Presiden Joko Widodo Pimpin Langsung Audit Perusahaan Perkebunan Sawit

Pekanbaru, 30 Mei 2022—Jikalahari mendesak Presiden Joko Widodo memimpin langsung audit perusahaan perkebunan kelapa sawit secara komprehensif atas carut-marut minyak goreng di Indonesia.

“Sawit Indonesia berdimensi ekonomi, politik, hukum bahkan bersentuhan langsung dengan kesejahteraan rakyat. Jika hanya sekelas Menko yang memimpin, problem penyelesaian di hulu tidak akan mampu diselesaikan. Ini butuh Presiden langsung yang memimpin,” kata Made Ali Koordinator Jikalahari. Apalagi problem yang disampaikan oleh Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan hanya berkisar HGU dan HPL lalu mendesak perusahaan yang di luar negeri berkantor di Indonesia untuk dapat pajak. “Bukan hanya HGU, HPL dan berkantor di Indonesia untuk pajak. Jokowi juga harus mengaudit kepatuhan lainnya; tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan, konflik dengan masyarakat adat dan tempatan, pelanggaran HAM, pembiayaan, 20 persen kemitraan kebun masyarakat, membangun BUMN khusus ekspor CPO agar minyak goreng bisa gratis untuk rakyat,” kata Made Ali.

Pada 24 Mei 2022, Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan pemerintah akan melakukan audit terhadap semua perusahaan yang mengelola hasil kelapa sawit setelah larangan ekspor dicabut.

Audit yang akan dilakukan meliputi luas dari perkebunan kelapa sawit Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengelolaan Lahan (HPL), sistem produksinya hingga status dari perusahaan itu sendiri. LBP bilang ini audit pertama yang dilakukan pemerintah.

“Keliru juga LBP ngomong begitu, pemerintah era SBY juga pernah melakukan audit berkaitan dengan pencegahan karhutla, namun menemukan kejahatan korporasi sawit salah satunya. Nah, audit ini perlu dijadikan rujukan oleh pemerintah,” kata Made.

Jikalahari mendorong audit yang dilakukan terhadap perusahaan perkebunan sawit salah satunya dapat merujuk model audit kepatuhan karhutla pada 2014 yang dilakukan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Saat itu, Pemerintah melakukan audit kepatuhan terhadap 15 perusahaan perkebunan dan kehutanan—5 perusahaan perkebunan dan 10 perusahaan kehutanan dengan 12 konsesi— yang di dalam konsesi mereka kerap terjadi kebakaran dan 6 pemerintah daerah di Riau.

Audit kepatuhan tersebut dilakukan oleh tim gabungan, antara lain UKP4, Kementerian Kehutanan, BP REDD+, Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup, Kepolisian Daerah dan dilaksanakan sangat teliti.

Beberapa aspek audit terkait sistem dan kelembagaan, sarana prasarana dan sumber daya manusia serta biofisik dan sosial kemasyarakatan. Hasilnya, hampir keseluruhan perusahaan tak patuh dalam memenuhi kewajiban penanganan kebakaran hutan dan lahan. Bahkan saat itu, UKP4 mengusulkan, jika terjadi kebakaran lagi, langsung saja pencabutan izin.

Lima perusahaan perkebunan yang diaudit yaitu PT Makarya Ekaguna (MEG) dan PT Triomas Development Indonesia (TFDI) di Siak, PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) di Rokan Hilir, PT Bhumireksa Nusa Sejati (BNS) dan PT Setia Agrindo Mandiri (SAM) di Indragiri Hilir. Hasil audit menunjukkan 1 perusahaan, PT SAM sangat tak patuh dan empat lainnya tidak patuh. Dengan skala nilai 1 – 100, nilai tertinggi yang diraih 4 perusahaan perkebunan ini di kategori tidak patuh, telah memenuhi 23 persen dari 97 poin kewajiban.

Perusahaan kehutanan yang diaudit total 10 perusahaan—dengan 12 konsesi yang dimiliki—diantaranya PT Diamond Raya Timber, PT Sumatera Riang Lestari (SRL) Blok III dan PT Ruas Utama Jaya di Rokan Hilir, PT National Sago Prima dan PT SRL Blok V di Kepulauan Meranti, PT Satria Perkasa Agung, PT SRL Blok IV, PT Sekato Pratama Makmur dan PT Rimba Rokan Lestari di Bengkalis, PT Seraya Sumber Lestari di Siak, PT Suntara Gaja Pati di Dumai, serta PT Arara Abadi.

Penilaian untuk perusahaan kehutanan, PT SRL Blok III sangat tidak patuh, PT SRL Blok V kurang patuh dan sisa 10 lainnya tidak patuh. Dengan skala nilai 1 – 100, nilai tertinggi yang diraih PT SRL Blok V di kategori kurang patuh, telah memenuhi 48,36 persen dari 122 poin kewajiban.

Selain tidak patuh, tim audit juga menemukan aktivitas perusahaan melanggar peraturan perundang-undangan seperti beraktifitas di lahan gambut dalam tiga meter lebih, belum memiliki izin sesuai ketentuan serta tidak menyelesaikan konflik dengan masyarakat sekitar. Tim UKP4 menemukan potensi terjadinya kebakaran di areal perusahaan yang berbatasan dengan masyarakat karena tidak sigapnya perusahaan menyelesaikan konflik tersebut.

“Model audit dapat dijadikan salah satu rujukan karena dilaksanakan secara kolaborasi antar institusi dan lembaga hingga berkantor di Polda Riau, sehingga dapat berjalan baik dan efektif,” kata Made Ali, “audit UKP4 juga menelisik berbagai aspek terkait berkaitan dengan perizinan lingkungan, sistem dan kelembagaan perusahaan, potensi konflik bahkan hasilnya mengungkap segala temuan pelanggaran di lapangan.”

Hasil audit kepatuhan karhutla juga memberikan rekomendasi, termasuk mendorong pencabutan izin bagi perusahaan yang kembali terjadi karhutla di konsesinya. Rekomendasi dari audit UKP4 seperti, perbaikan kebijakan kawasan rawan kebakaran, mempertimbangkan kawasan gambut dalam agar jelas mana dilindungi dan yang bisa dimanfaatkan, harus ada pengawasan intensif, bagi lahan gambut yang sudah terlanjur berizin.

Rekomendasi lainnya, adanya evaluasi konsesi, penguatan kapasitas pemda dalam resolusi konflik, perlu juga penguatan sistem informasi karhutla. Penguatan legislasi guna pencegahan karhutla, pengawasan berjenjang juga perlu dilakukan, termasuk penegakan hukum tegas kepada perusahaan yang terbukti melanggar serta pemberdayaan masyarakat penting seperti kemitraan dalam pencegahan karhutla.

Di samping model audit, Pemerintah juga harus berkoordinasi dengan para pihak berkepentingan serta berbasis pada data dan fakta lapangan. Di Riau, hasil pansus monev perizinan DPRD Riau 2015 menyebutkan adanya 1,8 juta perusahaan sawit beroperasi di kawasan hutan secara illegal. Dampaknya, terdapat kerusakan lingkungan, konflik hingga kerusakan lingkungan yang parah.

Jikalahari juga mendorong presiden Jokowi untuk menyasar penyandang dana dari perusahaan sawit baik dalam negeri maupun di luar negeri. Para penyandang dana selama ini menikmati keuntungan dari hasil sawit yang bercampur dengan aktivitas perusakan hutan, karhutla, korupsi, konflik lahan dengan masyarakat hingga kekacauan distribusi minyak goreng di Indonesia. “Enak sekali mereka mendapatkan keuntungan dari kekacauan yang terjadi di Indonesia. Mereka harus diaudit dan dimintai pertanggungjawaban,” kata Made Ali.

Oleh karenanya, Audit korporasi sawit tidak bisa dipimpin sekelas Menko,”Presiden Jokowi harus memimpin langsung untuk menunjukkan komitmen Presiden menghentikan perubahan iklim dari sektor hutan dan lahan.”

Narahubung:

Made Ali, Koordinator Jikalahari—0812 7531 1009

Aldo, Staf Kampanye dan Advokasi—0812 6111 6340

About Nurul Fitria

Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *