Kajian Keterbukaan Informasi HTI di Indonesia

Kajian ini menyoroti keterbatasan keterbukaan informasi di sektor Hutan Tanaman Industri (HTI) sebagai akar persoalan dalam tata kelola hutan di Indonesia. Ketertutupan data izin, peta konsesi, dan hasil pengawasan menyebabkan lemahnya pengawasan publik, meluasnya konflik masyarakat dengan korporasi, dan berkurangnya akuntabilitas lingkungan. Analisis ini mengintegrasikan tiga dimensi utama: temuan lapangan, analisis regulasi dan sengketa informasi, serta tinjauan atas komitmen hukum internasional.

Dari temuan lapangan, keterbatasan akses informasi publik terbukti berdampak langsung terhadap deforestasi, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), serta kerusakan ekosistem gambut. Data tahun 2024 menunjukkan deforestasi seluas 22.172 hektare di Riau, termasuk lebih dari 5.900 hektare di areal konsesi HTI dan sawit. Akses terhadap data spasial dan izin perusahaan terbatas hanya pada lembaga pemerintah dan pelaku industri, sementara publik dan organisasi masyarakat sipil hanya mendapat format non-interaktif (jpg/pdf). Ketimpangan ini melemahkan partisipasi publik, memperlambat penegakan hukum, dan memperburuk konflik antara masyarakat dan perusahaan.

Dari analisis regulasi dan putusan sengketa informasi, terlihat adanya ketidaksinkronan antara mandat Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dengan kebijakan sektoral kehutanan. Komisi Informasi (KI) memiliki kewenangan untuk memutus sengketa, tetapi implementasinya sering terhambat oleh lemahnya kepatuhan badan publik, serta tidak adanya mekanisme sanksi efektif bagi pelanggar putusan KI. Kebijakan sektoral seperti PermenLHK No. 18/2018 memang mengatur layanan informasi publik kehutanan, namun secara substansi masih membuka ruang pengecualian yang luas terhadap data yang seharusnya bersifat terbuka termasuk dokumen izin, peta spasial, dan hasil pengawasan. Di sisi lain, Keputusan Menteri LHK No. 399/2024 tentang standar penyebarluasan informasi geospasial justru berpotensi mempersempit akses publik terhadap data spasial dalam format terbuka, karena menempatkan kontrol utama pada lembaga teknis dan bukan pada prinsip keterbukaan publik sebagaimana diamanatkan UU KIP.

Tinjauan kerangka hukum internasional menunjukkan bahwa arah global justru bergerak menuju transparansi total dalam rantai pasok hasil hutan. Regulasi seperti EU Deforestation Regulation (EUDR) dan US Lacey Act mewajibkan pelaku usaha untuk membuka asal-usul bahan baku kayu, lokasi panen, dan kepatuhan terhadap hukum lingkungan negara asal. Norma- norma internasional seperti Rio Declaration, Bali Guideline, ICCPR, dan UNCAC yang telah diratifikasi Indonesia juga menegaskan hak publik atas informasi lingkungan sebagai bagian dari hak asasi manusia dan pencegahan korupsi. Namun, secara nasional, standar keterbukaan ini belum sepenuhnya diadopsi, sehingga menciptakan kesenjangan antara kewajiban internasional dan praktik domestik.

Kesimpulannya, lemahnya implementasi keterbukaan informasi di sektor HTI tidak hanya menunjukkan defisit tata kelola, tetapi juga menghambat reformasi struktural pasca-reformasi yang menekankan hak publik atas informasi dan lingkungan hidup yang sehat. Ketertutupan informasi memperkuat dominasi korporasi atas sumber daya hutan dan menempatkan masyarakat sipil pada posisi yang tidak setara dalam mengawasi kebijakan publik. Oleh karena itu, penguatan kelembagaan Komisi Informasi, sinkronisasi regulasi sektoral dengan UU KIP, serta harmonisasi dengan standar transparansi internasional menjadi agenda mendesak untuk membangun tata kelola kehutanan yang adil, akuntabel, dan berkelanjutan.

Kata Kunci:

  • Keterbukaan Informasi Publik dan Tata Kelola HTI – menggambarkan hubungan antara transparansi data kehutanan dengan akuntabilitas lingkungan dan sosial.
  • Ketimpangan Akses dan Implementasi Regulasi – menyoroti kesenjangan antara mandat hukum (UU KIP, PermenLHK, Putusan KI/MA) dengan praktik lapangan yang masih tertutup.
  • Harmonisasi Nasional–Internasional untuk Transparansi – menekankan pentingnya penyelarasan regulasi domestik dengan standar global seperti EUDR dan Lacey Act guna memperkuat keterbukaan sektor kehutanan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *