PEKANBARU, 26 NOVEMBER 2021 – Temuan Eyes on the Forest selama 17 tahun mendapati dampak buruk praktek korporasi perkebunan kelapa sawit bagi hutan alam, dan keanekaragaman hayati. Dari temuan EoF menjelaskan kenapa komoditi kelapa sawit layak ditolak jadi tanaman hutan seperti usulan Yanto Santosa, Guru Besar IPB University beserta akademisi sehaluan dengannya.
Analisis 1. Laporan investigasi koalisi Eyes on the Forest pertengahan tahun ini mengungkapkan hanya 14% (0,8 juta hektar) kebun sawit di Provinsi Riau –penghasil produk sawit terbesar di Indonesia—yang bisa dianggap legal karena ketaatan hukum mereka, meski belum tentu taat kepatuhan lingkungan. Konsekuensinya, 86% kebun sawit Riau harus dianggap ilegal, hingga verifikasi lapangan rinci dan akurat mampu membalikkan pernyataan ini.
Analisis 2. Investigasi EoF pada 2019 menemukan 43 perkebunan sawit ilegal yang jadi sampel memiliki Tandan Buah Segar (TBS) ilegal yang dibeli oleh 15 Pabrik Kelapa Sawit (PKS) mencakup grup-grup Darmex, First Resources, Incasi Raya, Jhagdra, Mitra Agung Sawit Sejati dan Royal Golden Eagle. Sebagian dari PKS itu juga menjual minyak sawit mentah (CPO) tercemar kepada 6 kilang milik Darmex, First Resources, Musim Mas, Permata Hijau, Royal Golden Eagle dan Wilmar. Fakta ini menunjukkan bagaimana rantai pasok produk sawit internasional tercemari produk yang bermasalah dari hulu.
Analisis 3. Analisis GIS oleh EoF menemukan Provinsi Riau, produsen terbesar minyak sawit mentah (crude palm oil, CPO) memiliki 47% (2,5 juta hektar) dari perkebunan sawit provinsi pada 2019/2020 yang berada dalam Kawasan Hutan termasuk Kawasan seperti Taman Nasional Tesso Nilo. Selain itu, 39% (2,1 juta hektar) kebun sawit telah dibangun di luar Kawasan Hutan tanpa memiliki data pemerintah (Badan Pertanahan Nasional) atau izin diperlukan (Hak Guna Usaha, HGU. Hanya 14% (0,8 juta hektar) dari kebun sawit Riau yang bisa dianggap legal karena terletak di luar Kawasan Hutan dan HGU mereka tercatat oleh Pemerintah. Konsekuensinya, perlu kerja keras Pemerintah untuk melakukan verifikasi legalitas.
Analisis 4. Berdasarkan interpretasi visual citra satelit Landsat 2019 dan 2020 (WWF & Setiabudi 2020), hingga 59% (5,40 juta hektar) daratan Riau telah diliputi tutupan kebun sawit. 3,26 juta ha adalah tanaman monokultur kelapa sawit yang cukup tua untuk terlihat pada citra Landsat, dikelola secara komersial (1,62 juta ha) atau oleh petani kecil (1,64 juta ha); 0,69 juta ha adalah lahan yang ditanami tanaman campuran termasuk kelapa sawit; 1,03 juta ha adalah lahan yang baru dibuka dan ditutupi oleh vegetasi muda yang tumbuh kembali, termasuk kelapa sawit muda yang terlalu kecil dan tidak terlihat pada citra Landsat, dan 0,42 juta ha adalah lahan yang baru dibuka dan tidak sepenuhnya tertutup oleh vegetasi, beberapa di antaranya mungkin atau akan ditanami bibit kelapa sawit muda. Bagaimanapun, BPN hanya mendaftarkan 862.236 hektar dari area HGU di Riau pada 2016.
Analisis 5. Kebun sawit ilegal berada di: 4.0% di Area Konservasi (Kawasan Suaka Alam (KSA)/ Kawasan Pelestarian Alam (KPA), 103.009 hektar termasuk 49.176 hektar di Taman Nasional Tesso Nilo), 4.6 % di Hutan Lindung (HL, 116.105 hektar), 22.3% di Hutan Produksi Terbatas (HPT, 561.714 hektar), 32.9% di Hutan Produksi (HP, 830.211 hektar), dan 36,1% di Hutan Produksi dapat dikonversi (HPK, 908.759 hektar). Berapa luas ekosistem hutan dan habitat harimau dan gajah Sumatera dihancurkan oleh ekspansi sawit ilegal. Jika sawit dijadikan tanaman hutan, maka segala status sawit ilegal ini ‘terputihkan’ alias menjadi legal.
Analisis 6. Sawit ilegal dalam Kawasan hutan tak lepas dari praktik korupsi seperti terjadi di beberapa provinsi ditunjukkan oleh grup Darmex Agro yang melibatkan CEO Darmex dan manajer, anak perusahaan, dan mantan Gubernur Riau. Jika sawit jadi tanaman hutan, maka kasus korupsi ini tak lagi dilanjutkan dan semua tersangka dan terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum.
Analisis 7. Perkebunan sawit illegal dalam kawasan hutan turut menjadi penyebab kebakaran hutan yang mengakibatkan pencemaran udara di Riau hingga level berbahaya berbulan-bulan pada 2015. Temuan EoF pada 2015, terdapat 15 dari 19 korporasi sawit yang terbakar berada dalam kawasan hutan berdasarkan SK Menteri Kehutanan 878 tahun 2014. Hal yang sama disampaikan Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK pada Agustus 2016 menyatakan sebagian kawasan masih berada dalam kawasan hutan. Perusahaan yang berada dalam kawasan hutan di antaranya: PT Sinar Sawit Sejahtera, PT Andika Permata Sawit lestari, PT Raja Garuda Mas Sejati, PT Alam Sari Lestari, PT Pan United, PT Riau Jaya Utama, CV Nirmala, PT Agroraya Gematrans dan PT Bertuah Anekayasa, PT Duet Rija, PT Guntung Hasrat Makmur, PT Pancasurya Agrindo, PT Peputra Supra Jaya, PT Pusaka Mega Bumi Nusantara, PT Runggu Prima Jaya dan PT Tesso Indah.
Analisis 8. Perkebunan sawit menyebabkan perusakan sekala besar habitat penting bagi banyak spesies. Hal ini seperti terjadi di Landsekap Tesso Nilo, habitat harimau dan gajah semakin terisolasi, sumber makanan dan tempat tinggal mereka semakin kritis. Begitupun konversi hutan menjadi sawit secara ilegal menghabisi habitat harimau seperti terjadi di koridor Bukit Betabuh maupun lansekap Bukit Tigapuluh yang terungkap dalam investigasi koalisi EoF. Hal ini pemicu utama Konflik manusia-satwa liar terus meningkat karena tanpa habitat alami yang memadai, semakin sering bersentuhan dengan manusia. Ketika keberadaan hutan sebagai habitat alami satwa liar disamakan dengan perkebunan sawit maka kepunahan akan semakin tampak di depan mata.
Sejumlah analisa dan fakta lapangan di atas ibarat puncak gunung es, yang akan makin masif jika
sorotan juga diarahkan ke provinsi-provinsi didominasi kebun sawit lainnya.