UU Kehutanan dan P3H dalam RUU Cipta Kerja

Menutup Jalan Pengukuhan Kawasan Hutan Di Konsesi Korporasi

I. Pendahuluan

Ada 20 pasal dalam UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan ada 18 pasal dalam UU 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan yang diubah, dihapus, diganti dan ditambah di dalam RUU Cipta Kerja.

Tidak semua pasal dikaji oleh Jikalahari. Pasal-pasal yang dikaji Jikalahari terkait dampak terhadap masyarakat adat dan tempatan, korporasi dalam Kawasan hutan dan keanekaragaman hayati.

A. UU Kehutanan

Dalam UU ini Jikalahari fokus pada pasal 15 ayat 4,5 dan 6 serta pasal 38 ayat 3 dan 5.

Pasal 15

  1. Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses:
    • Penunjukkan kawasan hutan
    • Penataan batas kawasan hutan
    • Pemetaan kawasan hutan dan
    • Penetapan kawasan hutan
  2. Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah
  3. Pengukuhan kawasan hutan dilakukan dengan memanfaatkan tekhnologi informasi dan koordinat geografis atau satelit
  4. Pemerintah pusat memprioritaskan percepatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 pada daerah yang strategis
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai prioritas percepatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diatur dengan Peraturan Pemerintah
  6. Dalam hal terjadi tumpang tindih antara kawasan hutan dengan rencana tata ruang, izin dan/ atau hak tanah, penyelesaian tumpang tindih dimaksud diatur dengan Peraturan Presiden

Pasal 38 Ayat (3) dan Ayat (5)

3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan

5) Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

B. UU P3H

Dalam UU ini Jikalahari fokus pada pasal 92 ayat 1 dan 2, pasal 93 ayat 1 dan 2 serta pasal 110A ayat 1 dan 2.

Pasal 92

  1. Orang perseorangan yang dengan sengaja
    • Melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin dari pemerntah pusat di dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat 2 huruf b
    • Membawa alat-alat berat dan/ atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/ atau mengangkut hasil kebun dalam kawasan hutan tanpa perizinan dari pemerintah pusat, sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat 2 huruf a, dikenakan sanksi administrative berupa denda paling sedikit Rp 1,5 miliar dan paling banyak Rp 5 miliar
  2. Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun

Pasal 93

  1. Orang perseorangan yang dengan sengaja
    • Mengangkut dan/ atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunana di dalam kawasan hutan tanpa perizinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat 2 huruf c
    • Menjual, menguasai, memiliki dan/ atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa perizinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat 2 huruf d dan/atau
    • Membeli, memasarkan dan/ atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa perizinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat 2 huruf e, dikenakan sanksi administrative berupa denda paling sedikit Rp 1,5 miliar dan paling banyak Rp 5 miliar.
  2. Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun

 

Pasal 110A

  • Terhadap kegiatan usaha yang telah terbangun dalam kawasan hutan yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 2 tahun sejak UU ini diundangkan

Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme dan tata cara pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah

 II. Temuan dan Analisis

A. Terkait UU Kehutanan

          a. Menguntungkan Korporasi, Mengkriminalisasi Masyarakat Adat Tempatan

Terkait frasa “Memprioritaskan percepatan pengukuhan kawasan hutan pada daerah yang strategis diatur dengan Peraturan Pemerintah” dan frasa “Penyelesaian tumpang tindih diatur dengan Peraturan Presiden” dalam Pasal 15 ayat 4 menunjukan pemerintah tidak serius menyelesaikan problematika pengukuhan kawasan hutan antara masyarakat adat dan tempatan yang hutan tanahnya masuk dalam konsesi hutan tanaman industri.

Di Riau, total IUPHHK-HT seluas 2 juta ha. IUPHHK-HT ini dikuasai oleh dua grup besar, APP dan APRIL. APP menguasai seluas 1 juta ha, APRIL menguasai seluas 1 juta ha. Konsesi dua grup besar ini belum dikukuhkan baru sebatas penunjukan kawasan hutan yang di SK kan oleh Menteri Kehutanan (kini Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Meskipun dalam Putusan MK 45/PUU-IX/2011 dalam amar putusan menyebut frasa yang “ditunjuk  dan atau ditetapkan” dalam pasal 81 tetap sah dan mengikat.

Artinya meskipun IUPHHK-HT dua grup besar tersebut tetap sah dan dianggap sudah dikukuhkan, namun putusan MK tetap memerintahkan pada pemerintah untuk melakukan pengukuhan kawasan hutan berupa penunjukkan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan karena di dalam areal IUPHHK-HT dua grup besar tersebut merupakan wilayah masyarakat adat, perkampungan dan wilayah pertanian masyarakat.

Pertanyaannya, apakah penyelesaian konflik wilayah adat dan masyarakat tempatan dengan IUPHHK-HT dua grup besar ini masuk dalam “Memprioritaskan percepatan pengukuhan kawasan hutan pada daerah yang strategis diatur dengan Peraturan Pemerintah?”

Melihat kebijakan pemerintah terkait areal IUPHHK-HT dua grup besar tersebut selama ini lebih condong memenangkan korporasi, artinya pemerintah enggan mengukuhkan areal tersebut. Berarti ini tidak menjadi prioritas pemerintah. Oleh karenanya pemerintah tidak punya niatan mengembalikan wilayah masyarakat adat dan tempatan.

          b. Bertentangan dengan UU Lainnya

Terkait Pasal 15 ayat 6, frasa “Penyelesaian tumpang tindih diatur dengan Peraturan Presiden” ini akan bertabrakan dengan UU Penataan Ruang, UU Kehutanan dan UU Agraria karena peraturan Presiden dapat melabrak ketiga UU tersebut. Padahal jika terjadi tumpang tindih penyelesaiannya sudah diatur dalam masing – masing UU tersebut. Fakta yang terjadi selama ini di Riau, ada korporasi maupun cukong yang merambah kawasan hutan lalu dibiarkan oleh pemerintah. Ada juga sertifikat hak milik diterbitkan BPN dalam kawasan hutan tapi dibiarkan oleh pemerintah.

Kasus lainnya saat penyusunan Ranperda RTRWP Riau, tumpang tindih tersebut terkait dengan kawasan hutan yang dibebani izin IUPHHK-HT tidak pernah mau diselesaikan oleh Pemerintah Pusat, sisi lain pemerintah daerah hendak mengubah perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Proses-proses inilah yang sesungguhnya memunculkan tumpang tindih tersebut yang bertentangan dengan UU sektoral. Bukan UU yang bermasalah, tapi proses penyusunan dan pemberian izin yang dilakukan oleh pemerintah.

            c. Hilangnya Kontrol dan Partisipasi Masyarakat serta Meningkatkan Potensi Konflik

Terkait frasa “Menteri” menjadi “Pemerintah Pusat” dalam pasal 38 ayat 3 dan berbunyi: Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Pemerintah Pusat dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.

Sedangkan Pasal 38 pada Ayat (5) yang berbunyi Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dihapus.

Dampaknya, kontrol dan partisipasi dari masyarakat dalam mempengaruhi penentuan wilayah strategis, salah satunya pada areal pertambangan dalam kawasan hutan semakin sulit, bahkan persetujuan dari DPR RI dalam pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dihapus.

Pada kasus konflik antara masyarakat kecamatan Kampar Kiri Hulu dengan PT Buana Tambang Jaya (PT BTJ) di Kabupaten Kampar akan semakin nyata akan terjadi. Saat ini, konflik belum terjadi secara fisik karena PT BTJ belum melakukan eksploitasi. PT BTJ masih mengurus izin pinjam pakai kawasan hutan sebagai syarat untuk melakukan eksploitasi.[1]

Sebagian Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT BTJ seluas 3000 ha, sebagian wilayahnya berada pada Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling juga perkampungan, perkebunan masyarakat. Tentu rencana eksploitasi pertambangan PT BTJ berdampak penting dan cakupan luas serta bernilai strategis. Dengan dihapusnya Ayat (5) dalam pasal 38 tersebut, membuat suara masyarakat yang diwakili anggota DPR RI menjadi tidak ada lagi. Selain itu Pemerintah akah semakin mudah dan cepat memberikan izin pinjam pakai pada PT BTJ. Dampaknya, letusan konflik fisik antara masyarakat Kampar Kiri Hulu dengan PT BTJ akan terjadi.

 B. Terkait UU P3H

            a. Kriminalisasi Masyarakat Adat dan Tempatan

Pasal ini tetap saja mengkriminalkan masyarakat adat dan tempatan yang turun temurun menanam di dalam kawasan hutan yang sesungguhnya wilayah adat mereka, karena untuk membayar denda administrative sebesar Rp 1,5 Miliar – Rp 5 Miliar tidak sanggup dipenuhi oleh masyarakat adat, konsekuensinya mereka tetap dipidana. Padahal  Putusan MK 95/PUU-XII/2014 secara gamblang menyebut, hukum telah mengakui keberadaan hak ulayat maupun wilayah masyarakat hukum adat termasuk tidak bisa dipidana untuk masyarakat adat meskipun ada syarat yang harus dipenuhi yaitu Perda Tentang Masyarakat Hukum Adat.

             b. Melegalkan Kejahatan Korporasi

Temuan Jikalahari dan Pansus DPRD Provinsi Riau 2015 berupa 375 perusahaan sawit berada dalam kawasan hutan tanpa izin dari pemerintah melalui pasal 110A ayat 1 diberi waktu 2 tahun untuk mengurus izin meskipun telah melakukan tindak pidana. Artinya selama 2 tahun 375 perusahaan sawit tersebut tidak bisa dipidana, karena ada pilihan bagi perusahaan untuk memenuhi persyaratan agar menjadi legal.

             c. Kesimpulan dan Rekomendasi

UU Kehutanan dan UU P3H dalam RUU Cipta Kerja muatannya lebih banyak menguntungkan korporasi serta menimbulkan peluang besar dalam mengkriminalisasi masyarakat adat dan tempatan. Selain itu, frasa dalam UU Kehutanan dala RUU Cipta Kerja justru bertentangan dengan UU lainnya. Bahkan perubahan frasa dalam RUU Cipta Kerja menghilangkan kontrol dan partisipasi masyarakat yang akibatkan meningkatkan potensi konflik. Perubahan dalam UU P3H dalam RUU Cipta Kerja juga meningkatkan potensi kriminalisasi masyarakat adat dan tempatan serta melegalkan kejahatan korporasi.

Jikalahari merekomendasikan Presiden dan DPR RI menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja, dan fokus mengkaji lebih dalam naskah akademik Revisi UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang sedang dalam pembahasan di DPR RI. Revisi UU 41 Tahun 1999 harus direvisi secara menyeluruh, tidak bisa hanya direvisi sepotong-sepotong karena berdampak pada menutup ruang partisipasi publik.

[1] https://www.mongabay.co.id/2019/07/03/tambang-batubara-ini-ancam-hutan-desa-dan-dekat-suaka-rimbang-baling/

About Nurul Fitria

Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *