Pekanbaru, Senin 14 November 2016–Jikalahari menemukan areal bekas terbakar PT Sumatera Riang Lestari (PT SRL, APRIL Grup) di Indragiri Hilir pada 2015 seluas sekira 114 hektar telah ditanami akasia pada September 2016. “Lahan terbakar saat ini sudah ditanami akasia berusia 1 tahun. Diduga setelah kebakaran, pihak perusahaan langsung menanami lahan bekas terbakar dengan akasia,” kata Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari.
Temuan lainnya: Areal terbakar merupakan lahan gambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter, saat kebakaran tahun 2015 api berasal dari lahan perusahaan, “karena yang terbakar adalah lahan konsesi perusahaan dan tidak ditemukan lahan milik masyarakat juga terbakar di sekitar lokasi tersebut,” kata Woro Supartinah,”terkait mediasi yang dilakukan Polda Riau, masyarakat tidak mengetahui tentang hal tersebut.”
Hasil investigasi juga menemukan bahwa selain PT SRL, tiga perusahaan lain menanami akasia dan sawit di areal konsesi kebakaran tahun 2015. Tiga perusahaan tersebut ialah, PT Perawang Sukses Perkasa Indonesia, PT Rimba Lazuardi dan PT Parawira. “Rata-rata umur tanaman satu tahun. Ini menunjukkan tanaman ini ditanam setelah area korporasi terbakar. Temuan ini menguatkan dugaan bahwa pembakaran sengaja dilakukan untuk tujuan menyuburkan tanah sehingga dapat ditanami.”kata Woro Supartinah. “Tindakan ini secara jelas melanggar aturan MenLHK yang dikeluarkan di tahun 2015 terkait aktivitas yang harus dilakukan di lahan gambut terbakar”
Tindakan ini secara administrasi bertentangan dengan Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor S.494/MENLHK-PHPL/2015 tentang Larangan Pembukaan Lahan Gambut yang terbit 3 November 2015 mengatakan: (1) “Ditetapkan kebijakan Pemerintah untuk tidak dapat lagi dilakukan pembukaan baru atau eksploitasi lahan gambut. Untuk itu, pembangunan usaha kehutanan dan perkebunan tidak dengan pembukaan lahan di areal bergambut.”
Dan Surat Instruksi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) S.495/2015 tanggal 5 November 2015 tentang Instruksi Pengelolaan Lahan Gambut, diatur bahwa: “Dilarang melakukan pembukaan lahan (land clearing) untuk penanam baru, meskipun dalam area yang sudah memiliki izin konsesi,” serta “Dilarang melakukan aktifitas penanaman di lahan dan hutan yang terbakar karena sedang dalam proses penegakan hukum dan pemulihan.”
PT SRL, satu dari 15 korporasi yang penyidikannya dihentikan oleh Polda Riau rentang waktu Januari-Juni 2016. Sepanjang September 2016 Jikalahari menginvestigasi ulang areal SP3 15 Korporasi. Temuan investigasi dirangkum dalam Laporan berjudul “Penerbitan SP3 15 Korporasi: Polda Riau “Menyelamatkan” Penjahat Lingkungan Hidup dan Kehutanan” setebal 38 halaman itu bertolak belakang dengan alasan SP3 15 Polda Riau.
Ke 15 Korporasi yang di-SP3 oleh Polda Riau: PT Bina Duta Laksana, PT Perawang Sukses Perkasa Indonesia, PT Sumatera Riang Lestari, PT Rimba Lazuardi, PT Suntara Gaja Pati, PT Siak Raya Timber, PT Hutani Sola Lestari, PT Bukit Raya Pelalawan, PT Dexter Timber Perkasa Indah, PT Ruas Utama Jaya, KUD Bina Jaya Langgam (HTI) dan PT Alam Sari Lestari, PT Pan United, PT Riau Jaya Utama dan PT Parawira (Sawit)
Alasan Polda Riau terkait SP3: (1) Areal yang terbakar merupakan areal sengketa yang dikuasai masyarakat dan telah ditanami kelapa sawit. (2) Pada saat terjadi kebakaran izin IUPHHK-HTI telah dicabut atau sudah tidak beroperasi lagi. (3) Perusahaan memiliki tim khusus untuk penanggulangan kebakaran. (4) Memiliki sarana dan prasarana dalam penanggulangan kebakaran yang telah dilakukan pengecekan oleh UKP4. (5) Adanya keterangan Ahli yang menyatakan tidak terpenuhinya unsur pidana.
Secara garis besar temuan: benar areal 15 korporasi terbakar pada 2015, dominan kebakaran di kawasan hutan bergambut, kebakaran terulang di dalam konsesi perusahaan, bekas terbakar ditanami akasia dan sawit, areal korporasi terbakar dominan berkonfik, izin perusahaan telah dicabut, modus sebelum pembakaran hutan dan lahan, korporasi berada dalam kawasan hutan dan hanya dua perusahaan yang masuk dalam audit UKP4 tahun 2014.
“Perusahaan HTI dan Sawit telah melakukan tindak pidana lingkungan hidup, kehutanan dan perkebunan. Ada produk hukum yang tegas menyebut perusahaan wajib mengamankan arealnya dari kebakaran dan perambahan/okupasi,” kata Woro. Pada hakikatnya, benar bahwa telah terjadi kebakaran di dalam areal 15 perusahaan yang di-SP3. Modusnya bervariasi, bisa dilihat dari lemahnya pengamanan areal konsesi perusahaan, konflik dibiarkan perusahaan hingga areal terbakar kembali ditanami akasia dan sawit. Yang jelas, dampak kebakaran hutan dan lahan mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup berupa dilampuinya baku mutu udara ambien.
Selain melanggar UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ke 15 perusahaan tersebut telah melanggar UU sektoral masing-masing. Perusahaan HTI telah melanggar UU Kehutanan. Perusahaan Perkebunan Kelapa sawit telah melanggar UU Perkebunan dan UU Pemberantasan dan Pencegahan Perusakan Hutan.
Perusahaan HTI. Dari hasil temuan di lapangan, dipastikan bahwa benar telah terjadi kebakaran di dalam 15 korporasi. Hasil wawancara dengan warga, pelaku pembakaran dan sumber api tidak diketahui. Warga menyebut api berasal dari areal perusahaan, sementara perusahaan menyatakan sebaliknya. Perusahaan berupaya dalam menanggulangi karhutla dengan ‘aktif’ memadamkan api. Warga pun melihat ada tim pemadam dari perusahaan.
Selain itu, benar areal perusahaan yang terbakar berkonflik dengan masyarakat sekitar. Perusahaan mengklaim itu lahan mereka karena memiliki izin dari pemerintah. Masyarakat menentang dan mengatakan perusahaan telah mengambil lahan warga. Akhirnya perusahaan menganggap masyarakat telah merambah/mengokupasi arealnya. Selama melakukan investigasi di lapangan, tim tidak menemukan sarana dan prasarana pencegahan dan penanganan karhutla perusahaan di dekat areal terbakar.
Kebakaran di dalam konsesi perusahaan baik disengaja ataupun lalai oleh manajemen perusahaan, merupakan tindak pidana. Meski perusahaan memiliki sarana dan prasana pencegahan karhutla dan aktif memadamkan api, tapi tidak mengamankan konsesinya dari okupasi/perambahan tetap saja, perusahaan bersalah melakukan tindak pidana Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pelanggaran hukum tersebut:
Pertama, Pasal 32 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebut Pemegang izin sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 29 berkewajiban untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya.
Kedua, Pasal 8 ayat 4 PP 45 tahun 2004 tentang perlindungan hutan, perlindungan yang dimaksud adalah: Mengamankan areal kerjanya yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan termasuk tumbuhan dan satwa, Mencegah kerusakan hutan dari perbuatan manusia dan ternak, kerbakaran hutan, hama dan penyakit serat daya-daya alam, Mengambil tindakan pertama yang diperlukan terhadap adanya gangguan keamanan hutan di areal kerjanya, Melaporkan setiap adanya kejadian pelanggaran hukum di areal kerjanya kepada instansi kehutanan terdekat
Menyediakan sarana prasarana, serta tenaga pengamanan hutan yang sesuai dengan kebutuhan.
Ketiga, dalam Surat Edaran Nomor SE.7/VI-BUHT/2014 tentang Pelaksanaan Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Hutan pada Areal Kerja IUPHHKHTI pada poin ketiga ditegaskan kewajiban dari pemegang IUPHHK-HTI. Diantaranya melakukan perlindungan kawasan areal kerja dengan: Mencegah adanya penebangan pohon tanpa izin, Menyediakan sarana prasarana pengamanan hutan, Ikut aktif melaksanakan pencegahan, pemadaman, dan penanggulangan kebakaran hutan dan disekitar areal kerjanya, Pemegang izin wajib mencegah dan menghindarkan terjadinya tindak pelanggaran oleh karyawan atau pihak lain yang menyebabkan kerusakan hutan atau lahan hutan dalam areal kerjanya antara lain: penggarapan/ penggunaan/ menduduki kawasan hutan secara tidak sah dan perambahan lahan hutan, pencegahan perburuan satwa liar/ satwa yang dilindungi, Pemegang izin wajib melaksanakan terselenggaranya fungsi lindung dari kawasan lindung dan areal kelerengan curam
Pemegang izin segera melaporkan setiap gangguan keamanan hutan dan atau kerusakan akibat bencana, hama dan atau penyakit terhadap tegakan di areal kerjanya kepada pihak berwajib
Melakukan koordinasi dengan instansi terkait dan sosialisai kepada masyarakat sekitar areal kerjanya.
Produk hukum Kehutanan di atas menegaskan bahwa perusahaan HTI wajib menjaga dan melindungi arealnya, dua diantaranya dari karhutla dan perambahan/ okupasi. Di lapangan tim menemukan perusahaan HTI sengaja ataupun lalai membiarkan arealnya terbakar dan diokupasi oleh masyarakat.
Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit. Dari hasil temuan di lapangan, diperoleh dari 4 korporasi sawit yang di SP3, 2 diantaranya berada dalam kawasan gambut. Keempat perusahaan yaitu PT Riau Jaya Utama, PT Parawira, PT Alam Sari Lestari, dan PT Pan United berada di dalam kawasan hutan.
Penjelasan bahwa api berasal dari luar kawasan perusahaan tidak benar. Sebab tim menemukan lahan terbakar masih berada dalam konsesi perusahaan setelah melakukan overlay areal terbakar dengan areal konsesi perusahaan. Bahkan lahan bekas terbakar kini sudah ditanami sawit oleh pihak perusahaan sendiri. Tim juga menemukan bahwa lahan terbakar sebelumnya sudah dibersihkan terlebih dahulu dalam rangka pembersihan dan penyiapan lahan. Di lapangan tim tidak menemukan tegakan hutan alam melainkan hanya semak belukar.
Tim juga menemukan korporasi sawit PT Alam Sari Lestari, PT Parawira, PT Pan United dan PT Riau Jaya Utama, berdasarkan data Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkaungan KLHK dirilis pada Agustus 2016 menyatakan sebagian areal keempat perusahaan tersebut berada di dalam kawasan hutan.
Keempat perusahaan sawit tersebut telah melanggar pasal 56 UU No 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan. Pasal 56 berbunyi: Setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar dan Setiap pelaku usaha perkebunan berkewajiban memiliki sarana sistem, sarana dan prasarana pengendalian kebakakaran lahan dan kebun
Keempat perusahaan tersebut telah melanggar Pasal 92 ayat 2 huruf a UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, korporasi yang melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri dalam kawasan hutan.
Jikalahari merekomendasikan agar:
- Panja Karhutla DPR RI merekomendasikan kepada Presiden RI dan Kapolri untuk melanjutkan penyidikan SP3 15 perusahaan.
- Presiden memerintahkan Kapolri menunda kenaikan pangkat 2 Kapolda Riau, Kapolres dan penyidik Ditreskrimsus Polda Riau karena tidak transparan, tidak profesional, melakukan standar ganda penyidikan terhadap korporasi serta melanggar KUHAP dan Perkap.
- Presiden memerintahkan Menteri LHK
- Mencabut izin 4 perusahaan yang menanam kembali di lahan bekas terbakar.
- Mereview izin 15 korporasi yang terbakar dan selama melakukan review perizinan, Menteri LHK menghentikan operasional dan aktifitas perusahaan.
- Terkait 4 perusahaan yang izinnya telah dicabut oleh MenLHK diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat untuk direstorasi berbasis masyarakat dan hukum adat.
- Menjalankan GNPSDA KPK
- Presiden memerintahkan Kepala BRG merestorasi gambut bekas terbakar di 10 areal perusahaan dengan pendekatan ekosistem berbasis masyarakat.
Narahubung:
Woro Supartinah Koordinator Jikalahari, 081317566965
Okto Yugo Setiyo,Staf Kampanye dan Advokasi, 0853 74856435