Publikasi Dua Hasil Investigasi: Laporan Pasca Pencabutan Izin Korporasi Sektor SDA dan
Laporan Pelanggaran Komitmen NDPE dan Kebijakan Berkelanjutan Oleh Korporasi HTI
Jakarta, 14 November 2022— Jikalahari bersama Koalisi Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua yang tersebar di 8 provinsi dalam jejaring Eyes On The Forest meluncurkan dua laporan hasil pemantauan dari lapangan. Total 40 korporasi yang terdiri atas 27 korporasi HTI, 13 sawit yang tersebar di Provinsi di Riau, Jambi, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Papua.
Pemantauan dilakukan sepanjang Maret 2021 – Oktober 2022 oleh Jikalahari, Walhi Riau, EoF, KSPPM, Walhi Jambi, Walhi Sumatera Selatan, Point Kalbar, Walhi Kalimantan Tengah, Walhi Kalimantan Timur dan Walhi Papua.
Dua laporan ini berisi perkembangan performa korporasi sektor Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan sawit. Berikut ringkasan temuan dua laporan hasil pemantauan :
Pertama, laporan investigasi pelanggaran komitmen No Deforestation, No Peat and No Exploitation (NDPE) dan kebijakan berkelanjutan oleh korporasi HTI. Koalisi Jejaring Eyes on The Forest melakukan pemantauan untuk melihat implementasi komitmen NDPE, dan komitmen kebijakan berkelanjutan APRIL Grup, APP Sinarmas Grup, Sumitomo dan Medco. Pemantauan HTI di Riau, Jambi, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Papua.
- Pembukaan Hutan Alam: Masih ditemukan pembukaan hutan alam yang dilakukan oleh anak grup APP yaitu PT Arara Abadi (AA) dan PT Sekato Pratama Makmur (SPM) dan Sumitomo Grup.
- Korporasi tidak melakukan upaya restorasi gambut: 4 korporasi berada di areal gambut dan tidak ditemukan upaya restorasi gambut yang dilakukan oleh korporasi.
- Terdapat tanaman akasia di areal bekas terbakar 2015: korporasi tidak melakukan restorasi di areal tersebut, justru melakukan penanaman kembali akasia di areal tersebut.
- Terdapat tanaman eukaliptus di luar konsesi HTI: PT BPP di Sumatera Selatan menanam eukaliptus hingga di luar konsesi.
- Terdapat perkebunan sawit di areal konsesi HTI: Sawit tersebut ditanam oleh PT Bumitama Gunajaya Agro dan Borneo Sawit Persada beraktifitas di konsesi PT CKP.
- Korporasi HTI berkonflik dengan masyarakat: 7 korporasi diantaranya berkonflik dengan masyarakat. Masyarakat tidak menerima korporasi karena mengelola areal yang sudah lama dikelola oleh masyarakat sebagai ladang atau kebun.
Kedua, laporan eksisting izin korporasi HTI dan sawit pasca pencabutan izin oleh pemerintah yang diumumkan Presiden Jokowi pada 6 Januari 2022. Hasil pemantauan sepanjang Maret – Juni 2022 di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Papua. 23 korporasi yang dipantau terdiri dari 10 HTI dan HPH serta 13 perkebunan sawit.
- Korporasi masih beroperasi padahal izin sudah dicabut: PT DPN I, PT JJP dan PT ACP II masih beraktifitas pasca izin dicabut pada Januari 2022, di lapangan masih ditemukan karyawan PT DPN panen tandan buah segar (TBS) sawit. Tim juga menemukan PT DPN menanam di luar izin dan berada dalam kawasan hutan.
- Korporasi sawit dan cukong menguasai lahan eks HTI yang dicabut: Di Riau, PT Agro Lestari menguasai lahan eks PT RSU, 6 orang cukong menguasai lahan eks PT BRP, di Jambi PT Agro Tumbuh Gemilang Abadi eks PT DHL. Di Kalimantan Tengah PT Bangun Jaya Alam Permai dan Cv Gawi Hantantiring menguasai lahan eks PT RE dan di Kalimantan Timur PT Enggang Alam Sawita dan PT. Rea Kaltim mengusai lahan eks PT HK.
- Korporasi tambang menguasai lahan eks HTI yang dicabut: Ada 5 korporasi tambang yang menguasai lahan eks HTI yang dicabut. korporasinya, PT Graha Surya Tambang di areal eks PT RE PT bara Tiga Putra. PT Alam Tambang Raya Pratama, PT Penoon Energi, PT Karunia Sanjaya Makmur dan PT Rajib Xanana, korporasi tambang batu bara di areal eks PT HK
- Korporasi HPH menguasai lahan eks HTI yang dicabut: HPH PT Mutiara Kalja Permai menguasai lahan di areal eks PT HK.
- Masyarakat menguasai lahan eks HTI yang dicabut: Masyarakat menguasai lahan tersebut secara turun temurun sebelum izin HTI terbit. Bahkan, beberapa eks HTI yang dicabut sudah ada pemukiman masyarakat di dalamnya.
Dua laporan tersebut menggambarkan Korporasi HTI dan sawit melakukan pelanggaran hukum, perusakan hutan, dan merampas hutan tanah masyarakat adat. Bahkan korporasi yang di cabut izinnya, hingga kini tidak ada tindakan oleh pemerintah. Inti temuan lemahnya pengawasan pemerintah di tingkat tapak atau lapangan menjadi faktor terbesar. Korporasi terus menerus merusak dan merampas hutan tanah masyarakat adat dan tempatan.
Sebelumnya, pada 2019 dan 2021 Koalisi Jejaring EoF juga meluncurkan hasil pemantauan dari lapangan yang berjudul “Ketika Pemulihan Gambut Hanya Sebatas Janji”[1] dan “Dibalik Rusaknya Hutan Indonesia” [2]. Hasil pemantauan menemukan korporasi HTI melakukan hal yang sama. Korporasi tidak melakukan upaya restorasi gambut di areal prioritas restorasi, melakukan aktivitas pembukaan lahan, penanaman ataupun pemanenan di areal fungsi lindung gambut serta areal prioritas restorasi pasca kebakaran bahkan ditemukan adanya kebakaran berulang di areal bekas terbakar.
Sejak 2019 – 2022 atau empat tahun terakhir, Koalisi Jejaring EoF telah melakukan pemantauan terhadap 89 korporasi Sektor Sumber Daya Alam di Indonesia.
Koalisi merekomendasikan:
Terkait laporan investigasi pelanggaran komitmen No Deforestation, No Peat and No Exploitation (NDPE) dan kebijakan berkelanjutan oleh korporasi HTI
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus melakukan;
- Review terhadap izin yang diberikan karena telah terbukti terbakar, tidak melakukan upaya restorasi pada konsesinya, berada pada wilayah pulau kecil dan merampas hak masyarakat adat dan tempatan;
- Memaksa korporasi untuk melakukan kewajiban pemulihan lingkungan; dan
- Memberikan legalitas kepada masyarakat sebagai upaya pemulihan hak melalui skema perhutanan sosial dan TORA.
Terkait laporan eksisting izin korporasi HTI dan sawit pasca pencabutan izin oleh pemerintah;
- Presiden Jokowi segera merealisasikan janjinya berupa lahan eks korporasi yang dicabut diberikan kepada masyarakat adat dan tempatan.
- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera melakukan penegakan hukum terhadap korporasi yang masih beroperasi pasca izinnya di cabut, menerbitkan Perhutanan Sosial serta melakukan pemulihan di areal eks HTI yang dicabut.
- Gubernur Papua dan Papua Barat segera menerbitkan Perdasus sebagai pelaksana UU Otsus dalam kaitan dengan pengelolaan hutan berkelanjutan di Papua dan Papua Barat untuk menjamin hak-hak Masyarakat Adat atas hutan Papua dan Papua Barat serta tiga provinsi baru di Papua.
Unduh laporan
Laporan Pasca Pencabutan Izin Korporasi Sektor SDA
Lagi, Cerita Korporasi HTI: Merusak Hutan Alam dan Merampas Hutan Tanah Masyarakat
*****
KOALISI
Jikalahari, Eyes on the Forest, WALHI Riau, KSPPM, WALHI Jambi, WALHI Sumatera Selatan, WALHI Kalimantan Tengah, Point Kalbar, WALHI Kalimantan Timur, WALHI Papua
Narahubung
- Aldo, Jikalahari (081261116340)
- Fandi Rahman, WALHI Riau (085271603790)
- Afdhal Mahyudin, Eyes on the Forest (081389768248)
- Lambok Lumban Gaol, KSPPM (081360301366)
- Ginda Harahap, WALHI Jambi (085377058090)
- Roy, WALHI Sumatera Selatan (081273784995)
- Bayu Herinata, WALHI Kalimantan Tengah (082255115115)
- Yohana Tiko, WALHI Kalimantan Timur (081350929213)
- Martin, Point Kalimantan Barat (081256639399)
- Maikel Primus Peuki, WALHI Papua (082248000233)
[1] https://jikalahari.or.id/kabar/laporan/ketika-pemulihan-gambut-hanya-sebatas-janji/
[2]https://jikalahari.or.id/kabar/di-balik-rusaknya-hutan-indonesia/,