Telaah terhadap muatan peraturan daerah terkait kebakaran hutan dan lahan di 6 provinsi (Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah). Meninjau lebih jauh, mengapa persoalan karhutla masih terus berlanjut, padahal telah ada regulasi yang harusnya dapat menyelamatkan masyarakat dari bahaya asap karhutla.
KEBAKARAN hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di Indonesia sudah menjadi penyerta saat musim kemarau. Kekeringan yang terjadi adalah sebuah kesengajaan guna alih fungsi hutan menjadi tanaman monokultur seperti komoditas bahan baku kertas dan kelapa sawit melalui izin-izin korporasi berskala besar.
Izin-izin korporasi monokultur menyebabkan hilangnya tutupan hutan alam dan rusaknya ekosistem gambut dengan dibuatnya kanal-kanal besar. Kerusakan yang timbul tak hanya pada areal kerja korporasi, tetapi juga menyebabkan landscape menjadi turut terdegradasi.
Akibatnya api mudah untuk menyala dan sulit dipadamkan. Keadaan tersebut diperparah dengan niat buruk para pengusaha nakal dan cukong tak bertanggungjawab. Mereka memanfaatkan momen kemarau dan lahan yang kering untuk ‘bersih-bersih’ lahan dengan biaya yang murah. Hal tersebut terlihat dari 8 sampel korporasi yang terbukti melakukan pembakaran hutan dan lahan dan divonis bersalah oleh pengadilan.
Izin korporasi tanaman monokultur yang merusak hutan alam dan gambut hingga praktek pembakaran untuk menghemat biaya penyiapan lahan menyebabkan Karhutla yang massif terjadi, sejak 2015 dan 2019, juga tak absen hadir pada 2023.
Sepanjang sepuluh tahun terakhir, Kami menemukan 6 provinsi yang selalu berada dalam peringkat 15 besar luasan areal terbakar sepanjang 2015 hingga 2023, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Di samping itu, ke 6 provinsi telah memiliki peraturan daerah (perda) terkait dengan pencegahan ataupun penanggulangan karhutla.
Jikalahari bersama koalisi; Walhi Riau, Walhi Jambi, Walhi Sumsel, Pontianak Institut Kalbar, Walhi Kalteng dan Walhi kaltim mencoba mengkaji bagaimana peran keberadaan perda terhadap kejadian kahutla yang luas dan terjadi secara berulang. Kami melihat adanya gap antara adanya Perda dengan luas kebakaran yang masih terjadi hamper setiap tahun. Asumsinya, daerah yang telah memiliki perda akan lebih baik dalam pengendalian karhutla. Pertanyaannya, dimana letak kekurangan dalam penanggulangan karhutla di 6 provinsi ini?
Dari kajian ini, kami menemukan minimnya implementasi perda dilihat dari upaya pencegahan dan penanggulangan karhutla yang dilakukan 6 provinsi ini. Perda juga belum dioperasionalkan untuk memastikan pemegang izin untuk melakukan aksi pengendalian karhutla. Misalnya melalui audit kepatuhan sarana dan prasarana pengendalian karhutla. Selain itu, masyarakat sipil juga nihil dilibatkan, baik dalam baik dalam hal koordinasi, ataupun pelaksanaan dari aksi dari perda tersebut.
Kajian ini juga melihat lebih dalam terhadap perda, baik secara administrative maupunketentuan peraturan perundang-undangan. Hasilnya, masih banyak terdapat ketidakjelasan. Baik dari segi kesesuain peraturan, koordinasi kelembagaan hingga peraturan turunan yang tidak direalisasikan. Perda terkait pengendalian karhutla di 6 provinsi seolah-olah disusun hanya demi formalitas, “kami sudah memiliki perda terkait pencegahan dan penanggulangan karhutla”.
Kami berharap kajian ini dapat menjadi pembelajaran bagi para pembaca. Kami juga berharap kajian ini dapat memberikan masukan untuk perbaikan pengendalian karhutla ke depannya bagi para kepala daerah yang baru di 6 provinsi agar ada perbaikan perda serta pengoptimalan implementasinya yang transparan, akuntabel dan partisipatif.
Terakhir saya mengucapkan terima kasih kepada Prof Bambang Hero Saharjo, M.Agr, Dr. Gusliana HB, SH, M.Hum, Jeffri Novrizal Torade Sianturi dan koalisi masyarakat sipil; Walhi Riau, Walhi Jambi, Walhi Sumsel, Pontianak Institut Kalbar, Walhi Kalteng dan Walhi kaltim serta seluruh tim yang terlibat dalam penyusun kajian ini.
Karhutla dapat dicegah, karhutla dapat dihentikan. Perbaikan kebijakan yang pro natura adalah yang utama, demi melindungi hutan dan lingkungan kita, demi generasi sekarang dan yang akan datang.
Pekanbaru, Februari 2025
Okto Yugo Setiyo
Koordinator Jikalahari