Pekanbaru, 26 Oktober 2021—Jikalahari mengapresiasi OTT Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kabupaten Kuansing. “OTT sektor Perkebunan ini menjadi warning bagi KPK untuk memantau khusus perizinan sektor sumber daya alam paska UU Cipta Kerja berlaku,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.
Pada 18 Oktober 2021, KPK melakukan OTT terhadap Sudarso (GM PT AA), Paino (SM PT AA), Yuda dan Juang (supir PT AA), tak berapa lama, Andi Putra Bupati Kuansing ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait perpanjangan izin Hak Guna Usaha (HGU) sawit di Kabupaten Kuantan Singingi. Kasus ini berawal dari pengajuan perpanjangan HGU oleh PT PT Adimulya Agrolestari (AA) yang dimulai sejak tahun 2019 dan berakhir pada tahun 2024, dimana salah satu persyaratannya adalah membangun kebun kemitraan minimal 20% dari HGU yang diajukan.
Namun, lokasi kebun kemitraan 20 % milik PT AA yang dipersyaratkan tersebut, terletak di Kabupaten Kampar dimana seharusnya berada di Kabupaten Kuantan Singingi. Agar persyaratan ini dapat terpenuhi, Sudarso kemudian mengajukan surat permohonan ke Andi Putra selaku Bupati Kuantan Singingi dan meminta supaya kebun kemitraan PT AA di Kampar di setujui menjadi kebun kemitraan.
Andi menyampaikan bahwa kebiasaan dalam mengurus surat persetujuan dan pernyataan tidak keberatan atas 20 persen Kredit Koperasi Prima Anggota (KKPA) untuk perpanjangan HGU yang seharusnya dibangun di Kabupaten Kuantan Singingi dibutuhan minimal uang Rp 2 miliar.
Setelah ada kesepatakan, PT AA melalui Sudarso, General Manager PT AA meyerahkan uang kepada Andi sebesar Rp 500 juta pada September 2021 dan Rp 200 juta pada 18 Oktober 2021.
Dalam OTT KPK pada 18 Oktober 2021, KPK mengamankan; Andi Putra, Bupati Kuansing, Hendri Kurniadi, Ajudan Bupati, Andri Meiriki Staf Bupati, Deli Iswanto Supir Bupati, Sudarso, General Manager PT Adimulya Agrolestari, Paino dan Juang, supir PT Adimulya Agrolestari.
KPK juga mengamankan uang yang diserahkan kepada Andi Putra sebesar Rp 500 juta, uang tunai dalam bentuk rupiah sebesar Rp80,9 juta dan mata uang asing sebesar SGD1.680 serta HP Iphone XR.
KEGAGALAN TIMNAS PK dan KPK
Sisi lain,”Ini kegagalan strategi Timnas PK dan KPK melakukan pencegahan korupsi, pendidikan dan budaya anti korupsi di sektor perizinan dan tata niaga dan reformasi birokrasi, termasuk juga kegagalan GNPSDA KPK yang digadang-gadang mencegah korupsi di sektor sumber daya alam,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.
Pada Juli 2018 Presiden Jokowi menerbitkan Perpres No 54 Tahun 2018 Tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi.
Perpres ini terbit hendak cegah korupsi secara optimal, dilaksanakan bersama dan bersinergi oleh Kementerian, Lembaga, Pemerintah Daerah, pemangku kepentingan lain dan KPK. Strateginya harus terfokus, terukur dan berorientasi pada hasil dan dampak.
Fokus Stranas meliputi; perizinan dan tata niaga, keuangan negara, penegakan hukum dan reforma birokrasi. Lalu, dibentuk Tim Nasional (Timnas) Pencegahan Korupsi (PK). KPK menjadi Sekretariat Nasional. Strategi dua diantaranya pencegahan dan pendidikan strategi dan budaya anti korupsi di tiga fokus itu wajib dilakukan.
“Tiga tahun lebih implementasi di Riau. Apa prestasinya? Yaitu gagal mendidik kepala daerah dan dunia usaha agar tidak korupsi. Mengapa bisa gagal? Timnas PK hanya seremonial. Datang ke Riau, rapat dengan kepala daerah. Lalu pulang ke Jakarta hanya untuk memenuhi dokumen di atas kertas.”
Terkait GNPSDA, pada 19 Maret 2015 di Istana Negara, sejumlah Kementrian dan Lembaga serta Pemerintah Daerah menandatangani Nota Kesepakatan Rencana Aksi Bersama Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA). GNPSDA merupakan program bersama yang difasilitasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengatasi sejumlah persoalan pada pengelolaan SDA sekaligus meningkatkan penerimaan negara demi kesejahteraan rakyat.
“GNPSDA awalnya bagus dan berhasil mengkoordinasikan penyelamatan SDA satu diantaranya di Riau. Namun kehilangan fokus sejak dibentuk Timnas PK. Kegagalan terbesar ada di timnas PK,” kata Made Ali.
“Korupsi perizinan perkebunan sawit ini menambah daftar panjang korupsi yang melibatkan kepala daerah di sektor sumber daya alam, dan celakanta, Riau kian sulit keluar dari zona merah korupsi,” kata Made Ali. Pada 2016 KPK menetapkan Riau zona merah korupsi bersama Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Banten, Sumsel, Lampung, DKI Jakarta, Jabar, Jatim, Jateng, Kaltim, Bengkulu dan Papua.
Selain menyuap bupati, PT AA juga tidak membayar pajak ke Negara. Berdasarkan hasil monitoring Pansus perizinan DPRD Provinsi Riau pada 2015 menemukan, PT AA mempunyai dua kebun yang berlokasi di Singingi Hilir dan Kampar Kiri dengan luas masing-masing kebun 6.485 ha dan 5.300 ha. PT Adi Mulia Agro Lestari juga miliki Pabrik Kelapa Sawit di Kampar Kiri.
PT AA terdaftar memiliki Hak Guna Usaha (HGU) yang berlokasi di Singingi Hilir hanya seluas 2.563 hektar di buktikan dengan No.16/HGU/BPN/94 yang di terbitkan pada 18/04/1994 yang akan habis pada 31/12/2024. Dibandingkan dengan IUP-B dan Izin Lokasi, luas areal perkebunan PT AA berkurang jauh dari total kebun Singingi Hilir dan Kampar sekitar 9.237 ha.
Potensi pajak yang tidak dibayarkan oleh PT AA dari pajak PPH Badan, PPN dan PBB / Tahun PT AA yang berlokasi di Singingi Hilir seluas 6.485 hektar sebesar Rp 648juta (PBB), Rp 7,2 miliar (PPh), dan PPN sebesar Rp 19,4 miliar.
Sedangkan Potensi PPH Badan, PPN dan PBB / Tahun PKS PT AA yang berlokasi di Kampar Kiri seluas 5.300 hektar sebesar Rp 529,9 juta (PBB), Rp 5,9 miliar (PPh), dan PPN sebesar Rp 15,9 miliar
Untuk itu, “KPK mesti menindaklanjuti temuan Pansus Monitoring Evaluasi Perizinan DPRD Riau karena PT AA diduga telah menyebabkan kerugian Negara sebesar Rp 35,3 miliar pertahun,” kata Made.
Narahubung:
Made Ali, Koordinator Jikalahari—0812 7531 1009
Aldo, Staf Kampanye dan Advokasi—0812 6111 6340