persoalan legalitas yang menyangkut izin Hak Guna Usaha (HGU)/ Izin Usaha Perkebunan (IUP) di dalam kawasan hutan dalam kaitannya dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), termasuk terbitnya izin melalui praktek-praktek non-prosedural;
  2. Izin limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3);
  3. Penanaman di sempadan sungai;
  4. Penerapan kebijakan perlindungan eksosistem lahan gambut;
  5. Perlindungan wilayah bernilai konservasi tinggi (HCV), dan wilayah bernilai stok karbon tinggi (HCS).

Ini menunjukan tingginya penerbitan sertifikasi ISPO yang tidak diikuti perbaikan tata kelola industri kelapa sawit berkelanjutan, menegaskan rendahnya kredibilitas dan akuntabilitas sistem ISPO. Buruknya kredibilitas dan akuntabilitas dalam implementasi sertifikasi ISPO, ditambah dengan lemahnya penegakan hukum terhadap berbagai pelanggaran menyebabkan rendahnya keberterimaan pasar atas ISPO. Momentum untuk melakukan pembenahan industri kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia cukup terbuka, terutama setelah pada 14 April 2016 Presiden mengutarakan komitmen untuk melakukan moratorium sawit1.  Ini merupakan momentum bagi Indonesia melakukan reformasi industri kelapa sawit untuk menjadi lebih kompetitif dan mengedepankan aspek keberlanjutan lingkungan dan sosial.

Pada Bulan Juni 2016 Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian membentuk Tim Penguatan ISPO melalui Surat Keputusan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 54 Tahun 2016 tentang Tim Penguatan Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO Certification System) dengan kegiatan utama menyusun sistem ISPO yang lebih memiliki kredibilitas.

 

Peraturan Presiden tentang Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Perpres ISPO).

Secara garis besar, tim  ini bertujuan untuk melakukan pembenahan mendasar terhadap sistem sertifikasi dan standarisasi dari industri kelapa sawit berkelanjutan Indonesia. Sampai dengan akhir Desember 2016, tim ini telah menyelenggarakan serangkaian diskusi terbatas dengan para pemangku kepentingan untuk mendorong dan merumuskan fokus rancang ulang ISPO. Pada tanggal 9 Mei 2017, Tim Penguatan ISPO akan memulai rangkaian konsultasi publik di 5 region di Indonesia. Konsultasi pertama akan dilakukan untuk region Sumatera dan mengambil tempat di Kota Pekanbaru.

Dengan mempertimbangkan proses rancang ulang ISPO dan tentang Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Perpres ISPO), Kami perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil dan Petani Kelapa Sawit di Region Sumatera memandang penting untuk memberikan masukan tertulis kepada proses tersebut. Masukan kami terhadap proses ini adalah sebagai berikut:

  1. Pembenahan menyeluruh terhadap ISPO sebagai sebuah sistem sertifikasi.

Keseluruhan tahapan dari rancang ulang ISPO harus melalui sebuah proses yang inklusif, sistematis dan transparan. Ini berarti bahwa proses konsultasi publik dan penyusunan standar yang dilakukan tidak bisa hanya menjadi formalitas. Untuk itu diperlukan sebuah ruang komunikasi dan interaksi yang berkesinambungan. Sehingga semua masukan dari para pihak perlu untuk dipertimbangkan. Proses perancangan ulang harus mampu untuk melihat berbagai kekurangan-kekurangan yang dimiliki dalam implementasi ISPO selama ini. Selain itu, proses konsultasi yang dilakukan harus disertai dengan proses pendokumentasian yang profesional, sehingga tidak menjadi sekedar sosialisasi.

Sebagai sebuah sistem, diperlukan bahwa ISPO:

  1. Memiliki komponen penilai dan penerbit sertifikat yang indipenden, terakreditasi dan impartsial;
  2. Memiliki mekanisme penyelesaian keluhan yang prosedurnya jelas, jangka waktu penyelesaian tertentu, dan membuka peluang pembenahan sistem secara berkala yang didasarkan pada sebuah evaluasi berkala;
  3. Pemerintah sebagai regulator harus memastikan sistem ini berjalan, dan pra kondisi dari sistem ini dapat dipenuhi;
  4. Penegakan terhadap pelanggaran harus ditindak lanjuti.
  1. Menyiapkan pra-kondisi

Dalam kondisi hari ini, kami menemukan beberapa kondisi yang tidak efektif untuk menjadikan kelapa sawit menjadi industry yang berkelanjutan. Diperlukan pernyiapan pra-kondisi agar rancang ulang ISPO yang dilakukan dapat secara maksimal dilakukan. Untuk itu, kami menuntut agar:

  1. Tumpang tindih kawasan dan perkebunan harus di prioritaskan untuk dapat diselesaikan sebelum pemberlakuan ISPO secara penuh baik bagi Petani Swadaya maupun Pemegang HGU;
  2. Evaluasi terhadap sertifikat ISPO yang sudah diterbitkan selama ini harus dilakukan, hal ini diperlukan untuk dapat memastikan bahwa tidak ada perusahaan yang mendapatkan ISPO tapi masih memiliki tumpukan yang tersisa.
  3. Identifikasi permasalahan yang jelas dan konkrit di tingkat tapak harus menjadi landasan dalam penyusunan keseluruhan sistem yang akan disusun.
  4. Memastikan bahwa kebijakan ISPO di tingkat tapak tidak menjadi gap pemisah antara perusahaan dan petani swadaya. Dengan metode sosialisasi, pendampingan.
  1. Membenahi jaminan hukum  bagi petani

Jaminan hukum terhadap petani menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa   petani swadaya memiliki kapasitas  dan fasilitas untuk dapat mengikuti sistem ISPO. Kami menemukan bahwa diperlukan sebuah proses pembenahan jaminan hukum bagi petani yang dapat memberikan jaminan terhadap pola produksi petani.

  1. Pendampingan dari pemerintah daerah untuk mendorong didirikannya kelembagaan di tingkat petani harus menjadi prioritas utama. Ini juga berarti harus memperjelas kewajiban bagi pemerintah daerah untuk mengaktualisasikan pendataan petani di wilayahnya melalui STDB.
  2. Proses pendampingan petani terkait dengan Praktek Perkebunan yang Baik (Good Agricultural Practice –GAP) harus dilakukan secara terencana oleh Pemerintah daerah dan masuk ke dalam anggaran.
  3. Penentuan harga tandan yang selama ini tidak melibatkan perwakilan petani harus dirubah sehingga mempertimbangkan aspirasi dari petani. Sehingga harga yang ditentukan dapat mencerminkan kebutuhan dan harga produksi petani.
  1. Prinsip dan Kriteria ISPO

Dalam prinsipnya, kami meyakini bahwa diperlukan 9 (Sembilan) prinsip yang harus menjadi landasan bagi ISPO sebagai sebuah sistem sertifikasi. Prinsip tersebut adalah:

  1. Legalitas;
  2. Manajemen Perkebunan;
  3. Perlindungan terhadap pemanfaatan hutan alam dan lahan gambut;
  4. Perlindungan terhadap lingkungan dengan melakukan praktik perkebunan yang bertanggung jawab;
  5. Tanggung jawab terhadap pekerja;
  6. Pemberdayaan petani kecil, masyarakat adat dan lokal;
  7. Peningkatan usaha secara berkelanjutan;
  8. Ketertelusuran dan transparansi;
  9. Menghargai hak asasi manusia.

Untuk dapat mendukung prinsip tersebut, maka kami berkeyakinan bahwa ISPO harus menjadi sebuah sistem yang dijalankan secara transparan dan akuntabel. Untuk hal tersebut, dibutuhkan sebuah mekanisme pengawasan dan pemantauan yang independen. Untuk itu, rancang ulang ISPO harus memiliki mekanisme pemantauan independen dan pengawasan atas sistem secara internal. Mekanisme ini juga harus dilengkapi dengan mekanisme pengaduan yang professional atas temuan terhadap pelanggaran.

­­­­Lembaga Perwakilan Masyarakat Sipil dan Petani Kelapa Sawit di Sumatera

Aceh: HAKA, GERAK

Sumatera Utara: WALHI Sumatera Utara, AMAN Sumatera Utara, SPKS Labura

Riau: WALHI Riau, ELANG, JMGR, FITRA Riau, WWF Riau, Yayasan Mitra Insani, JIKALAHARI, SPKS Rokan Hulu, SPKS Kuansing, SPKS Siak

Sumatera Barat: PBHI Sumatera Barat

Jambi: SETARA Jambi, Perkumpulan Rakyat Tani Jambi, SPKS Tanjabar Jambi

Bengkulu: WALHI Bengkulu, AMAN Bengkulu

Lampung: WALHI Lampung, YKWS Lampung

Sumatera Selatan: HAKI Sumatera Selatan, AMAN Sumatera Selatan, SPKS Lalan Muba

Ket:

1 http://ksp.go.id/presiden-siapkan-moratorium-lahan-kelapa-sawit-dan-lahan-tambang/

About Nurul Fitria

Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari

One thought on “Menuju Praktek Perkebunan Kelapa Sawit yang Berkelanjutan Secara Ekologis, Ekonomi dan Sosial

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *