Lahir di Hutan dan Berjuang untuk Hutan


oleh Nurul Fitria

SEORANG pria berdiri menghadap jalan aspal. T-Shirt hitam melekat di tubuh tambunnya. Terlihat gambar siluet hitam gajah dan background lingkaran oranye hiasi tengah kaus yang ia kenakan. Flying Squad WWF.

“Saya sudah dari lahir ada di sini,” awal kisah mengalir dari sosok pria yang bernama Muhammad Hatta ini. Lahir pada 6 Juni 1963 di Desa Situgal, Kabupaten Kuantan Singingi. Saat itu ia ingat warga yang menempati desa kelahirannya tak lebih dari 20 rumah. Kulit kayu jadi dinding rumah, jajaran bambu dijadikan lantai serta beratapkan daun. Begitulah gambaran kondisi rumah di Situgal.

Sejak kecil, Hatta paham betul keadaan desanya. Keluar masuk hutan untuk mencari makan, buah-buah hutan atau membantu mengurus padi di ladang. Hingga 1970-an, warga Situgal hidup dari hasil bertani dan berladang. Mereka akan membentuk kelompok dan berladang secara berpindah-pindah. Kebanyakan komoditas yang dikembangkan padi, cabe, sayuran dan karet. “Tapi karet dulu jarang jadi,” kata Hatta.

Banyaknya babi dan gajah yang berkeliaran menjadi ancaman terbesar bagi warga Situgal. Tak jarang ladang masyarakat yang siap panen dirusak dua satwa itu. Menurut Hatta masyarakat memang mengeluh, namun berpindah lokasi dan membuka ladang baru harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jumlah penduduk Situgal mulai bertambah pada 1990-an. “Ada sekitar 30 rumahlah yang dibangun. Tapi masyarakat masih belum terlalu banyak,” kata putra dari pasangan Timu dan Ma’i ini.

Perubahan terjadi pada 1997. Masyarakat mulai berhenti bertani kelompok. Hatta menghela nafas dan tampak berapi-api ketika ditanya alasannya. “Macam mana mau bertani, lahan masyarakat sudah habis diambil perusahaan.” PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP)—anak perusahaan APRIL  Grup yang bergerak di bidang HTI—mulai masuk ke Situgal dan menanami lahan dengan tanaman akasia. Kedatangan perusahaan mengubah keadaan Situgal dan Hatta tak bisa diam menyaksikan hal tersebut.


HATTA BANYAK BERDISKUSI BERKAITAN 
soal lingkungan dengan organisasi yang fokus terhadap penyelamatan lingkungan, salah satunya World Wild Fund (WWF). Awal tahun 2000 ia mulai bergabung dengan organisasi tersebut dan banyak mendapatkan peningkatan pemikiran terkait penyelamatan lingkungan. Pada tahun yang sama, ia juga diberi kepercayaan oleh masyarakat Situgal untuk menjadi Kepala Desa Situgal. “Kita ini apalah, sekolah ijazah SD pun tak punya, tapi karena warga percaya ya saya terima,” cerita pria yang menjabat sebagai Kades Situgal hingga 2011 ini.

Kehadiran perusahaan menurut Hatta tidak membawa perubahan baik bagi masyarakat Situgal kala itu. Masyarakat Situgal bersepakat untuk tidak mau lahan mereka diganti rugi oleh perusahaan. Namun perusahaan tetap saja menanam di areal lahan masyarakat. Akibatnya lahan hidup masyarakat yang sudah berkurang serta bentuk pertanggungjawaban perusahaan kepada masyarakat sekitar yang minim memicu konflik pada 2002. “Kita bakar waktu itu mess pekerja yang ada di dekat Situgal. Habis semua terbakar barang-barang mereka,” cerita ayah dari 5 putra dan 1 putri ini.

Usai pembakaran itu, Hatta berulang kali mendapatkan ancaman. Ia pernah hendak ditangkap polisi bahkan diancam hendak dibunuh. Ketika ditanya apakah tidak merasa takut, ia menjawab sambil tersenyum, “Saya hanya takut pada Tuhan.”

Penyelesaian kasus ini baru terjadi pada 2004. Tuntutan Hatta, 200 hektar lahan masyarakat harus di enclave dari RKT PT RAPP, perusahaan harus memberikan bantuan kepada masyarakat dan membantu pembangunan Kantor Desa. Selain itu Hatta juga menerima kompensasi dari perusahaan karena merasa dirugikan keamanannya akibat ancaman dari pihak perusahaan. “Tuntutan kita dipenuhi saat itu, tapi sekarang perusahaan mulai berulah lagi nampaknya,” keluh Hatta.

Selama ia menjadi Kades Situgal, Hatta membuat kebijakan bagi masyarakatnya untuk tidak bekerja pada perusahaan, bahkan untuk menjadi kuli harian sekalipun. Menurutnya masyarakat dapat mengembangkan ladangnya memenuhi kebutuhan. “Jika menunggu lahan belum menghasilkan, biasanya mereka kerja jadi kuli harian untuk lahan milik orang lain.” Walaupun sudah tak menjabat sebagai Kades, menurut Hatta sampai saat ini masyarakat tetap komitmen tidak bekerja pada perusahaan.

Pada 19 Juli 2004, pemerintah meresmikan Taman Nasional Tesso Nilo dengan luasan 38.576 hektar terbentang di antara Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu. Pada 19 Oktober 2009 diperluas ke Kabupaten Kuantan Singingi dan Kampar dengan luasan  menjadi 83.068 hektar. Hatta menjelaskan ia jadi salah satu masyarakat yang mendorong agar TNTN dapat terwujud. “Apa lagi usaha yang bisa dibuat untuk selamatkan hutan tempat kita hidup ini,” kata Hatta.

Bagi Hatta jika hutan tak dijaga, masyarakat tak akan tahu bisa hidup bagaimana lagi. Ia merasakan secara langsung perubahan yang terjadi di tanah kelahirannya. Ia bandingkan saat kecil dengan kini, cuaca menjadi sangat panas dan sering terjadi kekeringan air. Ia bercerita, dahulu cuaca Situgal sejuk, ditambah kayanya hasil hutan berupa buah-buahan. “Kalau dulu sudah musim cempedak hutan, wangi semua sepanjang jalan. Sekarang apa buah hutan yang ada? Akasia dan sawit,” kata pria yang pernah bergabung di Forum Taman Nasional Tesso Nilo pada 2004 – 2010 sebagai tim pengawas ini sambil tertawa miris.

Hatta menambahkan dahulu untuk mencari sumber airpun tidak sulit. Menggali tanah setengah meter saja bisa menemukan mata air. “Kalau sekarang, coba saja hujan besar hari ini, dua hari kemudian panas kering, kering pula lah sumber air tu,” keluhnya. Tak hanya cuaca panas dan kekeringan air, ancaman angin puting beliung serta perambahan juga mengancam Situgal.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, Hatta bersama masyarakat melakukan patroli masyarakat. Ini juga merupakan bagian kegiatannya setelah bergabung dengan bersama masyarakat melakukan patroli masyarakat. Ini juga merupakan bagian kegiatannya setelah bergabung dengan Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo sejak 2011 hingga kini. Hatta rutin melakukan patroli untuk mengecek perambahan, gajah serta kebakaran hutan dan lahan.

“Kita pernah temukan gajah dua ekor akhir 2016 kemarin di dalam TNTN tapi sudah mati di racun,” ceritanya. Kedua gajah yang ia temukan sudah tak bergading lagi. Menurutnya kehidupan gajah di TNTN terancam karena tidak adanya ruang hidup bagi gajah. Ia menyarankan kepada pemerintah untuk menyediakan kantong-kantong gajah. “Jadi kalau kita ketemu ada gajah di luar, bisa kita giring ke kantong-kantongnya biar aman dan dijaga.”

Saat ini Hatta cukup mengalami kesulitan untuk melakukan patroli karena kurangnya personil. Pada awal 2011 ia memiliki 30 anggota, saat ini hanya tinggal 4 orang. Menurutnya menumbuhkan kesadaran masyarakat ini yang cukup sulit. “Saya pernah pikir mungkin dengan kondisi hutan seperti sekarang, kita akan punya pemikiran yang sama untuk selamatkan lingkungan. Sayangnya itu cuma pemikiran saya, kenyataannya tak sama.”

Hatta menekankan, sekarang anak muda serta para pemangku kepentingan haruslah berpikir panjang. Jangan hanya memikirkan hidup senang untuk 1 atau 2 bulan kedepan. Namun harus memikirkan apa yang akan terjadi 10 atau 20 tahun lagi. Jika sekarang senang karena uang yang tak seberapa tapi hutan hilang, tak akan ada artinya. “Pemerintah juga kalau buat keputusan itu jangan pandai-pandai cuma duduk di meja. Lihat langsung. Mana desa yang masuk konsesi perusahaan ini.”

Bagi Hatta hutan adalah segalanya. Lahir di hutan, besar di hutan dan berharap sampai mati pun tetap berada di hutan yang membesarkannya.#

About Nurul Fitria

Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *