Oleh Suryadi
OKTOBER dua tahun lalu, Abdul Manan diajak ke Jakarta. Bersamanya ikut beberapa aktivis lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, Haris Gunawan akademisi Universitas Riau yang kini jadi anggota Badan Restorasi Gambut, Greenpeace dan Yayasan Perspektif Baru.
Di sana, mereka bertemu di satu tempat dengan pegiat lingkungan hidup dari Walhi Nasional. Abdul Manan cerita kondisi kampung halamannya yang kerap mengalami kebakaran hutan dan lahan bila musim kemarau tiba. Untuk mengantisipasi kebakaran supaya tidak terjadi berulang-ulang, Abdul Manan sebutkan, masyarakat di sana buat tebat. Tebat ini bahasa lain dari blocking kanal.
Tebat dibuat untuk menjaga ketinggian air dalam kanal agar tanah gambut tetap basah. Cara ini dianggap ampuh untuk menyiasati kekeringan di lahan gambut akibat pembuatan kanal, terutama kanal yang dibuat oleh perusahaan hutan tanaman indsutri yang ada di Kepulauan Meranti.
Dari pertemuan ini, Abdul Manan buat satu petisi yang ditujukan pada Joko Widodo. Isinya, menyerukan pada Presiden Republik Indonesia tersebut agar datang ke Riau, meninjau wilayah yang kerap mengalami kebakaran hutan dan lahan serta dilanda asap. Petisi yang dinamankan blusukan asap ke Riau ini didukung 28.177 orang.
Abdul Manan curhat dalam petisinya. Bencana asap di Kabupaten Kepulauan Meranti sudah menjadi hal biasa bagi masyarakat selama 17 tahun. Selama itu pula masyarakat menghirup asap berbulan-bulan lamanya ditiap tahun.
Secara medis, kebiasaan menghirup asap akibat kebakaran di lahan gambut dapat menggangu pernapasan bahkan berujung pada kematian. Bayi-bayi yang lahir terindikasi mengalami kelemahan mental dan berpikir akibat polusi yang dihirup sang ibu selama mengandung dimusim asap.
Belum lagi kerugian ekonomi yang dialami masyarakat bila lahan mereka terbakar. Pada tahun 2014, saat Abdul Manan buat petisi ini, 24 ribu lahan gambut di Sungai Tohor habis terbakar.
Hampir satu bulan kemudian, 27 November 2014, petisi Abdul Manan disambut oleh Jokowi dengan blusukan langsung ke Sungai Tohor. Presiden ke 7 RI itu datang bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Arsyadjuliandi Rahman Gubernur Riau serta beberapa staf lainnya.
Memakai kemeja putih, Jokowi beserta rombongan naik becak motor dan berjalan kaki sesaat menuju lokasi sekat kanal buatan warga. Abdul Manan dengan senang menghampiri langsung Jokowi dan terus berdampingan sembari berbincang-bincang, menjelaskan hasil kerjanya dengan warga membendung air dalam kanal.
Bahkan, Jokowi secara simbolis ikut turun menancapkan papan kayu dari pohon sagu ke dalam kanal untuk menahan aliran air. Jokowi juga menyerahkan bantuan Rp 300 juta pada warga untuk terus membuat sekat kanal. Abdul Manan menerima langsung bantuan tersebut di hadapan warga Sungai Tohor.
Tak habis di sini, Jokowi juga diajak menanam pohon sagu di lahan warga dan berdialog di lapangan bola di tengah terik matahari. Jokowi berpesan pada warga untuk terus menjaga lingkungan. Melestarikan kearifan lokal dengan mempertahankan tanaman sagu sebagai penghasil utama dan terbesar warga Sungai Tohor.
ABDUL MANAN biasa disapa Cik Manan. Pria kelahiran Sungai Tohor Kecamatan Tebing Tinggi Timur 1973 ini, mulai prihatin dengan kondisi hutan di desanya setelah mengundurkan diri bekerja dari PT Riau Sakti United Plantation. Ia bekerja 15 tahun di perusahaan yang mengolah kelapa dan nenas ini. Keputusan itu diambil pada 2008.
Cik Manan mengembangkan usaha sagu ketika kembali ke kampung halaman. Di sinilah, Cik Manan bersama warga lainnya mulai berhadapan dengan perusahaan yang selama ini dianggap merusak lingkungan dan menghambat budidaya tanaman sagu mereka. Kebakaran hutan dan lahan terus terjadi tiap tahunnya. Lahan mereka gampang kering. “Padahal untuk menanam sagu itu butuh air,” ujar Cik Manan.
Cik Manan memimpin warga Sungai Tohor menolak keberadaan PT Lestari Unggul Makmur (LUM). Mereka demonstrasi di Pemerintahan Kabupaten Meranti. Mengumpulkan tanda tangan warga sebagai bentuk penolakan. Bahkan menolak segala bentuk bantuan dari perusahaan. Kata Cik Manan, dia dan warga belajar dari pengalaman daerah lain yang sudah merasakan dampak keberadaan perusahaan.
Baginya, menjaga hutan yang tersisa di Kepulauan Meranti adalah tradisi yang sudah turun temurun dari nenek moyang terdahulu. Mereka diajarkan menebang hutan dan diganti dengan tanaman sagu karena tanamanan ini tidak menyebabkan kekeringan. Hutan yang ditebang juga tidak sembarangan. Pohon-pohon besar dijaga dan tidak dirusak sama sekali. Pohon ini selain sebagai penyangga hutan, juga sebagai batas lahan masing-masing warga.
“Dulu zaman orang tua kami dulu tak pernah ada yang namanya hutan terbakar. Sekarang, semenjak perusahaan masuk kebakaran terus terjadi tiap tahun. Tambah lagi perusahaan di sini menanam akasia. Habislah pulau ini kalau dibiarkan,” kata Cik Manan.
Sekarang, Cik Manan dan warga terus memperluas program sekat kanal di Sungai Tohor. Dengan swadaya masyarakat, sekat kanal diharapkan mampu mencegah kekeringan dan kebakaran hutan. Mereka tak pernah berharap dan menunggu bantuan dari pemerintah. Cik Manan juga buat kebijakan pada tamu yang datang ke Sungai Tohor. Mereka diwajibkan menanam pohon sepanjang tepian kanal yang ada.
“Yang sudah melakukan itu ada yang dari universitas Jepang,” jelas Cik Manan. Bibit pohon ini pun disediakan oleh warga setempat tanpa bantuan pemerintah.#