Kompilasi laporan hasil pemantauan aktivitas korporasi Pulp dan Kertas di 11 provinsi (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara dan Papua) selama 2023 – 2025
KATA PENGANTAR
Pemanfaatan sumber daya alam (SDA), terutama hutan di Indonesia sangat masif dan berlangsung terus menerus. Bahkan ketika hutan telah dominan rusak, eksploitasi yang tidak memperhatikan kelestariannya terus berlangsung.
Hingga 2020, diketahui pemanfaatan hutan untuk perizinan hutan tanaman industri (HTI) di Indonesia telah mencapai lebih dari 11 juta hektar dan diberikan kepada lebih dari 336 izin konsesi HTI dengan sebaran areal terluas berada di Kalimantan, disusul Sumatera, Papua dan sisanya tersebar di Sulawesi serta pulau-pulau lainnya.
Diperkirakan, luasan sebaran HTI akan terus bertambah seiring dengan peningkatan ketertarikan pasar nasional hingga internasional atas kebutuhan produk turunan dari pulp dan kertas, baik untuk industri kemasan, kertas, tisu hingga viscose untuk pakaian.
Dengan meningkatnya luasan HTI di Indonesia, hal ini berbanding lurus dengan peningkatan laju pengurangan tutupan hutan alam, hingga masalah yang mengikutinya. Mulai dari bencana alam yang diakibatkan lajunya perubahan iklim akibat berkurangnya tutupan hutan seperti banjir dan tanah longsor, rusaknya lingkungan baik akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dan limbah industri, konflik dengan masyarakat adat dan tempatan yang ruang hidupnya terenggut akibat izin konsesi HTI, hingga dampak langsung terhadap makhluk hidup dengan hilangnya habitat bagi flora dan fauna yang hidup bergantung pada ekosistem hutan.
Persoalan-persoalan ini seharusnya tidak terjadi, jika korporasi HTI benar-benar menjalankan komitmen yang telah mereka gaungkan baik di tingkat nasional hingga internasional untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
Komitmen mereka untuk tidak lagi menebang hutan alam (zero deforestation), tidak mengembangkan wilayah hutan bernilai konservasi tinggi (High Concervation Value/ HCV) dan bernilai stok karbon tinggi (High Carbon Stock/ HCS), menghentikan penerimaan bahan baku kayu dari pihak ketiga yang membuka lahan di hutan dengan HCV dan HCS dan lahan gambut serta tidak akan membangun pabrik pulp dan/atau unit produksi pulp baru. Bahkan mereka dengan gamblang juga menyatakan akan menyelesaikan konflik yang terjadi dalam areal izin mereka.
Namun kenyataannya? Komitmen itu hanya baik di atas kertas namun implementasi nyatanya hanya omong kosong.
Jikalahari bersama jaringan Civil Society Organisation (CSO) di 11 provinsi—Walhi Riau, Walhi Jambi, KSPPM Prapat-Sumatera Utara, Yayasan Citra Mentawai Mandiri Sumatera Barat, Walhi Sumatera Selatan, Walhi Bangka Belitung, Walhi Kalimantan Tengah, Walhi Kalimantan Timur, Walhi Kalimantan Barat, Point Kalbar, Green of Borneo Kalimantan Utara dan Walhi Papua— menemukan perusahaan HTI di 11 provinsi ini masih melakukan berbagai kegiatan yang berdampak buruk pada lingkungan dan masyarakat.
Jikalahari dan jejaring di 11 provinsi melakukan pemantauan aktivitas korporasi sektor Hutan Tanaman Industri (HTI) yang berdampak pada deforestasi, kerusakan gambut dan konflik sosial dengan masyarakat di sekitar konsesi. Hasilnya secara garis besar ditemukan: Adanya areal korporasi yang terbakar dengan indikasi kesengajaan, adanya aktivitas penebangan hutan alam (deforestasi), adanya aktivitas pembukaan areal gambut dalam serta konflik sosial antara perusahaan HTI dengan masyarakat adat dan tempatan di sekitar konsesi yang tak kunjung diselesaikan.
Temuan-temuan ini tentunya perlu ditindaklanjuti mengingat rencana kerja Kementerian Kehutanan kaitan dengan program FOLU Net Sink 2030 serta komitmen pemerintah Indonesia untuk mengendalikan perubahan iklim dalam mencapai target NDC.
Rencana-rencana utama berkaitan dengan pengurangan deforestasi dan degradasi hutan, restorasi ekosistem, peningkatan serapan karbon, hingga meningkatkan ketahanan iklim dan keanekaragaman hayati akan mengalami kemunduran akibat adanya aktivitas yang bertentangan dengan ketentuan dan komitmen pemerintah ini.
Laporan ini pada hakikatnya merupakan bentuk partisipasi publik untuk mengawal aktivitas korporasi HTI agar memperhatikan kelestarian hutan dan lingkungan. Laporan ini juga disusun sebagai bagian dari masukan dari publik untuk mendorong perbaikan dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan SDA di Indonesia. Pelanggaran-pelanggaran yang ditemukan, hendaknya dapat menjadi perhatian bagi pemerintah untuk dapat segera ditindaklanjuti dan dicari solusi yang memperhatikan keseimbangan antara ekonomi, sosial dan kondisi lingkungan yang kondusif.
Terakhir, saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh jejaring yang terlibat dalam penyusunan laporan ini. Temuan-temuan dari lapangan dan cerita-cerita dari masyarakat terkait kondisi eksisting ketimpangan pemanfaatan hutan ini hendaknya dapat didengar dan dicarikan solusinya, agar tak ada lagi masyarakat yang terpinggirkan, hutan yang terus di rusak serta keanekaragaman hayati yang terus terjaga.
Pekanbaru, April 2025
Okto Yugo Setiyo
Koordinator Jikalahari