Plt Gubernur Riau Mempercepat Perhutanan Sosial Dibanding Eks Gubernur Riau Syamsuar?

Pekanbaru, 13 November 2023—Jikalahari mendesak Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Riau (Gubri) Edy Natar Nasution mempercepat realisasi perhutanan sosial, reforma agraria, menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) berkaitan dengan masyarakat adat, memulihkan penyakit korban ISPA 2023 dan mempercepat revisi Perda RTRWP Riau paska putusan uji materil Mahkamah Agung (MA) di tengah jabatan PLT kurang dari dua bulan.

“Seberapa berani dan cepat Plt Gubernur dibanding eks Gubernur Syamsuar yang lamban merealisasikan wilayah kelola rakyat dan masyarakat adat?” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.

Syamsuar diberhentikan sebagai Gubernur Riau sejak 25 Oktober 2023 berdasarkan Keputusan Presiden No 103/P Tahun 2023 Tentang Pemberhentian Gubernur Riau Masa Jabatan Tahun 2019 – 2024 dan Penunjukan Pelaksana Tugas Gubernur Riau Masa Jabatan 2019 – 2024.

Keputusan ini berisi, Kesatu, Memberhentikan dengan hormat Drs. H. Syamsuar, M.Si., sebagai Gubernur Riau Masa Jabatan Tahun 2019 – 2024, disertai ucapan terima kasih atas pengabdian dan jasa-jasanya selama memangku jabatan tersebut.

Kedua, Menunjuk H. Edy Nasution, Wakil Gubernur Riau Masa Jabatan Tahun 2019 – 2024 sebagai pelaksana tugas untuk melaksanakan wewenang dan kewajiban sebagai Gubernur Riau Masa Jabatan Tahun 2019 – 2024.

Jikalahari menilai, kepergian eks Gubernur Riau Syamsuar yang memilih meninggalkan persoalan lingkungan hidup dan kehutanan saat mundur dan memilih maju sebagai calon legislatif dari Partai Golkar.

“Selama menjabat, komitmen Riau Hijau hanya di atas kertas. Di lapangan, justru Gubernur Syamsuar merebut ruang perhutanan sosial melalui BUMD, hingga tidak punya empati dan tindakan terhadap masyarakat Riau yang terpapar polusi asap,” kata Made Ali.

Catatan Jikalahari untuk Plt Gubernur Riau agar mempercepat komitmen Riau Hijau setidaknya yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat dan pemulihan lingkungan hidup;

Pertama, Syamsuar belum menyelesaikan revisi Perda 10 Tahun 2018 tentang RTRW Riau. Pada 8 Agustus 2019, Jikalahari bersama Walhi Riau mendaftarkan Permohonan Keberatan (Judicial Review) ke Mahkamah Agung terhadap Perda 10 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Prvovinsi Riau.

Salah satu alasannya, Perda 10 Tahun 2018 mengalokasikan kawasan lindung gambut hanya seluas 21.615 ha (0,43%) dari 4.972.482 ha lahan gambut di Riau sangat jauh di bawah ketentuan PP No. 71 Tahun 2014 jo. PP No. 57 Tahun 2016 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut di mana Provinsi harus mengalokasikan minimal 30% menjadi kawasan lindung. Hal tersebut juga bertentangan dengan SK 130/MENLHK/Setjen/PKL.0/2/2017 tentang Penetapan Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional, di mana Riau ditetapkan fungsi lindung seluas 2.378.108 ha.

Sejak dikabulkan Majelis Hakim pada 3 Oktober 2019, hingga saat ini Pemprov Riau belum menyelesaikan revisi Perda RTRW Riau, terakhir Jikalahari mengikuti Konsultasi Publik kedua RTRW Riau pada Maret 2023, saat itu luasan lindung gambut juga belum muncul karena perbedaan data dari berbagai dinas.

Kedua, realisasi perhutanan sosial (PS) yang lamban. Hingga 13 September 2023, capaian PS di Riau seluas 160.944,34 ha, yang terbagi dalam skema Hutan Desa 78.097,79 ha, Hutan Kemasyarakatan 51.220,01 ha, Hutan Tanaman Rakyat 5.669,54 ha, Hutan Adat 19.113 ha dan Kulin KK 6.844 ha. Dari 1,1 juta ha luas potensi PS di Riau, baru 13% atau seluas 160 ribu ha yang direalisasikan.

Dengan rendahnya realisasi izin PS di Riau, Syamsuar justru mengusulkan areal – areal potensi PS untuk masyarakat diusulkan menjadi perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) melalui BUMD Provinsi, bahkan Syamsuar sampai menemui Menteri Investasi untuk mengurus izin PBPH tersebut, ini sangat jauh berbeda dengan pernyataan Syamsuar di awal kepemimpinannya yang akan mendorong percepatan PS dalam program prioritas 100 hari.

Ketiga, polusi asap masih menghantui Riau. Polusi asap akibat karhutla kembali terjadi pada 2023 karena Syamsuar tidak menjalankan Perda Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Pedoman Teknis Penanggulangan Kebakaran Hutan. Perda ini berisi mulai dari pencegahan, penanggulangan, dan penanganan pasca kebakaran hutan dan lahan termasuk sarana prasarana, pengawasan, kelembagaan, peran masyarakat, pembiayaan, ketentuan penyidikan, dan ketentuan pidana.

Salah satu isi Perda berkaitan dengan tanggungjawab Pemerintah Daerah terhadap warga yang terpapar polusi asap. Pada Pasal 36 ayat 1 berbunyi Perlindungan terhadap kelompok rentan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat 4 huruf e dilakukan dengan memberikan prioritas kepada kelompok rentan berupa penyelamatan, evakuasi, pengamanan dan pelayanan kesehatan. Kelompok rentan yang dimaksud adalah; bayi, balita dan anak-anak; ibu yang sedang mengandung atau menyusui; penyandang cacat; orang lanjut usia; dan kelompok masyarakat marginal.

Dalam perda tersebut, Gubri diwajibkan menerbitkan 9 Peraturan Gubernur yang diterbitkan paling lama setahun sejak perda terbit (15 Agustus 2019). Pergub tersebut disusun oleh BPBD Provinsi Riau.

Hingga Syamsuar mundur, baru satu Pergub yang terbit yaitu Pergub Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Prosedur Tetap Kriteria Penetapan Status Keadaan Darurat Bencana Dan Komando Satuan Tugas Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau. Pergub ini menimbang dua pasal dalam Perda Nomor 1 Tahun 2019 dan memuat empat aturan yang diwajibkan untuk dibuat aturan pelaksananya.

Keempat, Tidak ada komitmen Syamsuar dalam pengakuan dan penghormatan masyarakat hukum adat di Riau. Pada 22 Mei 2018 terbit Peraturan Daerah (Perda) nomor 14 tahun 2018 tentang Pedoman Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Untuk implementasi Perda ini, setidaknya ada tiga Pergub pelaksana dari Perda yang harus disiapkan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi (DLHK) Riau.

  • Pertama, Pergub tentang Tata Cara Pengakuan Keberadaan masyarakat hukum adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
  • Kedua, Pergub tentang Mekanisme yang Efektif untuk mencegah Konflik.
  • Ketiga, Pergub tentang Mekanisme Penyelesaian Sengketa.

Hingga Syamsuar mundur, belum ada satupun Pergub turunan dari Perda 14 tahun 2018, padahal Jikalahari telah menyerahkan draf Ranpergub Tata Cara Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Provinsi Riau kepada Syamsuar pada 27 Januari 2022. Ranpergub ini disusun bersama para ahli dan praktisi masyarakat adat yaitu; Datuk Seri Al Azhar (alm) ketua Majelis Kerapatan Adat LAM Riau, Dr. Gusliana HB, Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau dan Akhwan Binawan, Direktur Yayasan Hakiki

Kelima, lambannya realisasi tanah objek reforma agraria (TORA) di Riau. Dari 461.647,53ha alokasi TORA di Riau belum diketahui berapa yang sudah direalisasikan. Syamsuar sebagai Ketua Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Provinsi Riau berdasarkan Surat Keputusan Nomor Kpts.217/II/2023 juga belum membuka kepada publik terkait capaian luasan TORA di Riau. TORA seharusnya dapat menjadi penyelesaian konflik agrarian dan tumpang tindih pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh korporasi.

Narahubung:
Made Ali, Koordinator Jikalahari —0812 7531 1009
Arpiyan, Staf Kampanye dan Advokasi—0812 6111 634

About Nurul Fitria

Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *