Pada November 2016, Jikalahari melaporkan 49 korporasi diduga pelaku pembakaran hutan dan lahan pada 2014 – 2016 didasarkan hasil temuan investigasi Jikalahari ke Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Restorasi Gambut, Kantor Staf Presiden serta Polda Riau. Laporan ini disampaikan kepada pihak terkait agar segera ditindaklanjuti karena diduga, pembakaran ini sengaja dilakukan untuk keuntungan perusahaan diantaranya membersihkan lahan (land clearing) untuk penanaman baru ataupun mengganti tanaman yang tak lagi produktif. Pembakaran ini juga terjadi di lahan gambut yang seharusnya dilindungi oleh perusahaan. [1] [2] [3] [4] [5]
Empat bulan berlalu sejak laporan diberikan kepada pihak berwenang, namun belum ada tindak lanjutnya. Jikalahari terus memantau potensi kembali terjadinya karhutla di areal perusahaan tersebut dengan melihat potensi hotspot yang muncul. Sejak awal Januari hingga akhir April 2017, Jikalahari mengumpulkan data pantauan satelit Terra-Aqua Modis di areal 49 korporasi yang terdiri dari 30 HTI dan 19 sawit ini. Ditemukan ada 67 titik panas yang muncul di areal 21 korporasi dan dengan confidence > 70% yang mengindikasikan titik panas berpotensi menjadi titik api sebanyak 13 hotspot.