PELALAWAN, RIAU, 21 MARET 2012 – Masyarakat Teluk Meranti dan LSM di Riau menolak hasil putusan sela majelis hakim PN Pelalawan atas gugatan melawan hukum Mentri Kehutanan RI dan Bupati Pelalawan terkait dengan SK Menhut 327 tahun 2009 yang itu membuktikan bahwa keadilan masih belum berpihak pada masyarakat dan lingkungan.
Dalam putusannya, Majelis Hakim PN Pelalawan memutuskan pengadilan mengabulkan eksepsi Tergugat I (menteri kehutanan) dan Tergugat II (Bupati Pelalawan) dengan alasan bahwa PN Pelalawan tidak memiliki kewenangan mengadili kasus tersebut karena ini seharusnya di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan membebankan biaya perkara pada penggugat.
“Sejak awal yang menjadi objek gugatan kita bukan surat keputusan tata usaha negara, tetapi objeknya adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh menteri kehutanan dan bupati Pelalawan. Kami sangat menyayangkan putusan sela tersebut karena hakim tidak memperhatikan seksama objek gugatan,” kata Suryadi, kuasa hukum warga Teluk Meranti yang juga Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru.
Pada saat sidang berlangsung, puluhan warga Teluk Meranti melakukan aksi diam dengan menutup mulut sebagai bentuk protes atas keputusan pengadilan yang tidak berpihak pada masyarakat. Mereka berdiri di depan pintu masuk ruang sidang dengan mengusung sejumlah poster bertuliskan aspirasi.
Zul Efendi, warga Teluk Meranti yang juga Ketua Forum Masyarakat Penyelamat Semenanjung Kampar (FMPSK) kecewa dengan putusan hakim. “Kami kecewa. Pemerintah tak perhatikan kami. Kami upayakan lagi langkah selanjutnya. Padahal semua sudah kami coba. Perjuangan ini sudah kami lakukan sejak 2009 hingga kini. Putusan Hakim itu sangat menyiksa kami, masyarakat Teluk Meranti,” kata Efendi.
Terkait dengan langkah berikutnya, Suryadi mengatakan, “Kami akan diskusi dengan warga untuk melanjutkan upaya hukum berikutnya. Gerakan warga Teluk Meranti ini adalah sebuah contoh baik bagi Indonesia dalam penyelesaian persoalan hukum. Tuntutan dan gerakan ini konstitusional. Namun hakim tidak melihat ini. Putusan hakim tidak cerminkan rasa keadilan masyarakat,” kata Suryadi.
Pada tahun 2009, Menteri Kehutanan RI menerbitkan SK Nomor 327 Tahun 2009 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Tanaman Industri (IUPHHTI) untuk PT RAPP di Semenanjung Kampar dan sejumlah daerah lainnya seperti di Pulau Padang. Akibat SK Menhut tersebut, masyarakat kehilangan hutan tempat selama ini mereka mencari makan dan menggantungkan hidup. Namun saat ini hutan tersebut telah gundul untuk pembuatan kertas.
Dalam gugatan masyarakat tersebut, tindakan melawan hukum dari Menhut RI sangat jelas seperti menjadikan kawasan lindung gambut yang oleh PP nomor 26 tahun 2008 adalah kawasan dilindungi sebagai objek pemanfaatan industri. Tindakan melawan hukum kedua adalah UU nomor 41 tahun 1999 pasal 28 ayat 1 dimana usaha pemanfaatan hutan tanaman diutamakan pada hutan produksi yang tidak produktif, namun sebaliknya izin yang diberikan kepada RAPP itu justru di kawasan hutan sangat produktif.
“Sistem peradilan di Indonesia saat ini tidak menghormati keadilan warga Teluk Meranti yang sudah berjuang tidak anarkis,” kata Fadil Nandila, wakil Koordinator Jikalahari.
Kontak:
Suryadi, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, 081268600253
Zul Efendi, Warga Teluk Meranti, 085265737197
Made Ali, Manager Komunikasi Jikalahari, 081378056547