Pada hari Kamis, 19 Januari 2017 diadakan konferensi pers di Sere Manis Restaurant, Jakarta oleh Koalisi Anti Mafia Hutan yang terdiri dari Jikalahari, ICW, dan Auriga menyoroti Perma 13/2016 yang mengatur pedoman penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh korporasi, termasuk dalam perkara korupsi
Pada 2 Desember 2016, Koalisi Anti Mafia Hutan yang terdiri dari ICW, AURIGA dan Jikalahari melaporkan 20 korporasi terlibat kasus korupsi kehutanan di Riau ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kedua puluh korporasi tersebut telah disebut dalam proses persidangan 2 bupati yaitu Azmun Jaafar (Pelalawan) dan Arwin AS (Siak), 3 kepala dinas kehutanan, serta Gubernur Riau Rusli Zainal. Perbuatan para terpidana menerbitkan IUPHHK-HT serta mengesahkan RKT di atas hutan alam telah merugikan keuangan negara dan menguntungkan kedua puluh korporasi tersebut. Saat ini sudah memasuki tahun kedelapan sejak KPK memproses korupsi oleh beberapa penyelenggara negara di Riau tersebut. Namun, belum ada upaya hukum yang dilakukan terhadap 20 korporasi yang keterlibatannya terlihat dalam keterangan di persidangan 6 orang terpidana tersebut.
Ke-20 korporasi yang terlibat dalam tindak pidana korupsi di 2 kabupaten di Riau tersebut diantaranya: 15 korporasi di Kabupaten Pelalawan, yaitu: PT Selaras Abadi Utama, PT Merbau Pelala- wan Lestari , PT Mitra Tani Nusa Sejati, PT Uniseraya, PT Rimba Mutiara Permai, PT Satria Perkasa Agung, PT Mitra Hutani Jaya, PT Triomas FDI, PT Madukoro, CV Alam Lestari, CV Tuah Negeri, CV Putri Lindung Bulan, CV Harapan Jaya, CV Bhakti Praja Mulia dan CV Mutiara Lestari; Dan 5 korporasi di kabupaten Siak, yaitu: PT Bina Daya Bintara, PT Seraya Sumber Lestari, PT Balai Kayang Mandiri, PT Rimba Mandau Lestari dan PT National Timber and Forest Product.
Selain terlibat tindak pidana korupsi, jejak rekam ke-20 korporasi sangat buruk. Karena pidana korupsi 20 korporasi tidak pernah disentuh oleh KPK, korporasi melakukan tindak pidana lainnya.
Putusan perdata nomor 460K/Pdt/2016 pada tanggal 18 Agustus 2016 gugatan KLHK melawan PT Merbau Pelalawan Lestari (PT MPL), hakim memutuskan PT MPL bersalah melakukan perusakan lingkungan hidup.
Hakim menjelaskan bahwa PT MPL terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dengan melakukan penebangan kayu alam di dalam areal yang dibebankan izin seluas 5.590 hektar. Karena tindakannya ini ia harus membayar ganti rugi kerusakan lingkungan hidup sebesar Rp 12,16 triliun. Selain dalam kawasan, PT MPL juga harus mengganti rugi kerusakan di luar kawasan yang dibebankan izin seluas 1.873 hektar dengan biaya Rp 4,07 triliun. Sehingga total biaya ganti rugi yang harus dikeluarkan PT MPL adalah Rp 16,2 triliun. Artinya PT MPL telah melakukan perusakan hutan dan perusakan lingkungan hidup hingga menimbulkan kerugian ekologis senilai Rp 16,2 triliun.
Pada 25 Juni 2016, Jikalahari melakukan investigasi di areal PT MPL menemukan kebakaran dan penanaman baru. Jikalahari juga menemukan adanya 4 unit eskavator berada di lokasi penanaman baru.
Jikalahari juga melakukan investigasi di areal PT Triomas FDI dan PT Seraya Sumber Lestari pada 29 Oktober – 7 November 2016. Jikalahari menemukan lahan bekas terbakar pada 2014 – 2015 di kedua perusahaan ini telah ditanami kembali. Selain itu tim menemukan water management PT Triomas FDI bermasalah karena kondisi lahan yang kering dan rentan akan kebakaran. Selain itu jauhnya sumber air membuat penanggulangan kebakaran menjadi semakin sulit. Jikalahari juga menemukan satu unit eskavator yang sedang melakukan stacking di lahan gambut lebih dari 3 meter dalam konsesi PT SSL. Menurut warga, lahan tersebut merupakan lahan konflik.
Dari pantauan satelit Terra-Aqua Modis, jumlah hotspot di 20 korporasi sepanjang 2003 – 2017 mencapai 2022 hotspot. Selain itu 20 korporasi juga dominan berada dalam kawasan gambut dalam lebih dari 4 meter.
Data temuan Pansus Monitoring dan Evaluasi Perizinan Kehutanan, Perkebunan dan Pertambangan bentukan DPRD Provinsi Riau menemukan adanya potensi kerugian negara dari tidak disetorkannya pajak dari 2 grup besar perusahaan pulp dan kertas ini. Total potensi kerugian negara ini mencapai Rp 8 triliun. Kerugian negara dari kurangnya PSDH yang dibayarkan dua perusahaan besar ini juga sangat besar. Untuk APRIL, kekurangan biaya PSDH mencapai Rp 14,9 miliar, sedangkan Sinar Mas Group Rp 11,3 miliar. Berikut hasil perhitungan potensi kerugian negara:
Jenis perusahaan | PPh Badan/tahun | PPn DN /tahun | PBB P3/tahun | Total | |
Kehutanan (Sinar Mas Group & Mitra) | 2,122,759,889,600 | 2,957,679,388,160 | 36,270,860,000 | 5,116,710,137,760 | |
Kehutanan (APRIL Group & Mitra) | 2,602,302,731,467 | 3,803,133,189,547 | 46,650,780,000 | 6,452,086,701,014 | |
Jumlah Potensi | 4,725,062,621,067 | 6,760,812,577,707 | 82,921,640,000 | 11,568,796,838,774 | |
Realisasi Rata-rata/tahun | 1,417,518,786,320 | 2,028,243,773,312 | 24,876,492,000 | 3,470,639,051,632 | |
Jumlah Potensi Belum Terealisasi | 3,307,543,834,747 | 4,732,568,804,395 | 58,045,148,000 | 8,098,157,787,142 |
Jenis perusahaan | Realisasi Penerimaan PNBP | ||
PSDH Berdasarkan Hitungan B2PBPTH (2010-2014) | |||
PSDH yang sudah di setor | PSDH yang harus disetor | Kekurangan PSDH | |
Kehutanan (Sinar Mas Group & Mitra) | 61,922,164,609 | 73,254,642,696 | 11,322,478,088 |
Kehutanan (APRIL Group & Mitra) | 83,862,325,056 | 98,844,923,976 | 14,982,598,920 |
Data diolah Jikalahari
Hasil advokasi Jikalahari menemukan, 20 korporasi tersebut berkonflik dengan masyarakat adat Pelalawan dan Siak serta masyarakat tempatan yang hidup di sekitar konsesi perusahaan. APP dan APRIL telah merampas hutan tanah masyarakat adat di Pelalawan dan Siak. APP dan APRIL juga telah merusak kebudayaan dan kearifan lokal masyarakat adat karena hutan sebagai falsafah dan ekonomi masyarakat.
APP dan APRIL telah melakukan tindak pidana korupsi juga punya rekam jejak melakukan tindak pidana perusakan hutan, lingkungan hidup, pajak dan melanggar hak asasi manusia.
Berikut bahan yang disampaikan dalam Media Briefing dari ICW dan Auriga