Aksi Koreksi Pemerintah di Riau: Ada Perbaikan, Namun Belum Berani Menghentikan Kejahatan Korporasi

Pekanbaru, 31 Desember 2017—Tahun 2017 ditutup dengan kemenangan kecil Masyarakat Riau atas kehadilan ruang dan ekologis. Pada 21 Desember 2017 majelis hakim PTUN Jakarta menolak Permohonan Mendapatkan Putusan Penerimaan Atas Permohonan Pencabutan Surat Keputusan Atau Keberatan Terhadap Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor SK 5322/Menlhk-PHPL/UPL.1/20/2017 tentang Pembatalan Keputusan Menteri Kehutanan No SK 173/VI-BHPT/2010 dan Keputusan Menteri Kehutanan No Sk 93/VI-BUHT/2013 yang diajukan PT RAPP.

Pada 16 Oktober 2017, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya menyurati Menteri Dalam Negeri, Cahyo Kumolo perihal menolak Rancangan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi (RTRWP) Riau 2017 – 2037 karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Menteri LHK meminta agar Pemerintah Provinsi Riau menyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebelum Gubernur menetapkan sebagai Perda RTRWP Riau 2013 – 2037.

Mendagri pada 13 November 2017 mengirim surat kepada Gubernur Riau perihal evaluasi Ranperda RTRWP Riau agar Gubernur Riau membuat KLHS. Dua hari setelahnya, Bappeda Riau melakukan konsultasi publik terkait KLHS di kantor Bappeda Riau. Pada 8 Desember 2017, Bappeda kembali menggelar rapat tim penyusun KLHS. Kajian yang dihasilkan, dijadikan dasar pertimbangan untuk menyusun Ranperda RTRWP Riau.

“Dua peristiwa di atas salah satu wujud kebijakan pemerintah berpihak pada 5 warga Riau meninggal, serta 6 juta rakyat Riau terpapar polusi asap selama 18 tahun. Ini juga wujud pemulihan ekosistem gambut yang telah dirusak oleh korporasi dan cukong,” kata Woro Supartinah, koordinator Jikalhari.

Namun Kemenangan kecil atas ekologi tidak diikuti oleh kebijakan pemerintah daerah, penegakan hukum kasus-kasus lingkungan hidup yang melibatkan korporasi. Jikalahari menemukan pemerintah masih lamban menyelesaikan penegakan hukum terhadap korporasi dan cukong, konflik sosial antara masyarakat dengan perusahaan, kebijakan Perhutanan Sosial (PS) dan pengakuan masyarakat hukum adat serta ruang partisipasi publik.

Gambaran dari persoalan-persoalan lingkungan hidup dan kehutanan salah satunya dapat dilihat salah satunya dari masih tingginya angka deforstasi di Riau. Dari hasil pemantauan tutupan hutan alam tersisa di Riau pada 2017, melalui pantauan citra satelit Landsat 8, terjadi penurunan tutupan hutan alam seluas 224.602 ha dalam kurun waktu 2015-2017. Luas tutupan hutan alam Riau kini hanya 1.420.260 ha, pada 2015 hutan alam tersisa seluas 1.644.862 ha dan 2013 2.005.512,96 ha.

Deforestasi tersebut 56 % terjadi dalam areal IUPHHKHT atau seluas 122.648,107 ha dan sisanya di luar areal IUPHHKHT seluas 101.953,893 ha. Korporasi penyumbang deforestasi terbesar adalah PT The Best One Uni Timber seluas 21.834,158 ha milik Barito Group, serta dua anak perusahaan milik APP Group, PT Satria Perkasa Agung seluas 21.680,053 ha dan PT Dexter Timber Perkasa Indonesia seluas 20.053,675 ha.

“Ini menunjukan korporasi HTI masih saja terus menebang hutan alam meskipun telah berkomitmen untuk pengelolaan hutan terbaik dan berkelanjutan. Ini juga dampak dari lemahnya penegakan hukum terhadap korporasi,” kata Woro.
Dampak lain dari lambatnya penegakan hukum pada kasus lingkungan hidup dan kehutanan yang dilakukan oleh korporasi berdampak pada masih tingginya hotspot di areal korporasi, termasuk di areal konsesi korporasi yang dilaporkan oleh masyarakat dan konsesi korporasi yang di SP3. Dari pantaan satelit Terra dan Aqua Modis ditemukan ada 1.313 hotspot dengan confidence >70% berpotensi menjadi titik api sebanyak 238 titik.

Pada konsesi IUPHHK; terdapat 125 hotspot di PT. Riau Andalan Pulp & Paper; 117 hotspot di PT. Arara Abadi; 83 hotspot PT. Sumatera Riang Lestari; 41 hotspot PT. Sekato Pratama Makmur dan PT. Satria Perkasa Agung (KTH Sinar Merawang); 36 hotspot PT. Mitra Kembang Selaras; 34 hotspot PT. Mitra Hutani Jaya; 32 hotspot PT. Bukit Batu Hutani Alam; 30 hotspot PT. Multi Eka Jaya Timber; 28 hotspot PT. Uni Seraya. Secara garis besar 434 hotspot berada dalam konsesi APP Group dan 413 hotspot dalam konsesi APRIL Group. Sisanya 49 hotspot berada di konsesi group lainnya.

Terdapat 28 hotspot di konsesi HGU (Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit); 8 hotspot di PT. Musim Mas; 6 hotpsot PT. Triomas FDI; 2 hotspot di PT. Multi Gambut Industri, PT. Teguh Karsawana Lestari dan PT. Uni Seraya dan 1 hotspot yang berada pada PT. Arvena Sepakat, PT. Bumireksa Nusa Sejati, PT. Citra Riau Sarana, PT. Kencana Amal Tani, PT. Langgam Inti Hibrindo, PT. Riau Sakti United Plantations, PT. Trisetia Usaha Mandiri dan PTPN V (PTP. II Tandun).

Jikalahari mencatat persoalan keadilan tata kelola lingkungan hidup yang harus diselesaikan serta perbaikan yang harus dilakukan secara serius oleh pemerintah dan penegak hukum.

Pertama, Pemerintah dan aparat penegak hukum belum sepenuhnya transparan kepada publik terkait kebijakan.

Informasi perkembangan revisi RKU-RKT korporasi baru diketahui publik secara detail setelah ribut-ribut kasus PT RAPP yang menggugat KLHK ke MA dan PTUN. KLHK ternyata sudah memberi peringatan pertama dan kedua pada PT RAPP yang belum bersedia merevisi RKU-RKTnya. Sampai detik ini, publik tidak tahu berapa korporasi HTI dan sawit yang sudah merevisi RKU-RKTnya. Kalaupun ada informasi dari KLHK, hanya menyebut jumlah korporasi yang sudah merevisi RKU-RKT, siapa saja nama korproasi sampai detik ini publik belum tahu. Padahal informasi RKU-RKT adalah informasi yang layak diketahui publik sebagai wujud peran serta masyarakat dalam aturan terkait LHK.

Perkembangan RTRWP dan Pembahasan KLHS. Selama penyusunan Ranperda RTRWP Riau 2017-2037 dan pembahasan Gubernur Riau hingga pembahasan dan pengesahan di DPRD Riau sangat tidak transparan dan minim partisipasi publik.

Paska ranperda RTRWP Riau ditolak oleh Mendagri dan Gubernur Riau diminta untuk membuat KLHS, Gubernur Riau menyetujui arahan tersebut dengan membentuk Tim penyusun. Pada 15 November 2017, Gubernur Riau melalui Bappeda mengadakan konsultasi publik pertama di kantor Bappeda Riau dengan tujuan merumusakan isu-isu yang akan dibahas dalam KLHS. Pada 21 Desember 2017, Bappeda kembali mengadakan konsultasi publik penyusunan KLHS yang dilaksanakan di Hotel Premier Pekanbaru.

Namun Gubernur Riau lagi-lagi tidak transparan dan tidak partisipatif dalam membentuk tim penyusun KLHS dengan memasukan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan KADIN yang merupakan bagian dari masalah.

Perkembangan penegakan hukum kasus lingkungan hidup yang dilaporkan masyarakat. Informasi perkembangan penanganan laporan masyarakat di Polda Riau 49 Korporasi Karhutla dan 33 Korporasi Perkebunan Sawit merambah dalam kawasan hutan, laporan 49 Korporasi karhutla kepada dirjen Gakum KLHK dan laporan ke KPK terkait 20 Korporasi korupsi kehutanan di Riau tidak pernah disampaikan ke publik baik melalui media massa maupun perkembangan pada pelapor. Padahal dalam Inpres pencegahan anti korupsi Presiden Jokowi, salah satu aksi aparat penegak hukum adalah melaporkan perkembangan penanganan perkara yang ditangani kepada masyarakat luas.

Kedua, Penegakan hukum masih lemah terhadap korporasi. Setelah setahun Jikalahari melaporkan 49 korporasi HTI dan Sawit, 33 korporasi perkebunan sawit illegal beroperasi dalam kawasan hutan tanpa izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hingga November 2017 belum ada perkembangan penyelidikan dan penyidikan yang signifikan.

Sepanjang November – Desember 2016, Jikalahari melaporkan 49 korporasi HTI dan sawit yang melakukan tindak pidana perkebunan, kehutanan dan lingkungan hidup. Progres tindak lanjut laporan Jikalahari sejauh ini ada 4 korporasi: PT RAPP, PT Triomas FDI, PT Riau Utama Jaya dan PT Suntara Gaja Pati masuk proses penyelidikan Gakkum KLHK.

Jikalahari memfollow up laporan Jikalahari ke KPK untuk 20 Korporasi HTI terlibat korupsi kehutanan ke bagian Pengaduan Masyarakat (Dumas) pada Juli 2017. Dumas katakan 20 korporasi sudah naik dari bagian Telaah ke Penindakan. Namun hingga saat ini, KPK belum menetapkan satupun dari 20 perusahaan sebagai tersangka.

Dalam kasus itu KLHK mulai berfokus pada sektor money laundring dan keuangan korporasi khusus perkebunan kelapa sawit yang berasal dari kawasan hutan. KLHK, OJK dan PPATK mulai berkoordinasi guna mengusut transaksi keuangan terkait kejahatan perambahan hutan untuk perkebunan . Model penanganan perkara ini sebaiknya juga digunakan Gakkum KLHK dalam menangani perkara dengan tersangka korporasi-korporasi yang telah dilaporkan Jikalahari.

Ketiga, Ranperda RTRWP Riau masih Menguntungkan cukong dan korporasi namun mengabaikan tak masyarakat adat. Ranperda RTRWP Riau 2017-2037 tidak menyebutkan luasan yang dialokasikan untuk perhutanan sosial. Selain itu hutan adat di Riau hanya ditetapkan seluas 471 ha. Selain itu, areal peruntukan holding zone juga menguntungkan korporasi dan cukong dimana hasil pengecakan Jikalahari menemukan 45.301 merupakan areal perkebunana sawit ilegal yang dikuasai 22 korporasi dan cukong.

Ranperda RTRWP Riau masih akan melanggengkan karhutla karena mengabaikan perlindungan kawasan gambut. Luasan Kawasan Lindung Bergambut versi Ranperda RTRWP 2017 – 2037 jauh berkurang dibanding draft RTRWP 2016 – 2035 usulan Pemprov Riau kepada DPRD Prov Riau 2016. luasan gambut pada draft RTRWP 2016 – 2035 usulan Pemprov Riau kepada DPRD Prov Riau 2016 seluas 1.693.030 hektar. Namun menghilang dan derganti luasanyan menjadi 21.615 ha saja. Padahal Merujuk pada SK MenLHK Nomor SK.129/MenLHK/Setjen/PKL.0/2/2017 Tentang Penetapan Peta Kesatuan Hidrologis Gambut Nasional untuk Provinsi Riau seluas 5.040.735 hektar dengan fungsi budidaya seluas 2.567.352 hektar dan 2.473.383 hektar untuk kawasan lindung.

Artinya kawasan gambut dalam dan gambut bekas terbakar yang seharusnya dilindungi akan tetap menjadi kawasan produksi yang tentunya akan melanggengakan terjadinya karhutla.
Keempat, Penyelesaian Konflik masyarakat vs Perusahaan Penyelesaian konflik masyarakat Bengkalis dengan PT Rimba Rokan Lestari belum menunjukkan progres dari KLHK. Laporan masyarakat terkait kebakaran hutan dan lahan dalam konsesi korporasi ini dan perampasan lahan masyarakat oleh korporasi, hingga detik ini belum ada tindaklanjutnya. Padahal Pansus merekomendasikan kepada Bupati Bengkalis mengeluarkan kebijakan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar mencabut atau sekurang-kurangnya meninjau ulang SK Menhut No 262/KPTS-II/1998 tanggal 27 Februari 1998 tentang Pemberian HPH HTI seluas 14.875 ha kepada PT Rimba Rokan Lestari (RRL).

Kelima, Gubernur Riau dan jajaranya belum serius melaksanakan renaksi Pemda GNPSDA KPK menyebabkan persoalan konflik tenurial tidak dapat diselesaikan. Tidak dilaksanakannya Renaksi Pemda GNPSDA juga menyebabkan Ranperda Tata Ruang mengutungkan mkorporasi HTI dan perkebunan kelapa sawit dan tidak pro terhadap masyarakat.

Melalui kinerja KLHK terlihat ada tindakan dan kebijakan berupa menolak Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 agar dibuat KLHS, merevisi RKU-RKT PT RAPP agar areal gambut bekas terbakar dijadikan fungsi lindung, menetapkan PT JJP sebagai tersangka dan berhasil menekan jumlah hotspot dan karhutla di Riau. Pada level kebijakan, KLHK menerbitkan Peraturan Menteri LHK tentang Perlindungan Gambut, SK Kesatuan Hidrologis Gambut dan skema penyelesaian konflik melalui RETN.

“Aksi koreksi Presiden Jokowi di Provinsi Riau sepanjang 2017 menunjukkan perkembangan cukup bagus,” kata Woro. “Namun aksi koreksi ini belum didukung sepenuhnya oleh Pemda Riau, Polda Riau dan KPK. Pemda Riau justru mengusulkan perusakan lingkungan hidup dan kehutanan melalui usulan draft Ranperda RTRWP Riau 2016 – 2035 dan meski mendukung KLHS, lagi-lagi Gubernur Riau memasukkan APHI, GAPKI dan KADIN dalam tim penyusun KLHS Provinsi Riau. Padahal 3 lembaga ini bagian dari masalah dalam Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037.”

Polda Riau dan gakkum KLHK tidak melaksanakan Inpres pencegahan anti korupsi dengan tidak menyampaikan kepada publik perkembangan penanganan perkara yang dilaporkan oleh Jikalahari dan KRR. Polda Riau juga lambat dalam menangani laporan yang dilaporkan masyarakat sipil sehingga menyebabkan korporasi tersebut terus melakukan pengrusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang ditandai masih adanya hotspot dan kebakaran di areal korporasi.

KPK masih belum berani menindak korupsi korporasi meski komisioner KPK berjanji menindak korporasi paska PERMA No 13 tahun 2016 sudah terbit. Setelah laporan terkait 20 korporasi korupsi hutan alam Riau masuk di bagian Penindakan KPK sejak Januari 2017, hingga detik ini belum ada progres penetapan korporasi sebagai tersangka.

Meski ada wujud perbaikan tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan, pemerintah dan aparat penegak hukum belum berani menindak kejahatan korporasi, mencabut seluruh izin korporasi di atas hutan alam dan lahan gambut, mengembalikan hutan tanah milik masyarakat adat dan tempatan yang dirampas oleh korporasi dan belum sepenuhnya transparan serta melibatkan publik dalam proses perbaikan tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan.

Jikalahari merekomendasikan:

1. Presiden Joko Widodo mengevaluasi kinerja Kapolri terkait lambannya penegakan hukum pencemaran dan perusakan lingkungan hidup di Riau yang melibatkan korporasi.
2. Presiden Joko Widodo mendorong KPK segera menetapkan 20 korporasi terlibat korupsi kehutanan Riau menjadi tersangka
3. Presiden Joko Widodo menegur dan memberi sanksi kepada Gubernur Riau karena tidak mendukung upaya perbaikan tata kelola lingkungan hidup sebagai wujud aksi koreksi Presiden Jokowi.
4. Menteri LHK segera memerintahkan Dirjen Gakkum KLHK menetapkan 49 korporasi sebagai tersangka perusak dan pencemar lingkungan hidup dan kehutanan di Riau
5. Menteri LHK segera mencabut seluruh izin korporasi diatas lahan gambut dan hutan alam di Riau dan mendistribusikan lahan tersebut kepada masyarakat adat dan tempatan
6. Menteri LHK segera mengaudit seluruh perizinan korporasi yang melakukan praktek-praktek pelanggaran hukum dan diberi pembiayaan oleh bank dan lembaga pembiayaan baik dalam maupun luar negeri dengan cara menetapkan kriteria pembiayaan yang memperhatikan aspek lingkungan hidup dan melakukan kerjasama dengan PPATK dan OJK menelusuri keuangan yang tidak berkelanjutan.
7. Kapolri segera memecat Kapolda Riau karena tidak berani melakukan penegakan hukum terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan.

Narahubung:
Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari, 0813 1756 6965
Okto Yugo Setiyo, Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari, 0853 7485 6435

 

Download (PDF, 2.22MB)

About Okto Yugo

Manajer Advokasi dan Kampanye Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *