‘Memulihkan’ Kawasan Hutan di Semenanjung Kampar

Oleh Nurul Fitria

UNTUK membuat keranda orang mati saja sekarang susah,” keluh Efendi. Warga Teluk Meranti, Pelalawan.

Ia berkeluh kesah tentang persoalan yang terjadi di desa kelahirannya saat ini. Ketika kayu hutan sudah tidak bisa diambil lagi, masyarakat Teluk Meranti kesulitan memenuhi kebutuhan berbahan dasar kayu. Diantaranya membuat rumah, perahu atau sampan serta jembatan. Dengan adanya larangan untuk mengambil kayu, kini masyarakat kebingungan untuk mencari penggantinya.

Efendi ceritakan karena Teluk Meranti berada dalam kawasan gambut dalam, ketika ada orang yang meninggal dan hendak dikuburkan, butuh kayu untuk kerandanya. “Sekarang sudah susah, rumah-rumah lapuk, sampan dah payah dibuat, untuk orang mati pun susah,” ujar pria kelahiran 10 April 1974 ini.

Tak hanya persoalan kesulitan mencari kayu, kekeringan di lahan gambut juga sedang terjadi di Teluk Meranti. Dengan adanya perusahaan HTI besar seperti PT RAPP dan PT Arara Abadi, ditambah manajemen air yang tak baik membuat gambut kering dan berdampak pada masyarakat. “Dulu setengah meter saja kita sudah bisa dapat air, sekarang gali 3 meter pun belum tentu dapat,” ujar pria yang akrab disapa Fendi ini.

Abrasi Bono serta angin kencang yang menerjang rumah di Teluk Meranti juga jadi masalah. Menurut Fendi, jika dulu abrasi akibat bono hanya 50 meter, kini bisa mencapai 200 meter. Sedangkan angin kencang terjadi jika angin dari laut berhembus. “Ini semua karena sudah tak ada pohon dari hutan yang menahan air dan angin itu,” keluh anak ke 7 dari sepuluh bersaudara ini karena perusahaan juga mengambil kayu-kayu yang berada di bagian pinggir sungai.

Fendi bersama masyarakat yang berada di Semenanjung Kampar membentuk Forum Masyarakat Penyelamat Semenanjung Kampar pada 2009. Ia ditunjuk sebagai ketua. Forum ini dibentuk untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat di Semenanjung Kampar.

Dengan adanya forum tersebut, Fendi beserta pengurus berusaha memperjuangkan hak-hak masyarakat. Salah satunya pada 2012 ia bersama Jasri, Nando, H Rusma, Abdul Malik dan Muhammad Nasir menggugat Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan Bupati Pelalawan H M Harris. Gugatan Masyarakat (Citizen Law Suit) yang intinya merevisi SK Menhut 327 tahun 2009 dan menjadikan hutan Negara tidak lagi kawasan HTI PT RAPP melainkan konsesi seluas 43.400 hektar di Semenanjung Kampar dijadikan Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat atau Hutan Kemasyarakatan, dengan catatan tanah milik warga terlebih dahulu dikeluarkan (enclave).

 

WARGA Kelurahan Teluk Meranti sebelum Indonesia merdeka sudah hidup makmur. Pasalnya, tersedianya sumber-sumber kehidupan; hasil pertanian melimpah, perikanan, hutan kayu juga melimpah.

Namun, sejak masuknya PT Riau Pulp and Paper (RAPP), dengan mengantongi SK Menhut 327 tahun 2009 keadaan berbalik. Hasil kehidupan mereka dari alam sirna. Walaupun masih bisa berladang, namun penghasilan sedikit, karena banyaknya hama babi hutan. PT RAPP dapat konsesi lewat SK Menhut 327 tahun 2009 secara keseluruhan seluas 151.254 hektar di Kabupaten Pelalawan.

Saat ini Fendi dan FMPSK sedang mengembangkan usaha budidaya jambu madu yang memanfaatkan lahan gambut sebagai medianya. Menurut suami dari Roziana ini, budidaya jambu ini dijadikan alternatif bagi masyarakat yang saat ini sudah sulit untuk bertani karet dan jagung, karena adanya larangan membakar lahan. “Kita tak mau lagi ada masyarakat kena kriminalisasi karena bersihkan lahan bekas jagung dengan bakar. Makanya kita cari apa yang bisa kita kembangkan di desa ini,” ujar ayah dari Randi Setiawan, Indah Febrianti dan Gita Arianti ini.

Harapannya dengan berkembangnya budidaya jambu madu dengan memanfaatkan medium tanah gambut ini, masyarakat tidak lagi mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Ini semua kita pelajari dari internet, kita coba-coba. Kalau berhasil, ini bisa jadi contoh dikembangkan di daerah lain,” tambah Fendi.

Untuk mengatasi persoalan abrasi dan angin kencang, saat ini Fendi dan FMPSK sudah melakukan penanaman tanaman hutan seluas 2 hektar di desa Teluk Meranti awal 2016.

“Memang masih kecil cuma 2 hektar, tapi ini akan kita kembangkan lagi, supaya tanaman hutan tumbuh lagi,” kata Koordinator Kelurahan Teluk Meranti Jaringan Masyarakat Gambut Riau  ini.

Ia dan pengurus FMPSK saat ini sedang berusaha mewujudkan terbentuknya Ekowisata Hutan Gambut dan Wisata Bono di Teluk Meranti. Dengan terealisasinya rencana ini, diharapkan perhatian untuk menjaga kelestarian hutan gambut terus tumbuh di masyarakat serta dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

Berbagai usaha yang dilakukan Fendi dan FMPSK saat ini adalah usaha kecil yang diharapkan dapat menarik perhatian pemerintah agar lebih memperhatikan desa mereka.

Fendi mengeluhkan kehadiran perusahaan HTI besar di Teluk Meranti yang berada dalam kawasan gambut dalam. Berbagai persoalan mereka hadapi karena kehadiran perusahaan. “Kalau kemarau kita sulit air, kalau penghujan, siap-siaplah banjir semua,” kata Fendi. Penyebabnya kanal-kanal yang dibuat perusahaan ditembuskan langsung ke laut dan tidak adanya pengelolaan air yang baik. Selain itu masyarakat juga menemukan adanya kebun sawit dalam kawasan HTI yang seharusnya dijadikan kawasan konservasi.

“Ini sudah kita adukan ke Pemerintah Desa, Polisi, Bupati. Tapi tak ada kejelasan tindak lanjutnya. Tak adalah pemerintah ni liat betul langsung di lapangan apa yang terjadi dengan masyarakat,” keluh Fendi. Ia berharap pemerintah jangan hanya membuat kebijakan di pusat, tapi tak mengimplementasikannya hingga ke daerah. “Kami dengar kebijakan tu bagus, tapi sampai pun tidak dibuat ke desa kami ini.”#

About Nurul Fitria

Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *