Sempena Hari Bumi 22 April 2021: Pemerintah Menyelamatkan Masyarakat Adat di Hari Bumi?

Pekanbaru, 21 April 2021— Jikalahari mendesak pemerintah menyelamatkan penjaga bumi sempena hari bumi 22 April 2021 yaitu masyarakat adat bila hendak menghentikan perubahan iklim. Apalagi Indonesia paska meratifikasi menjadi UU No 16/2016 tentang Pengesahan Paris Agreement atas Konvensi Kerja PBB Perubahan Iklim, yang berkomitmen menurunkan emisi melalui pelestarian hutan, energi terbarukan, dan peran serta masyarakat lokal dan masyarakat adat dalam pengendalian perubahan iklim yang selama ini diperjuangkan oleh Indonesia.

“Peran masyarakat adat oleh pemerintah Indonesia dalam komitmen global diakui mampu mengendalikan perubahan iklim. Faktanya, komitmen pemerintah mempercepat RUU Masyarakat Adat dan pengukuhan keberadaan masyarakat adat dalam bentuk peraturan daerah tidak sekencang komitmen global atau lamban memenuhi hak asasi masyarakat adat,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari

Di Riau, perda yang terkait dengan objek (wilayah adat) masyarakat adat terbilang cepat menjadi perda seperti Perda Siak 2 tahun 2015 tentang Penetapan Kampung Adat di Siak, Perda Rohul 1/2015 tentang Penetapan Desa dan Desa Adat, Perda 10 tahun 2015 tentang Tanah Ulayat dan Perda 14 2018 tentang Pedoman Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Perda 10 tahun 2018 tentang RTRWP Riau 2018 – 2038 yang mengalokasikan hutan adat seluas 470,63 ha yang tersebar di Kabupaten Kampar seluas 454,03 ha, Inhu seluas 16,6 ha yang berada di luar kawasan hutan atau APL.

“Namun, mengapa Gubernur, Bupati dan DPRD lamban menetapkan perda terkait subjek masyarakat adat sebagaimana perintah Putusan MK No.35/PUU-X/2012 yang menyebutkan pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah,” kata Made Ali

Khusus Perda 14 tahun 2018 tentang Pedoman Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, ada peluang pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat diatur dalam Peraturan Gubernur yang diberi waktu satu tahun setelah perda disahkan. “Namun hingga detik ini Gubernur Riau belum menetapkan Pergub Pengakuan Masyarakat Hukum Adat.”

Peluang lainnya, Riau baru mendapat 408 ha yang terdiri dari Hutan Adat Imbo Putui Kenegerian Petapahan Desa Petapahan seluas ± 251 ha dan Hutan Adat Ghimbo Bonca Lida dan Ghimbo Pomuan kepada Masyarakat Hukum Kenegerian Kampa seluas ± 157 ha di Kabupaten Kampar.

Karna tidak adanya perda pengukuhan masyarakat adat, korporasi mengkriminalisasi masyarakat adat bahkan tidak mengakui wilayah adat suku sakai dalam perkara PT Arara Abadi Distik Duri I dengan Bongku Bin Jelodan. Saksi dari perusahaan menyebut areal yang ditebang Bongku tidak ada hak ulayat karena tidak terdaftar di Dinas Kehutanan Bengkalis, ini jelas bertentangan dengan, RPJP Bengkalis 2005-2025; Perda 10/2015 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya; Perda 10/2018 tentang Pedoman Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Permen LHK P21/2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak termasuk Putusan MK 35/PUU-X/2012 dan Putusan MK 95/PUU-XII/2014 secara gamblang menyebut, hukum telah mengakui keberadaan hak ulayat maupun wilayah masyarakat hukum adat.

Kasus Bongku berawal pada 3 November 2019, Bongku ditangkap oleh security PT Arara Abadi dan dilaporkan ke Polsek Pinggir karena menebang akasia-ekaliptus untuk ditanam ubi menggalo seluas setengah hektar di dalam konsesi PT Arara Abadi di Dusun Suluk Bongkal, Desa Pait Beringin Kecamatan Talang Mandau, Kabupaten Bengkalis.

Yang terbaru, Asia Pulp and Paper (Sinarmas Grup) melalui anak usahanya, pada Desember 2020, PT Arara Abadi Distrik Nilo, menumbang 23 pohon sialang di Kepungan Sialang Ampaian Todung milik Bathin Hitam Sungai Medang. Hasil investigasi Jikalahari bersama Datuk Batin dari Lembaga Adat Melayu Riau Kabupaten Pelalawan melihat langsung Kepungan Sialang Ampaian Todung yang telah ditumbang oleh PT Arara Abadi seluas 2 ha. Dari informasi Batin, dalam Kepungan Sialang ini terdapat 27 batang pohon sialang yang berumur ratusan tahun (jenis kayu Kompe , Kulim, Keriung) yang menjadi tempat lebah bersarang, namun sekarang hanya tersisa 4 batang pohon sialang.

Temuan Jikalahari, sejak hadirnya korporasi HTI, Sawit dan Tambang yang menghancurkan wilayah masyarakat adat di Riau seperti Suku Sakai, Suku Bonai, Suku Talang Mamak, Suku Petalangan, Suku Akit, Suku Anak Rawa, Pesisir, Suku Laut dan Suku Hutan. Sehingga masyarakat adat terusir dari wilayah adatnya yang akhirnya memusnahkan masyarakat adat di Riau.

Dihari bumi ini, pemerintah harus menyelamatkan masyarakat adat sebagai penjaga lingkungan hidup, hutan, tanah, flora dan fauna serta air untuk kesehatan dan keberlanjutan hidup umat manusia:

  1. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MenLHK) Siti Nurbaya merevisi Peraturan Menteri LHK No P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi untuk memasukan pohon sialang dan pohon-pohon yang dilindungi oleh masyarakat adat.
  2. Gubernur bersama DPRD Riau segera menyusun dan menetapkan Perda tentang Pengukuhan Keberadaan dan Hapusnya masyarakat hukum adat.
  3. Gubernur Riau segera menerbitkan Pergub tentang Tata Cara Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Provinsi Riau.
  4. Gubernur Riau bersama DPRD segera merevisi Perda 10 tahun 2018 tentang RTRWP Riau 2018 – 2038 paska putusan Mahkamah Agung, salah satunya menambah luasan hutan adat seluas 4 juta ha.

Narahubung:

Made Ali, Koordinator Jikalahari—0812 7531 1009

Aldo, Staf Kampanye dan Advokasi—0812 6111 6340

About Nurul Fitria

Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *