Pemerintah Dihimbau Serius Melakukan Perbaikan Sistem Sertifikasi ISPO

Jakarta, 20 September 2018–Hari ini Forum Koordinasi Masyarakat Sipil (FKMS) untuk penguatan ISPO kembali menyerukan Pemerintah untuk segera membenahi substansi draf Peraturan Presiden (Perpres) tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan (ISPO) serta memperbaiki proses penyusunannya menjadi lebih transparan dan partisipatif sebelum draft peraturan tersebut disahkan. FKMS menilai draft Perpres mengenai sistem sertifikasi mandatori tersebut masih belum memadai untuk memperbaiki tata kelola kelapa sawit, penyelamatan lingkungan hidup dan pemenuhan HAM serta memastikan keberterimaan pasar.

FMKS yang beranggotakan 40 lembaga masyarakat sipil yang fokus terhadap isu sawit di Indonesia ini mengapresiasi upaya Pemerintah untuk penguatan sistem sertifikasi ISPO dan terlibat langsung memberikan masukan. “Sejumlah masukan disampaikan kepada Pemerintah, untuk memastikan sistem sertifikasi yang sedang berproses ini kredibel dan dapat diterima dengan baik, di antaranya proses penyusunan draf dilakukan secara transparan dan partisipatif, standar ISPO (prinsip dan kriteria) yang kuat, proses sertifikasi dilakukan secara kredibel dan transparan, serta adanya mekanisme pengajuan dan penyelesaian keluhan yang dapat diterima para pihak” tutur Sri Palupi dari Institute for Ecosoc Right.

Okto Yugo Setiyo dari Jikalahari menambahkan, “Penghancuran hutan alam dan lahan gambut yang tak terkendali untuk dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit harus dihentikan, sehingga penting sekali memastikan prinsip perlindungan terhadap hutan alam, lahan gambut dan keragaman hayati diadopsi dalam standar ISPO.”

Marselinus Andri dari Serikat Petani Kelapa Sawit turut menambahkan, “ Penerapan sistem sertifikasi ISPO harus dibarengi dengan berbagai upaya untuk memberikan solusi atas persoalan yang dihadapi pekebun swadaya yang belum tersentuh oleh kebijakan Pemerintah. Selain itu, pemberian insentif atau jaminan manfaat juga dapat mendorong pekebun swadaya mengikuti sertifikasi ISPO.”

Selain proses pembahasan dan penyusunan yang menjadi semakin tertutup sejak akhir 2017, FKMS menilai draf Perpres terkini telah menghilangkan beberapa substansi krusial yang diperlukan untuk memastikan sistem sertifikasi sawit keberlanjutan yang kredibel.

“Pengaturan tentang pemantauan independen terhadap sistem sertifikasi ISPO telah dihilangkan, demikian juga pengaturan mengenai pengajuan dan penyelesaian keluhan para pihak atas hasil sertifikasi. Jelas ini sangat berdampak buruk bagi kredibilitas sistem sertifikasi ISPO.” Demikan dikatakan Dhio Teguh Ferdyan dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK).

“Pengamatan kami di Kalimantan Barat menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang sudah bersertifikat ISPO pun masih melakukan berbagai pelanggaran terhadap standar ISPO. Karena standar ISPO berbasis peraturan perundang-undangan, maka ketidaksesuaian seperti ini harus ditindak. Sayangnya, draf Perpres ini tidak mengatur penegakan hukum terhadap temuan ketidaksesuaian yang merupakan pelanggaran tersebut.” tambah Agus Sutomo dari Link-AR Borneo.

Dalam draf Perpres tentang sistem sertifikasi ISPO ini, Kementerian Pertanian hanya diberikan waktu 90 hari untuk menyusun standar dan berbagai peraturan pelaksana sistem sertifikasi ini, yang dinilai FKMS sangat terbatas untuk bisa menghasilkan peraturan yang berkualitas, dikhawatirkan ini akan menghambat implementasi sistem sertifikasi ISPO.

“Sebelum disahkan, Pemerintah harus segera memperbaiki substansi dari draf Peraturan Presiden tentang sistem sertifikasi ISPO serta memperbaiki proses penyusunan kebijakan ini menjadi transparan, inklusif dan akuntabel. Karena kami yakin, bahwa hanya dengan cara ini sistem sertifikasi ISPO benar-benar dapat dikuatkan dan akan menghasilkan sistem sertifikasi yang kredibel, robust, akuntabel dan diterima seluruh pemangku kepentingan di Indonesia dan juga pasar global.“ Tandas Abu Meridian dari Kaoem Telapak yang juga merupakan koordinator FKMS.

###

Narahubung :

Sri Palupi (Institute for Ecosoc Rights ), mgspalupi@gmail.com , 0813 1917 3650
Okto Yugo Setiyo (Jikalahari), otoy.yugo@gmail.com , 0853 7485 6435
Agus Sutomo (Link-AR Borneo), tomolinkarborneo@gmail.com , 0813 4541 2768
Marselinus Andri (SPKS), andry.spks@gmail.com , 0813 1460 5024
Dhio Teguh Ferdyan (JPIK), dhio.jpik@gmail.com , 0813 7413 9842
Abu Meridian (Kaoem Telapak), abu.meridian@kaoemtelapak.org , 0823 11 600 535

Forum Komunikasi Masyarakat Sipil untuk penguatan koalisi sekitar 40 kelompok masyarakat sipil dari seluruh Indonesia yang mengikuti proses penguatan sertifikasi ISPO sejak 2016.
Saat ini konsesi perkebunan kelapa sawit menguasai 12.3 juta hektar dan angka produksinya mencapai 35.3 juta ton pada tahun 2017

Hingga tahun 2018 ini, sekitar 413 perusahaan perkebunan kelapa sawit telah memiliki sertifikat ISPO dari sekitar 2.300 an perusahaan, atau sekitar 2,3 juta hektar dari 14 juta hektar kebun sawit. Hanya ada 3 koperasi pekebun swadaya yang telah mendapat sertifikat ISPO, meskipun luas kebun kelapa sawit swadaya mencapai sekitar 40% dari luas keseluruhan perkebunan sawit di Indonesia.
Indonesia kehilangan hutan seluas 684.000 hektar setiap tahunnya akibat pembalakan liar, kebakaran hutan, perambahan hutan, dan alih fungsi hutan yang salah satunya untuk perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan data Global Forest Resources Assessment (FRA), Indonesia menempati peringkat kedua dunia tertinggi kehilangan hutan setelah Brasil yang berada di urutan pertama. Padahal, Indonesia disebut sebagai megadiverse country karena memiliki salah satu hutan terluas dengan keanekaragaman hayati terkaya di dunia.

Tindakan pemerintah mengabaikan kesepakatan dalam proses multipihak penguatan ISPO juga telah terjadi sebelumnya pada bulan Januari 2017, yang telah mendorong sejumlah kelompok masyarakat sipil mengeluarkan kertas posisi mengenai industry sawit berkelanjutan Indonesia dan skema ISPO. Kertas posisi dapat diunduh melalui http://jpik.or.id/info/wp-content/uploads/2017/03/Kertas-Posisi_IND.pdf

Dalam pertemuan antara perwakilan FKMS dengan Kemenko Perekonomian pada bulan April 2018, Kemenko Perekonomian menjanjikan proses yang lebih inklusif termasuk penyelenggaraan konsultasi public nasional dan transparansi perubahan teks draf Perpres, yang pada akhirnya tidak ditepati.

Download (PDF, 529KB)

About Okto Yugo

Manajer Advokasi dan Kampanye Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *