“Data terbaru mengungkap BRI dan BNI sebagai penyandang dana perusahaan yang membakar hutan dan lahan di Indonesia, menghambat pencapaian komitmen Indonesia untuk perubahan iklim”
Jakarta, 2 September 2020 — Sektor perbankan berperan besar dalam memicu kebakaran hutan lahan (karhutla) dan bencana asap di Indonesia, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI) dan bank raksasa Jepang Mizuho Financial Group serta Mitsubishi UFJ Financial Group telah mendanai industri yang “berisiko terhadap hutan” sejak penandatanganan Perjanjian Iklim Paris. Menurut data yang dirilis forestandfinance.org[1] bank-bank tersebut mendukung perusahaan yang gagal mengakhiri krisis karhutla di perkebunan kelapa sawit dan pulp di Indonesia. Hal ini tampak sangat nyata dalam pembiayaan Sinar Mas Grup (SMG)[2] yang menjadi penerima manfaat terbesar dari pembiayaan bank di mana SMG menerima pinjaman senilai 19 milyar Dolar AS dalam lima tahun terakhir (2015-2020), dengan rincian 14.3 milyar Dolar AS untuk operasi pulp dan kertas, dan 4,5 milyar Dolar AS untuk operasi sawitnya.
“BRI dan BNI yang tidak memiliki kebijakan publik untuk melarang pembukaan lahan gambut atau penggunaan api oleh klien mereka menjadi pemodal SMG, bank besar Jepang seperti Mizuho Financial Group dan Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG) juga menjadi pemodal yang signifikan selama beberapa tahun terakhir, meskipun mereka telah mengadopsi kebijakan lingkungan dan sosial untuk pembiayaan sejak 2018,” ungkap Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK (Transformasi untuk Keadilan) INDONESIA.
Alih-alih memulihkan lahan gambut yang berisiko kebakaran, anak perusahaan dan mitra pemasok APP terus menebangi dan mengeringkan area baru lahan gambut, dengan total luas 3.500 hektar sejak 2018, termasuk kawasan dalam zona perlindungan dan restorasi prioritas yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia, investigasi Jikalahari melaporkan tindak pidana PT. Arara Abadi (AA) anak perusahaan APP yang melakukan pembukaan lahan disertai dengan pembakaran yang disengaja pada Juli 2020 kepada kepolisian. Jikalahari menemukan lahan gambut yang masih membara disiapkan untuk penanaman melalui rekaman pesawat tanpa awak yang diambil pada 3 Juli 2020, seminggu setelah kebakaran terjadi di dalam area konsesi, padahal citra satelit memastikan bahwa daerah tersebut masih berupa hutan pada bulan Januari 2020, data titik api menunjukkan kebakaran terjadi pada 28 Juni 2020.
“Pembakaran yang disengaja di areal PT. AA tidak hanya melanggar peraturan di Indonesia tetapi juga melanggar komitmen dan kebijakan publik APP. PT. AA berulang kali melanggar dengan membiarkan kebakaran di konsesinya terjadi setiap tahun sejak 2015, diperkirakan total areal yang terbakar lebih dari 12.000 ha,” ungkap Koordinator Jikalahari, Made Ali.
Selain kebakaran, anak perusahaan dan mitra pemasok APP memiliki rekam jejak panjang terkait konflik dengan masyarakat dan pelanggaran hak atas tanah, dengan lebih dari 100 konflik aktif[1] dengan masyarakat. PT AA, perusahaan yang diduga sengaja membakar perkebunannya, memiliki sejarah pelanggaran hak masyarakat adat dan melakukan kriminalisasi[2] terhadap anggota masyarakat yang terlibat dalam konflik.
“Keterbukaan dalam pendanaan merupakan salah satu hal penting untuk diketahui publik agar publik yang menyimpan uang di Lembaga Jasa Keuangan (LJK) mengetahui kemana uang mereka diinvestasikan dan dipinjamkan. Apakah uang mereka diinvestasikan ke pelaku bisnis yang menerapkan prinsip berkelanjutan atau malah sebaliknya, diinvestasikan kepada pelaku-pelaku yang melakukan pengrusakan hutan dan melakukan penyerobotan lahan warga sehingga mengakibatkan konflik”, pungkas Rudiansyah, Direktur Eksekutif WALHI Jambi.
***
Narahubung:
Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA (edisutrisno@tuk.or.id/ 087711246094)
Made Ali, Koordinator JIKALAHARI Riau (madeali.26@gmail.com/ 081275311009)
Rudiansyah, Direktur Eksekutif WALHI Jambi (rudi.jambi@gmail.com/ 081366699091)
Catatan redaksi:
[1] Forestandfinance.org merupakan situs yang menyoroti peranan keuangan dalam menyokong terjadinya deforestasi di kawasan tropis. Data dalam situs ini terbuka untuk diakses oleh publik, merupakan hasil dari penelitian dan investigasi berskala luas yang dilakukan oleh koalisi organisasi kampanye dan penelitian, termasuk di antaranya Rainforest Action Network, TuK INDONESIA and Profundo. Dengan dukungan dari para mitranya, organisasi-organisasi ini menyasar pada perbaikan kebijakan dan sistem sektor keuangan yang mencegah lembaga keuangan agar tidak memberi dukungan kepada pelanggaran lingkungan dan sosial yang terlampau lazim dilakukan dalam operasi-operasi yang dijalankan klien mereka di sektor kehutanan yang berisiko.
[2] Sinar Mas Grup (SMG) merupakan produsen pulp, kertas dan minyak sawit terbesar di Indonesia membawahi dua unit bisnis Asia Pulp and Paper (APP) dan Golden Agri Resources (GAR), kedua perusahaan ini telah menerbitkan kebijakan keberlanjutan Nol Deforestasi, Nol Pembangunan di Lahan Gambut, dan Nol Eksploitasi (No Deforestation, No Peatland and No Exploitation/NDPE) lebih dari lima tahun lalu, namun operasi bisnis grup ini masih terkait dengan risiko lingkungan, sosial, dan tata kelola yang mengakar dalam operasinya. Sinar Mas Group (SMG) dikendalikan oleh keluarga almarhum taipan Eka Widjaja, bisnis pulp dan kertasnya yang dikenal sebagai Asia Pulp and Paper (APP) dan bisnis minyak sawitnya terdaftar di Singapura sebagai Golden Agri Resources (GAR).
[1]New Study Reveals APP Involved in hundreds of Conflicts with Local Communities as Haze Crisis in Indonesia Intensifies, Environmentalpaper.org, 2019
[2]Mau Tanam Ubi di Lahan Sengketa dengan Perusahaan Orang Sakai Terjerat Hukum Merusak Hutan, Mongabay.co.id, 2020