Aliansi Gerakan Tutup TPL di Tano Batak

Pernyataan Sikap

Lebih dari 30 tahun kehadiran PT Toba Pulp Lestari (TPL), dulu bernama PT Inti Indorayon Utama (IIU), di Tano Batak, Sumatera Utara,  telah menyisakan duka mendalam bagi masyarakat  adat di Tano Batak.  Mimpi kesejahteraan rakyat dan kemajuan yang digaungkan oleh para pendukung perusahaan ini seperti mimpi buruk yang tidak berkesudahan.

Sejak awal kehadirannya perusahaan ini, reaksi penolakan sudah muncul dari berbagai kalangan, NGO, akademisi, tokoh gereja dan para pemerhati lingkungan hidup karena kehadiran perusahaan ini akan berdampak buruk terhadap ekosistem Danau Toba dan juga berpotensi menciptakan konflik agraria khususnya dengan masyarakat adat.

Perusahaan milik Sukanto Tanoto ini, awalnya mendapatkan izin konsesi dari Negara seluas 269.060 berdasarkan SK No.493 KPTS-II/Tahun 1992. Setelah mengalami delapan kali revisi, yang terkahir SK 307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020  menjadi 167.912 hektar. Pada umumnya, di wilayah konsesi tersebut bersinggungan dengan wilayah masyarakat adat. Klaim negara di wilayah adat dan pemberian izin konsesi kepada PT TPL menjadi akar konflik agraria yang berkepanjangan dan tidak terselesaikan hingga saat ini.

Klaim kawasan Hutan Negara tentunya tanpa sepengetahuan dan persetujuan masyarakat adat, Sementara di sisi lain, PT TPL  dengan bermodal izin konsesi tersebut merasa paling berhak dan memaksa masyarakat adat yang sudah lama mendiami wilayah-wilayah tersebut untuk menerima bahwa PT TPL lah yang berhak menguasai dan mengelola wilayah adat tersebut. Sikap arogansi perusahaan ini ditunjukkan dengan upaya-upaya penggusuran yang selalu melibatkan aparat dan instansi pemerintahan terkait. Kekerasan dan intimidasi terhadap masyarakat adat di wilayah konsesi kerap terjadi hingga saat ini.

Saat ini Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Tano Batak (AMAN TB) mendampingi 23 komunitas masyarakat adat yang tersebar di 5 (lima) Kabupaten Kawasan Danau Toba yang berkonflik dengan PT TPL. Total wilayah adat yang diklaim sepihak sebagai konsesi perusahaan sekitar 20.754  hektar.

Akibat perampasan wilayah adat yang dilakukan oleh PT TPL telah menimbulkan banyak dampak terhadap masyarakat baik dampak ekonomi, sosial, budaya, dan ekologi. Sebelum kehadiran PT TPL, masyarakat di kawasan Danau Toba hidup dari hasil  hutan, berladang, beternak dan bersawah. Namun saat ini, sumber mata pencaharian masyarakat adat di wilayah konsesi terus mengalami penurunan.

Tanah selain identitas juga pengikat hubungan antar masyarakat. Hubungan antar masyarakat adat batak ini dapat dilihat dari struktur tata ruang wilayah adat batak yang saling memiliki keterkaitan satu dengan yang lain.  Kehadiran PT.TPL yang kini berada di wilayah adat menyebabkan masyarakat kehilangan keharmonisan relasi social dan terpisah  dari kebiasaan sosial budayanya.

Selain dampak ekonomi,  kehadiran PT TPL juga telah merusak harmoni sosial dan budaya di Tanah Batak. Sejak masih bernama Indorayon perusahaan ini kerap melakukan politik devide et impera yang merusak interaksi dan relasi sosial yang ada di desa.

Sikap arogansi perusahaan terlihat juga dari upaya-upaya kriminalisasi dan intimidasi yang dilakukan perusahaan terhadap komunitas-komunitas masyarakat adat yang berjuang mempertahankan wilayah adatnya. Dalam dua tahun terakhir (2020-2021), KSPPM dan AMAN Tano Batak mencatat telah terjadi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh PT TPL:

Pada 4 September 2020, Puluhan orang dari PT TPL dengan pengawalan security mendatangi masyarakat adat Natinggir yang sedang bekerja di wilayah adatnya. Pihak perusahaan berusaha menghentikan segala aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat. Namun anggota komunitas melakukan perlawanan. Perusahan menekan masyarakat adat dengan mengatakan bahwa memiliki izin legal di wilayah tersebut dan masyarakat tidak berhak mengusahai loaksi tersebut. Sempat terjadi adu mulut antara masyarakat dengan pihak perusahaan. Namun Pemerintah Kecamatan Borbor langsung mencoba melakukan mediasi.

Setelah pertemuan di Kecamatan, 9 Oktober 2020. Sekitar 150 orang pihak TPL yang terdiri dari securiti, humas, dan buruh harian lepas (karyawan) kembali mendatangi masyarakat yang sedang bekerja di wilayah adatnya. Masyarakat yang berada di lokasi saat itu hanya sekitar 30 orang. PT TPL memaksa masyarakat mundur dan memaksa menanam eukaliptus. Masyarakat Adat mengalami kekerasan pada saat itu.

Tindakan arogan TPL berlanjut pada 21 Desember 2020, dengan menerbitkan surat larangan kepada masyarakat adat untuk tidak membangun rumah di atas wilayah adatnya.

Pada 27 November 2020, Masyarakat Adat Op Panggal Manalu di Aek Raja, mendapat ancaman dan pelarangan dari PT TPL untuk mengusahai ladang mereka yang merupakan wilayah adatnya. Tanaman masyarakat seperti kopi, pisang bahkan dirusak oleh securiti dan humas PT TPL. Atas Tindakan perusahaan tersebut, Masyarakat Adat telah membuat pengaduan ke Polres Taput, namun pihak kepolisian meminta bukti surat kepemilikan hak atas tanah adat mereka supaya pengaduan masyarakat adat bisa diproses. Karena tanah adat yang dipahami masyarakat adat tidak dibuktikan oleh adanya surat-surat kepemilikan yang sah di negara ini, akhirnya masyarakat tidak melanjutkan pengaduan tersebut.

Pada January 2021, Masyarakat adat Op Ronggur Simajuntak, mendapat panggilan dari Polres Taput karena dilaporkan oleh TP TPL dengan tuduhan berladang di lahan konsesi. Padahal tanah tersebut merupakan wilayah adat OP. Ronggur Simanjuntak.

Selasa, 20 April 2021, Pdt. Faber Manurung dan sekitar 15 warga Parbulu, Kecamatan Parmaksian, melakukan aksi protest di Desa Pangombusan, Kecamatan Parmaksian. Mereka memprotest kerusakan lingkungan yang sudah berlangsung lama di kampung mereka, Dusun Parbulu, Desa Bandar Ganjang, Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba. Adapun kerusakan lingkungan yang mereka protest sejak dulu adalah soal tidak adanya ijin pembuangan limbah pembibitan PT.TPL yang langsung ke persawaahan mereka. Akibat dari pembuangan limbah ini lahan pertanian mereka menjadi rusak. Selain kerusakan lingkungan, tuntutan lain yang mereka perjuangkan adalah termasuk soal tanah yang menjadi lokasi pembibitan tersebut adalah tanah yang sebelumnya merupakan milik dari dari keluarga besar mereka yakni keturunan St. Op. Sinta Manurung. Namun disaat aksi berlanssung, Sekitar 30 orang polisi datang dan menanyakan tentang surat izin melakukan aksi. Pihak kepolisian meminta agar aksi tersebut dihentikan, Pdt. Faber tetap bersikukuh akan melanjutkan aksi tersebut. Akhirnya pihak kepolisian membawa paksa Pdt. Faber Manurung ke Mapolres Toba.

Sabtu 24 April 2021, PT TPL melakukan pengrusakan Tanaman milik Masyarakat Adat Nagasaribu Onan Harbangan. Berbagai jenis tanaman seperti nenas, padi, dan pohon keras lainya dihancurkan oleh PT TPL. Kemudian pada Selasa, 27 April 2021, masyarakat Adat Nagasaribu bermaksud untuk menanam kembali wilayah adatnya yang telah dirusak PT TPL.  Namun Humas PT TPL tiba tiba mendatangi masyarakat untuk melarang aktivitas masyarakat. PT TPL menyuruh masyarakat berhenti dan meninggalkan wilayah adatnya. Namun masyarakat tidak mengindahkan larangan tersebut dan tetap bekerja Karena meyakini bahwa mereka mengerjakan tanah Nenek moyang nya.

Jumat 30 April, masyarakat kembali melanjutkan pekerjaan untuk bertanam kopi dan jagung. Namun di saat bersamaan PT TPL didampingi Polisi Desa dan Babinsa juga berada di lokasi.  Kehadiran mereka memicu konflik antara masyarakat dengan pihak Kepolisian dan TPL. Masyarakat meminta agar Polisi Desa dan Babinsa menghentikan aktivitas TPL di atas wilayah adat masyarakat. Namun permintaan masyarakat tidak direspon dan tetap bersikeras untuk melanjutkan penanaman. Justru Polisi Desa menyuruh masyarakat meninggalkan wilayah adat nya karena alasan tidak memakai masker.

Pada 18 Mei 2021, masyarakat adat Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, mendapat ancaman dan kekerasan dari PT TPL dan Kepolisian. Ancaman yang dialami oleh masyarakat adat Natumingka bukan hanya kali ini saja. Sebelumnya mereka sudah berulang kali didatangi oleh security PT TPL dan Kepolisian saat berladang di atas wilayah adatnya. Sebelumnya pada 24 Oktober 2020, tiga  anggota masyarakat adat Natumingka telah ditetapkan sebagi tersangka atas laporan TP TPL. Kejadian Selasa 18 Mei 2021, telah menyebabkan 12 anggota masyarakat adat mengalami luka luka akibat pemukulan dan lemparan benda keras yang dilakukan oleh security, Humas, dan karyawan PT TPL. Kepolisian yang berada di lokasi pada juga tidak melakukan apa-apa, sehingga menyebabkan masyarakat harus menanggung akibat kekerasan yang dilakukan oleh PT TPL.

Dari rangkaian peristiwa yang terjadi setahun terakhir, kami melihat bahwa kehadiran PT TPL sejak tahun 1980-an telah memicu berbagai pelanggaran HAM seperti perampasan hak atas sumber kehidupan, lingkungan yang aman dan lestari, hak atas pekerjaan, hak atas rasa nyaman dan hak – hak lainnya yang harusnya dilindungi oleh negara. Oleh karena itu, Koalisi Gerakan Tutup PT TPL di Tano Batak meminta:

  1. Pemerintah pusat (Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) mencabut ijin PT TPL.
  2. Pemerintah Kabupaten supaya secepatnya menerbitkan Perda dan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kawasan Danau Toba dan menerbitkan SK Penetapan Msyarakat Adat dan Wilayah Adatnya.
  3. Pihak Kepolisian memberikan perlindungan terhadap masyarakat adat di Kawasan Danau Toba, dan bersikap adil tanpa diskriminasi dalam menegakkan hukum. Menjadi yang terdepan dalam menghentikan upaya-upaya intimidasi, kriminalisasi masyarakat adat
  4. Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan investogasi pelanggaran HAM yang dilakukan PT TPL di Kawasan Danau Toba dan memberikan perlindungan terhadap masyarakat adat di kawasan Danau Toba

 

Parapat 19 mei 2021

A.N Aliansi Gerakan Tutup PT TPL di Tano Batak

(KSPPM, AMAN TANO BATAK, BAKUMSU, JAMSU, YDPK, PETRASA, BITRA, YAPIDI, NABAJA, LBH NAPOSO INDONESIA, WALHI SUMUT, JIKALAHARI, WALHI RIAU, KOARR SUAMTERA)

About Nurul Fitria

Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *