Oleh Suryadi
TARMIZI menggugat Presiden, Menteri Kehutanan dan Gubernur Riau di PN Jakarta Pusat pada 9 September 2013. Tarmizi bersama penggugat Azraid (Rokan Hilir), Nasir, Zaini Yusuf, M Yusuf, Luk Priyanto, Amran dan Basir (Pelalawan) menggugat karena pemerintah telah melakukan perbuatan melawan hukum berupa menerbitkan IUPHHKHT di atas hutan alam dan gambut untuk korporasi.
Dengan mekanisme Citizen Lawsuit (gugatan warga) mereka menilai pemerintah telah lalai melaksanakan tanggung jawab sehingga muncul pemanasan global dan perubahan iklim di Riau. Pemanasan global di Riau dipicu kebakaran hutan dan lahan, perusakan hutan dan drainase gambut oleh korporasi.
Sejak hadirnya korporasi berdampak pada mata pencaharian mereka. Mereka mengalami kerugian materil dan imateril. “Hutan tak ade lagi. Hewan-hewan liar masuk ke pemukiman, salah satunya harimau. Kami merasakan ketika melakukan aktifitas keseharian,” kata Tarmizi.
Tarmizi lahir dan hidup di Desa Jumrah, Rimba Melintang Kabupaten Rokan Hilir, 60 tahun lalu. Desa Jumrah berada di lansekap Senepis dengan keragaman flora dan faunanya. Salah satunya habitat harimau.
Ia tinggal di rumah terbuat dari kayu sekitar lansekap Senepis. Tarmizi bangun rumah sejak tahun 2000. Materialnya dari kayu Punak dan Mmeranti yang ia cari di hutan.
Untuk masuk ke rumahnya kita harus melewati pelataran kayu semacam jembatan kecil untuk menyeberangi parit. Bisa juga dari samping dan harus menaiki dua anak tangga yang kondisinya kurang baik. Alias terlihat lapuk. Lantai rumahnya berdenyit kalau diinjak selama berjalan. Ada tiga kamar di dalam rumah. Satu di ruang depan, ruang tengah dan dekat dapur. Dulu Tamrizi punya dapur khusus tapi sudah roboh karena tak ada kayu untuk memperbaikinya. Ia dulu masak dengan kayu bakar.
Sejak dapat bantuan gas LPG ia buat dapur kecil yang menyatu dekat kamar belakang. Tak ada perabot mewah dalam rumah. Hanya ada kursi plastik yang dipakai untuk menyambut tamu. Tarmizi juga tumpukkan papan di atas loteng. Katanya, itu untuk merehab rumahnya nanti. Tapi kayunya belum cukup. Ia bertahan hidup dengan bertani, mencari kayu dan sesekali mencari ikan di Sungai Rokan Hilir.
“SAYA ini sejak tahun 80-an sudah keluar masuk dalam hutan Jumrah bahkan sampai Dumai sana. Saya tahu isi dalam hutan itu. Bersama warga di sini menebang kayu buat rumah. Sekarang kayu sudah tidak ada sejak perusahaan PT Ruas Utama Jaya masuk. Mereka menebang hutan dan menanam akasia,” kata Tarmizi. PT Ruas Utama Jaya beroperasi sejak 2007 berdasarkan SK Menteri N.330 No.SK.18/MENHUT-II/ 2007 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Alam (IUPHHK) seluas 44.330 Ha.
Kehadiran perusahaan, derita bagi warga Jumrah.
Mata pencaharian warga sudah tidak ada lagi dari hutan. Bahkan lahan warga juga diklaim sama perusahaan. Warga jadi takut mau menanam. Sewaktu-waktu pasti diusir oleh perusahaan.
“Kami sering diajak rapat oleh pemerintah desa bersama perwakilan perusahaan. Kami hanya minta perusahaan menunjukkan tapal batas konsesi mereka. Tapi mereka cuma bilang iya saja. Nanti akan ditunjukkan. Sampai sekarang sudah bertahun-tahun kami tak tau di mana batas lahan kami dengan perusahaan.”
Wilayah tanam perusahaan semakin luas dan semakin dekat dengan lahan masyarakat. Bahkan pemukiman dan kantor Desa Jumrah itu diklaim perusahaan miliknya. “Kami sudah coba protes dan demo berkali-kali ke perusahaan. Sialnya, pimpinan demo kami mudah disogok dan diberi pekerjaan oleh perusahaan. Warga yang lain jadi malas mau protes lagi. Demo ke Bupati pun kami tak pernah ada hasil. Sama saja, hanya dijanjikan,” kata Tarmizi.
Sejak perusahaan masuk, tak ada perubahan yang berarti bagi warga di sini. Mereka semakin miskin. Banyak yang menganggur. Sebagian tak punya lahan. Bekerja di perusahaan tapi digaji tak seberapa. “Itu pun sering terlambat menerima gaji.”
Tarmizi termasuk yang pernah bekerja di perusahaan itu. Sepuluh bulan bekerja, hanya tiga bulan yang dibayar. “Saya sampai menggadaikan motor dan surat tanah.”
“Saya sempat mau mengamuk ke dalam perusahaan dan mengancam akan membakar pompong mereka yang ada dalam sungai. Tapi mereka cepat sadar dan melunasi sisa gaji saya yang belum dibayar.”
Sekarang bisa dilihat pekerja yang ada di dalam perusahaan. Hanya beberapa orang yang berasal dari desa ini. “Itu pun pekerja kasar seperti tukang tanam bibit akasia. Tak ada yang sebagai karyawan.”
Kebanyakan pekerja datang dari Sumatera Utara. Mereka dirumahkan di sana. Tapi bisa kita lihat, pekerja itu hidup tak layak. Tinggal dalam bak container seperti peti kemas. Tak ada fasilitas umum di tempat tinggal mereka. Seperti sekolah, klinik atau puskesmas. “Sewaktu saya bekerja di dalam, beberapa kali mengantar perempuan mau melahirkan. Saat mau dibawa ke Dumai, akhirnya melahirkan dalam pompong. Suaminya langsung yang jadi bidan.”
Banyak anak-anak tinggal di sana. Tapi saya tak pernah melihat mereka diangkut pakai bus untuk diantar ke sekolah. Berbeda dengan perusahaan lain. Tiap pagi ada nampak bus menjemput dan mengantar anak-anak sekolah. “Saya pernah melihat, anak-anak yang tinggal di perusahaan Ruas Utama Jaya disembunyikan ketika tim audit datang meninjau ke lokasi.”
Tarmizi termasuk yang pernah ditegur oleh tim audit karena sudah umur 60 tahun masih bekerja di perusahaan. Ia bekerja mengangkut bibit akasia menggunakan pompong. Tapi setelah dikasih tahu tak boleh lagi bekerja, “saya minta anak yang menggantikan.”
Beberapa minggu setelah itu, orang perusahaan malah menelpon Tarmizi kembali agar bekerja seperti biasa. Begitulah perusahaan memperlakukan pekerja. Padahal gajinya sering terlambat berbulan-bulan baru dibayar.
Waktu musim asap, perusahaan membentuk masyarakat peduli api. Orang-orangnya dari warga sini. Tapi mereka digaji tak sepenuhnya. Tiga bulan bekerja hanya dibayar satu bulan. Itupun tidak sepenuhnya seperti yang dijanjikan diawal. “Akirnya warga sini pada berhenti dari MPA itu.”
Mereka sering diberi bantuan seperti kambing, lembu dan bebek. Tapi tak tahu hewan itu di mana sekarang. Pemerintah yang menerima bantuan itu tak bertanggungjawab dan tak pernah jujur sama warga. “Katanya menolak bantuan dari perusahaan, kami lihat terima juga. Baru-baru ini, warga diberi bantuan bibit nanas dan lahan dua hektar. Kami dibentuk kelompok. Tapi hasilnya entah di mana. Kelompoknya pun tak jelas.”
Sekarang ini, semenjak perusahaan menebang hutan dan menanam akasia, sering terjadi kebakaran. Padahal dulu tak pernah terbakar sedikit pun. Tak hanya warga di sini yang jadi korban, hewan dalam hutan itu pun pada kabur dan masuk ke pemukiman warga. Ada warga yang digigit harimau saat menyadap karet. Ada lagi yang digigit saat buang air di belakang rumah.“Itu ada perempuan yang digigit telinganya kemarin pas buang besar.”
Saya sering melapor ke Pekanbaru, kalau ada kejadian apa pun di perusahaan. Seperti kebakaran, pembukaan lahan baru sampai harimau lalu lalang pun saya laporkan. “Saya lapor ke greenpeace, Walhi dan Jikalahari. Metro TV pun pernah saya temani masuk dalam hutan ini. Karena hanya saya yang tahu seluk beluk dan akses untuk masuk perusahaan.”
Gara-gara sering melapor itu, ia jadi paham menggunakan GPS. “Saya diajarkan orang-orang Greenpeace mengukur lahan perusahaan. Kadang pura-pura memancing pakai pompong menyusuri kanal perusahaan. Padahal di bawah jaring kami ada alat-alat khusus yang dibawa.”
“Saya kenal dengan aktivis lingkungan itu sejak lahan perusahaan mulai terbakar. Mereka datang ke sini cari pompong untuk masuk ke dalam perusahaan. Kebetulan saya punya. Nah, sejak itu saya selalu diajak. Bahkan mereka tidur di rumah ini. Bule pun pernah tidur di sini.”
Di tengah perjuangannya melawan perusahaan di tengah senepis, Tarmizi yang 60 tahun itu, masih tinggal di rumahnya: berlantai kayu, berdenyit kalau diinjak selama berjalan.#