Bisnis Kotor Korporasi Raja Garuda Mas di Sektor Sumber Daya Alam

Oleh Made Ali

Bahwa, kejahatan korporasi Sukanto Tanoto di sektor pajak, salah satu bentuk praktek bisnis Sukanto Tanoto di sektor industri sawit. Putusan ini membuka mata saya, bisnis Sukanto Tanoto di sektor sumber daya alam tercemar praktek kotor bernama perbuatan melawan hukum.

Djoko Sarwoko, SH, MH. Prof DR Komariah E. Sapardjaja, SH. Sri Murwahyuni, SH MH. Ketiga Hakim Agung itu membuat putusan penting pidana pajak terbesar di Indonesia pada Selasa, 18 Desember 2012. Putusan itu termaktub dalam No. 2239 K/PID.SUS/2012 Mahkamah Agung setebal 679 halaman.

Inti putusan selain mengabulkan permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum dan membatalkan putusan pengadilan tinggi Jakarta pusat, Mahkamah Agung menyatakan terdakwa Suwir Laut alias Liu Che Sui alias Atak telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”Menyampaikan Surat Pemberitahuan Dan/Atau Keterangan Yang Isinya Tidak Benar Atau Tidak Lengkap Secara Berlanjut”.

Suwir Laut dipenjara selama 2 (dua) tahun, dan dalam waktu satu tahun, 14 (empat belas) perusahaan yang tergabung dalam AAG/Asian Agri Group yang pengisian SPT tahunan diwakili oleh Suwir Laut membayar denda 2 (dua) kali pajak terutang ke Negara senilai setidaknya Rp 2,5 Triliun!

Putusan itu sangat penting khususnya bagi Vincentius Amin Sutanto (Whistle Blower), Metta Darmasaputra, Tempo dan orang-orang baik di Negara ini, yang telah berjuang membuktikan kebenaran tuduhan Vincent yang membongkar kasus penyelewengan pajak Asian Agri pada 2006.

Dalam buku Saksi Kunci, Kisah Nyata Perburuan Vincent Pembocor Rahasia Pajak Asian Agri Group karya Metta Darmasaputa menulis tiga indikasi penyelewenangan pajak Asian Agri yang dibongkar oleh Vincet, berupa pembuatan biaya fiktif, praktek manipulasi harga melalui skema transfer pricing dan transaksi lindung nilai alias hedging fiktif. Modus itu dilakukan karena dalam perencanaan keuangan tahunan ditetapkan duit cash disetor oleh masing-masing perusahaan induk ke Raja Garuda Mas. Misal untuk tahun 2006, dua perusahaan induk Asia Pacific Resources International Ltd (APRIL) dan Asian Agri Group telah mematok setoran 70 persen dari arus kas tahunannya ke RGM. Nilainya sekira US$ 30 juta per bulan untuk APRIL dan US$ 8 juta untuk Asian Agri.

Untuk mengejar target setoran itulah dibuat rencana pengelolaan pajak perusahaan yang harus disetor ke Negara. Persoalannya, tax planning yang disusun mencakup pula upaya penghindaran pajak alias tax evasion yang dilarang Negara. Artinya tim untuk memanipulasi pajak yang dibayarkan ke Negara memang sudah secara matang sedari awal. Ini diketahui oleh top manajer Asian Agri di Indonesia dan Singapura, bahkan orang-orang kepercayaan Sukanto Tanoto.

Asian Agri ke kasn Negara sekira Rp 1,1 triliun. Nilai itu merupakan pajak penghasilan (PPh) badan yang seharusnya dibayarkan Asian Agri, yaitu 30 persen dari total keuntungan perusahaan yang ternyata ditransfer ke luar negeri senilai total Rp 3,6 triliun.

Uang hasil manipulasi pajak itu masuk ke rekening Eddy Lukas dan Haryanto Wisastra (Harel) di Bank Pertama Jakarta. Dan Eddy Lukas dan Djoko S. Oetomo (Eldo) di bank Bumiputera Jakarta. Mereka orang kepercayaan Sukanto Tanoto. Dari rekening mereka diduga duit kemudian mengalir ke kantong Sukanto Tanoto. Indikasi itu tercium adanya setoran dividen Asian Agro Abadi Internasional ke sejumlah rekening, atas perintah dua perusahaan Sukanto di luar negeri, yaitu First Island Trust Company Ltd (Fitco) di Mauritus dan Treston International Ltd di British Virgin Islands pada Oktober 2004 dan Januari 2006 melalui bank Banca Intesa cabang Hongkong atas nama Headcorp International Ltd dan dengan alamat rekening Goaled Limited.

“Sulit dibantah bahwa Treston dan Fitco merupakan perusahaan milik keluarga Sukanto,” tulis Metta pada halaman 117 buku Saksi Kunci. Dokumen Declaration of Ultimate Beneficial Ownership in Treston (21 April 2004) dan dokumen Declaration of Trust Fitco (26 September 2003 dan 30 April 2004) jelas-jelas menyebutkan:

Kedua perusahaan itu bertindak selaku nominee atau trustee yang mewakili Sukanto Tanoto beserta istrinya, Tinah Bingei, juga kedua putrinya, yaitu Imelda Tanoto (saat itu 21 tahun) dan Belinda Tanoto (18 tahun) yang tercatat sebagai beneficial owners. Mereka semua beralamat di 17, Margolioth Road, Singapura. Sukanto juga tercatat menempati alamat 80 Raffles Place #50-01 UOB Plaza 1 Singapura.

“Terkuaknya dokumen-dokumen rahasia inilah yang kabarnya paling membikin Sukanto sewot. Ia bisa dituding ikut mencicipi dana hasil manipulasi pajak yang diduga dilakukan Asian Agri lewat pembuatan biaya fiktif, transaksi hedging fiktif dan transfer pricing, yang ditaksir merugikan keuangan Negara Rp 1,3 triliun,” tulis Metta, “dokumen itu membuka peluang bagi Negara untuk menelusuri aliran dana ke brankasnya di luar negeri, untuk kemudian menjeratnya dengan pasal pencucian uang atau money laundering,” lihat halaman 118 buku Saksi Kunci.

Perjuangan berat itu tidak hanya di luar pengadilan, putusan pengadilan negeri dan banding, menyatakan Suwir Laut tidak “bersalah”.

Januari 2011, Jaksa Penuntut Umum melimpahkan kasus ini ke Pengadilan Negeri Jakarta. Dalam dakwaannya berisi Suwir Laut selaku Tax Manager Asian Agri Group (AAG) bertanggung jawab membuat Laporan Keuangan Konsolidasi (Neraca dan Laporan Rugi Laba) dan mempersiapkan, mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahunan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak (WP) Badan untuk seluruh perusahaan yang tergabung dalam Asian Agri Group, pada tanggal 29 Maret 2003 sampai dengan tanggal 14 November 2006 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2006.

Suwir Laut melakukan beberapa perbuatan meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran ada hubungannya sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajib Pajak, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, dengan sengaja menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap atas nama PT. Dasa Anugrah Sejati, PT. Raja Garuda Mas Sejati, PT. Saudara Sejati Luhur, PT. Indo Sepadan Jaya, PT. Nusa Pusaka Kencana, PT. Andalas Intiagro Lestari, PT. Tunggal Yunus Estate, PT. Rigunas Agri Utama, PT. Rantau Sinar Karsa, PT. Sispra Matra Abadi, PT. Mitra Unggul Pusaka, PT. Hari Sawit Jaya, PT. Inti Indosawit Subur dan PT. Gunung Melayu yang tergabung dalam Asian Agri Group (AAG) sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara sebesar Rp. 1.259.977.695.652. atau Rp 1,2 triliun. Modusnya:

Mengecilkan penjualan antara lain berupa rekayasa penjualan. Rekayasa penjualan dilakukan melalui penjualan ekspor yang pengiriman barangnya langsung ditujukan ke negara pembeli (End Buyer), tapi dokumen keuangan yang berkaitan dengan transaksi ekspor tersebut (Letter of Credit/LC, Invoice) dibuat seolah-olah dijual kepada perusahaan di Hong Kong (Twin Bonus Edible Oils Ltd., Goods Fortune Oils & Fats Ltd., United Oils & Fats Ltd., atau Ever Resources Oils & Fats Industries Ltd), kemudian dijual lagi ke perusahaan di Macau (Global Advance Oils and Fats) atau British Virgin Island/BVI (Asian Agri Abadi Oils and Fats Ltd.), baru selanjutnya dijuai ke End Buyer.

Padahal perusahaan di Hong Kong, Macau maupun di BVI adalah perusahaan paper company atau Special Purpose Vehide (SPV) yang digunakan sebagai fasilitator untuk secara dokumentasi mendukung transaksi tersebut dan sebagai tempat untuk menampung selisih harga jual.

Rekayasa penjualan produk-produk AAG ke luar negeri dengan maksud mengubah harga jual yang seharusnya ke End Buyer diganti dengan harga yang lebih rendah (under invoicing) ke perusahaan-perusahaan tersebut di Hong Kong sehingga keuntungan (profit) menjadi lebih rendah untuk perusahaan di Indonesia.

Seluruh pembuatan Invoice penjualan baik untuk perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam AAG maupun perusahaan di Hongkong, Macau dan BVI dilakukan di Medan oleh karyawan AAG.

Akibat transaksi penjualan ekspor dengan cara under invoicing tersebut adalah laba yang dilaporkan oleh perusahaan di Indonesia menjadi lebih rendah dari pada yang seharusnya sehingga pajak terutang yang dilaporkan menjadi lebih kecil dari pada yang seharusnya.

Menggelembungkan Biaya antara. Pertama, Biaya Jakarta, berupa penggelembungan biaya dibuat dengan Memo Voucher di kantor AAG di Jakarta oleh Suwir Laut. Biaya Jakarta ini tidak ada transaksi ekonomi yang sebenarnya, hanya menampung pengeluaran uang dari rekening perusahaan yang tergabung dalam AAG secara tunai ke rekening perantara HAREL (Haryanto Wisastra – Eddy Lukas) di Bank Permata Jakarta dan ELDO (Eddy Lukas -Djoko Soetanto Oetomo) di Bank Bumi Putra Jakarta.

Dari rekening perantara tersebut dikonversi ke dalam mata uang US$. Lalu dikirim ke rekening GOALLEAD Ltd di Banca Intesa Spa Cabang Hong Kong. Rekening GOALED Ltd di Banca Intesa Spa Cabang Hong Kong tersebut juga digunakan untuk menampung dividen yang diterima oleh FITCL dan TRESTON dari Asian Agri Abadi International Limited. Rekening HAREL dipakai tahun 2002 dan 2003 sementara rekening ELDO dipakai tahun 2004 dan 2005.

Atas rekening HAREL dan ELDO dikuasakan oleh Eddy Lukas, Djoko S. Oetomo dan Haryanto Wisastra kepada orang yang tidak mereka kenal yaitu Iman Pangestu dan Rudy. Pengeluaran uang yang dilakukan dari rekening-rekening perusahaan yang tergabung dalam AAG tidak sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP) di AAG karena dilakukan secara bertahap dengan cek tunai.

Pengeluaran secara tunai agar pengeluaran sulit terlacak, lalu uang disetorkan ke rekening perantara HAREL dan ELDO, untuk mengcover pengeluaran uang tersebut dibuatlah account Biaya Jakarta. Biaya Jakarta ini dibuat tiap akhir tahun pajak dan dialokasikan sebagai Biaya pada Harga Pokok Penjualan (HPP) sebagai biaya mendalamkan parit, grading, garuk/piringan, sirtu, rawat gawangan dan buat & refiab gorong-gorong sehingga mengurangi jumlah pajak penghasilan yang seharusnya dibayar oleh perusahaan-perusahaan yang tergabung daiam AAG.

Kedua, Biaya Hedging. Ia biaya fiktif yang dilakukan dengan menciptakan rugi (loss creating) berupa pembebanan Biaya “washout/hedging loss”. Mekanismenya dilakukan dengan cara perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam AAG seolah-olah membuat kontrak penjualan ekspor minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm OH/CPO) ke perusahaan di Hongkong yang penyerahan barangnya dilakukan beberapa waktu kemudian, namun sebelum jatuh tempo penyerahan barang dilakukan pembelian kembali (washout) oleh perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam AAG dengan harga yang lebih tinggi.

Selisih harga beli kembali dengan harga jual dibebankan sebagai Biaya hedging loss. Transaksi ini dilakukan dengan cara membuat dokumen pendukung atas transaksi tersebut dengan mencantumkan tanggal mundur (back dated).

Besarnya kerugian atau biaya dari transaksi tersebut telah diketahui atau dihitung sebelumnya oleh pihak AAG. Selain itu dokumen-dokumen pendukung berupa Purchase Contract, Sales Contract dan Sewement Let ter yang seolah-olah dibuat dan dikirim dari pihak lawan transaksi yaitu perusahaan-perusahaan di Hong Kong sebetulnya dibuat oleh pihak AAG sendiri di Kantor Medan yaitu oleh saksi Linda Rahadja dan Staffnya. Hal semacam itu disebut transaksi penciptaan rugi (Loss Creating).

Akibat transaksi tersebut terjadi kerugian transaksi yang dilaporkan dalam SPT perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam AAG, sehingga pajak terutang yang dilaporkan menjadi lebih kecil dari pada yang seharusnya.

Ketiga, Biaya Manajemen Fee. Biaya fiktif yang dibebankan pada Biaya Umum dan Adminstrasi yang pembebanannya didasarkan hanya pada kontrak semata yang dibuat antar perusahaan dalam satu group baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri. Tidak ada pelaksanaan atau progress dari jasa manajemen yang diberikan atau tidak ada bentuk penyerahan jasa manajemen dimaksud. Pembebanan yang tidak seharusnya ini merupakan penciptaan Biaya (loss creating) dan hanya upaya memperkecil penghasilan kena pajak.

“Bahwa mengecilkan penjualan melalui rekayasa penjualan dan penggelembungan Biaya melalui pembebanan Biaya Jakarta, Biaya Hedging dan Biaya Manajemen Fee dimaksudkan untuk mengurangi besarnya penghasilan kena pajak perusahaan-perusahaan yang berada di bawah AAG,” tulisa JPU dalam dakwaannya, “Bahwa mengecilkan penjualan melalui rekayasa penjualan dan penggelembungan Biaya melalui pembebanan Biaya Jakarta, Biaya Hedging dan Biaya Manajemen Fee dimaksudkan untuk mengurangi besarnya penghasilan kena pajak perusahaan-perusahaan yang berada di bawah AAG.”

Suwir Laut didakwa menggunakan dakwaan subsidiaritas. Dakwaan primair melanggar pasal 39 ayat (1) huruf c jo. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang RI No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2000 jo. Pasal 64 ayat (1)

KUHP. Dakwaan subside melanggar pasal pasal 38 huruf b jo. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang RI No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2000 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pada 19 Desember 2011 JPU menuntut Suwir Laut dalam dakwaan Primer, menjatuhkan pidana penjara selama 3 tahun, denda lima milyar, dan barang bukti berjumlah 8144 dokumen dipergunakan dalam berkas perkara lain yaitu tersangka Eddy Lukas dan kawan-kawan.

Namun putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 234/PID.B/- 2011/PN.JKT.PST. tanggal 15 Maret 2012 menyatakan surat dakwaan Jaksa/Penuntut Umum terhadap Terdakwa Suwir Laut karena Prematur tidak dapat diterima.

JPU melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Lagi-lagi hakim pada 23 Juli 2012 menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta. Tak puas dengan putusan itu, JPU mengajukan permohonan kasasi pada 17 September 2012 ke Mahkamah Agung.

Dalam memori kasasinya, pada intinya JPU keberatan atas pertimbangan majelis hakim pengadilan negeri.

Pertama Asas lex certa belum tercermin dalam UU KUP. Bahwa pertimbangan Majelis Hakim yang mendasarkan pada pendapat Amir Syamsudin, Andrianto Dwi Nugroho, Chairul Huda, dan Muhammad Djafar Said (Vide putusan halaman 574 s.d 577) yang pada intinya menyatakan belum ada perumusan delik yang jelas (asas lex certa) dalam peraturan perundangundangan di bidang perpajakan. Menurut JPU tidak benar, karena Dari rumusan eksplisit Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), berdasarkan doktrin tersebut dapat disimpulkan bahwa asas lex certa terpenuhi dengan adanya frase “dengan sengaja”, yang juga tercantum dalam rumusan.

Kedua, Undang-Undang Pajak menganut Paham Rechts Handhaving. Pertimbangan Majelis Hakim mendasari pendapat ahli perpajakan Sunarto yang intinya menyatakan undang-undang pajak kita menganut paham rechts handhaving dari Belanda yang artinya mendahulukan penggunaan instrument adiministratif atau preventif, supaya wajib pajak menunaikan kewajiban pajaknya dengan benar dengan.

Menurut JPU. Dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Indonesia tak mengenal pengertian bahwa harus mendahulukan sanksi administrasi dan tidak mengenal paham rechts handhaving yang ada adalah penegakan hukum. Pidana dalam undang-undang perpajakan diperlukan dalam pemungutan pajak, guna melindungi kepentingan umum para pembayar pajak yang patuh melaporkan SPT dan keterangan yang benar sesuai dengan keadaan sebenarnya.

Untuk mencegah sebagai tindakan preventif dan peringatan dini (deterrent effect) pada para potential penyelundup pajak, agar tidak terjadi meluasnya pelaporan SPT yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya sehingga merugikan penerimaan Negara, kepada mereka ternyata telah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, maka berdasarkan Teori Relatif atau Tujuan (doeltheorien) untuk penjeraan, perbaikan dan perlindungan kepatuhan pembayar pajak diperlukan pemberian sanksi pidana.

Ketiga, Sanksi Administrasi harus Habis. Pertimbangan Majelis Hakim mengenai pengertiansanksi administrasi yang didasarkan pada pendapat ahli administrasi Philipus M. Hadjon, bahwa sanksi administrasi itu harus habis, baru sanksi lainnya, karena tujuannya adalah pemasukan penerimaan Negara melalui pajak, sehingga kalau ada langkah pidana mestinya menjadi batal demi hukum, sebab menunggu sanksi administrasinya (exhous) habis.

Menurut JPU tidak tepat., sebab peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia tidak mengenal pendapat sebagaimana dimaksud oleh ahli administrasi Philipus M. Hadjon di atas. Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia memang dikenal 2 (dua) sanksi yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana.

Keempat, Untuk Kepentingan Penerimaan Negara. Bahwa terhadap kesimpulan pertimbangan Majelis Hakim yang menyatakan tujuan hukum pajak pada dasarnya bukanlah untuk memidana Wajib Pajak, tetapi bagaimana agar uang pajak dapat direalisasikan sebagai sumber penerimaan Negara karena skala prioritas perpajakan lebih ditekankan pada optimalisasi penerimaan Negara bukan pada aspek pidana.

Sehingga penyelesaian hukum tindak pidana pajak tidak selamanya harus diselesaikan melalui jalur Pengadilan melainkan penyelesaian hukum tindak pidana pajak juga bisa diselesaikan melalui jalur administrasi dengan melakukan pembayaran pajak ditambah sanksi administrasi berupa denda, dan ini bisa dipandang lebih penting daripada persoalan tindak pidana yang harus diselesaikan di muka Pengadilan.

Menurut JPU, tujuan pajak adalah untuk penerimaan Negara. Sesuai dengan amanat yang diberikan oleh undangundang, Direktorat Jenderal Pajak diberikan kewenangan untuk memungut pajak dengan cara-cara yang telah ditentukan. Oleh karena itu, disetiap tahapan penegakan hukum perpajakan yang dilakukan tidak lain tujuannya dalam rangka penerimaan Negara termasuk tindakan penegakan hukum pidana perpajakan. Pada tahap penegakan hukum pidana perpajakan, fungsi penerimaan Negara diatur dalam Pasal 13 ayat (5) dan Pasal 44B UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Kelima, Kebijakan Hukum Pajak selama ini adalah Kebijakan Preventif dan Ultimum Remedium. Bahwa yang dimaksud asas ultimum remedium pada peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan tidak berarti bahwa tindakan administrasi didahulukan sampai tahap akhir atau sampai Wajib Pajak membayar kekurangan pajaknya berdasarkan Surat Ketetapan Pajak, bilamana tidak dapat terlaksana baru tindakan represif berupa pemidanaan dapat dilakukan.

Dalam pertimbangan Majelis Hakim Agung Kasasi, selain membatalkan putusan Pengadilan tinggi, dalam pertimbangannya, tidak hanya menghukum terdakwa Sawir Laut. Korporasi Asian Agri juga ikut menanggung biaya atau mengembalikan pajak Negara yang telah diselewengkan.

Menurut majelis hakim sekalipun secara individual perbuatan Terdakwa terjadi karena ”mensrea” dari Terdakwa, namun karena perbuatan tersebut semata-mata untuk kepentingan dari korporasi, Mahkamah Agung berpendapat apa yang dilakukan Terdakwa dikehendaki atau ”mensrea” dari 14 (empat belas) korporasi.

“Pembebanan tanggung jawab pidana ”Individual Liability” dengan corporate liability harus diterapkan secara simultan sebagai cerminan dari doktrin respondeat superior atau doktrin ”Vicarious Liability” diterapkan pertanggungan jawab pidana kepada korporasi atas perbuatan atau prilaku Terdakwa sebagai personifikasi dari korporasi yang diwakilinya menjadi tugas dan tanggung jawab lagi pula apa yang dilakukan Terdakwa telah diputuskan secara kolektif,” lihat halaman 472 Putusan Kasasi Mahkamah Agung No 2239 K/PID.SUS/2012.

Pertimbangan itu terlihat dalam salah satu putusan majelis hakim,”…khusus dalam waktu 1 (satu) tahun, 14 (empat belas) perusahaan yang tergabung dalam AAG/Asian Agri Group yang pengisian SPT tahunan diwakili oleh Terdakwa untuk membayar denda 2 (dua) kali pajak terutang yang kurang dibayar masing-masing…”

Bagi saya, yang sedang belajar kejahatan korporasi di sektor sumber daya alam, putusan kasasi Hakim Mahkamah Agung yang melebihi tuntutan JPU, adalah putusan yang sangat progresif, terutama bisa menjadi yurisprudensi untuk melawan kejahatan korporasi di sektor sumberdaya alam. Ia bisa jadi argumentasi hukum melawan para pakar “hukum” yang masih menganggap bahwa pidana hanya bisa dikenakan pada “orang”, padahal perkembangan zaman, “korporasi” juga bisa dikenakan pidana.

Bahwa, kejahatan korporasi Sukanto Tanoto di sektor pajak, salah satu bentuk praktek bisnis Sukanto Tanoto di sektor industry sawit. Putusan ini membuka mata saya, bisnis Sukanto Tanoto di sektor sumber daya alam tercemar praktek kotor bernama perbuatan melawan hukum.

Jika 14 perusahaan sawit Sukanto Tanoto tercemar praktek penyelewengan Negara pajak senilai Rp 1,2 triliun, di sektor hutan tanaman industri 17 perusahaan Sukanto Tanoto tercemar kejahatan luar biasa: Korupsi!

 

About Made Ali

Wakil Koordinator Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *