Restorasi Gambut Tak Menentu, Peraturan Baru Menguntungkan Siapa?

Kebakaran hutan hebat 2015 tak membuat jera. Investigasi Eyes on the Forest (EoF) terkini menemukan 3 dari 7 perusahaan pemegang konsesi HTI, yang jadi tersangka kebakaran hutan dan lahan pada 2013-2014, diduga tidak mengindahkan peraturan perlindungan dan pemulihan gambut. Apakah ini akibat lemahnya supervisi dan koordinasi pemerintah? 

Embargo hingga jam 09.00 WIB, 30 Agustus 2019

Koalisi NGO Eyes on the Forest (EoF) menyerukan semua pihak untuk serius dalam melakukan restorasi gambut. Upaya ini untuk menghindari tragedi kebakaran hutan 2015, yang menelan 100.000 jiwa kematian prematur[1] dan merugikan negara hingga Rp 221 triliun[2].

Melihat besarnya dampak kebakaran di tahun 2015, Presiden menyatakan: “Kalian akan segera melihat hasilnya dan dalam tiga tahun ke depan kita akan mengatasi hal ini.” Setelah tiga tahun dari pernyataan Presiden tersebut, Eyes on the Forest menerbitkan laporan investigatif bertajuk Kebakaran gambut masih menghantui, restorasi gambut sudah sejauh mana? pemantauan dilakukan pada tujuh konsesi HTI. Konsesi HTI yang disurvei EoF mencakup 12 persen dari total luas lahan gambut berkategori Fungsi Lindung Ekosistem Gambut (FLEG) yang telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Tiga di antara tujuh konsesi yang disurvei EoF ini pernah menjadi tersangka kasus kebakaran hutan dan lahan yang dilaporkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup pada 2013 dan 2014, namun hingga kini tak satupun kasus itu naik ke pengadilan, yaitu PT Bukit Batu Hutani Alam, PT Sakato Pratama Makmur (Hampar/Humus), dan PT Sumatera Riang Lestari blok 4 Pulau Rupat.

Pemantauan di lapangan yang dilakukan oleh EoF pada periode Juli hingga Desember 2018 mendapati kedua perusahaan raksasa bubur kertas dan kertas yaitu Asia Pulp and Paper (APP)/Sinar Mas Group (SMG) dan Asia Pacific Resources International Limited (APRIL)/Royal Golden Eagle (RGE) diduga kuat melanggar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) nomor 16 tahun 2017 dengan menanam akasia dan karet di atas lahan gambut yang seharusnya dipulihkan.

“Hampir empat tahun setelah bencana karhutla 2015, tak banyak kemajuan yang terjadi di konsesi-konsesi HTI mereka,” ujar Okto Yugo, Deputi Koordinator Jikalahari. “Hasil investigasi kami mendapati dua raksasa industri kertas ini tidak mematuhi peraturan-peraturan terkait perlindungan dan restorasi gambut. Mereka tidak melakukan upaya yang serius dengan menanami kembali area yang telah dipanen dengan tanaman akasia, yang seharusnya dipulihkan dengan menanam spesies lokal,” tambah Okto.

Areal prioritas restorasi dari Badan Restorasi Gambut (BRG) di konsesi HTI-Riau mencakup 519.471 ha atau lebih dari separuh total target nasional. Areal yang disurvey oleh EoF (194.874 ha) dalam laporan ini, merupakan bagian dari prioritas tersebut. EoF melihat rendahnya capaian restorasi di konsesi HTI harus direspon dengan kerja keras, mengingat masa tugasnya BRG akan berakhir tahun depan.

“Maraknya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi tahun ini, menunjukkan berkurangnya komitmen pemerintah dan korporasi dalam melindungi dan memulihkan lahan gambut di dalam maupun diluar konsesi,”  tutur Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif WALHI Riau.

Hampir empat tahun setelah pernyataan Presiden, dan hanya beberapa minggu sebelum pemilihan Presiden dan legislatif, muncul Peraturan Menteri LHK No.10, 2019 tentang Penentuan, Penetapan dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut, yang merupakan kemunduran dalam komitmen untuk melaksanakan pemulihan lahan gambut paska kebakaran 2015. Laporan EoF ini juga menerangkan bahwa peraturan baru tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (PP 71/2017, perubahan dari PP 57/2016) dan Peraturan Menteri mengenai restorasi gambut (P16/2017)

“Permen 10 tahun 2019 jelas-jelas sebuah kemunduran. Kehadiran peraturan menteri ini sungguh mengagetkan! Kebijakan ini memberikan peluang korporasi untuk kembali beroperasi seperti biasa layaknya sebelum tahun 2015,” kata Nursamsu, Manajer Market Transformation, WWF-Indonesia. “Oleh karena itu, EoF meminta Presiden untuk turun tangan untuk meninjau ulang peraturan ini secepatnya karena banyaknya kontradiksi dengan peraturan sebelumnya.”

EoF menduga bahwa peraturan baru dirancang untuk memfasilitasi korporasi kembali mengeksploitasi lahan gambut. Padahal, dalam laporan panel antar pemerintah tentang perubahan iklim (IPCC) yang diterbitkan pada 8 Agustus lalu disebutkan restorasi gambut sangat penting untuk menanggulangi perubahan iklim.

Saat rilis ini dipersiapkan, kebakaran hutan di HTI masih terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Termasuk di PT Sumatera Riang Lestari Blok 3 Kubu, PT Sumatera Riang Lestari Blok 4 Pulau Rupat, dan PT Rimba Rokan Perkasa, tiga dari tujuh konsesi yang disurvei EoF tahun lalu (lihat peta dan tabel terlampir)

Untuk informasi selanjutnya sila kontak:

Okto Yugo (otoy.yugo@gmail.com) – Jikalahari    hp:    0853 74856435

Riko Kurniawan (rikokurniawan@gmail.com) – WALHI Riau     hp: 0813 71302269

Nursamsu (nursamsu@wwf.id) – WWF-Indonesia          hp:  0811 7582217

 Lampiran I

Peta kebakaran di Riau pada tahun 2019, yang juga terjadi di areal konsesi yang disurvei EoF di tahun 2018.

[1] https://www.seas.harvard.edu/news/2016/09/smoke-from-2015-indonesian-fires-may-have-caused-100000-premature-deaths

[2] http://pubdocs.worldbank.org/en/643781465442350600/Indonesia-forest-fire-notes.pdf

 

About Nurul Fitria

Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *