JAKARTA, 28 Juni 2016— Jikalahari menilai tindakan Asia Pulp and Paper (APP) Grup tidak mau memberikan data atau hanya sebagian data peta lahan gambut kepada Badan Restorasi Gambut (BRG) sama saja melawan perintah presiden Joko Widodo. Sebab BRG dibentuk berdasarkan Perpres No. 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut.
Pada 8 Juni 2016, Nazier Foead Kepala BRG mengatakan APP Grup belum memberikan peta gambut yang berada di dalam konsesinya. APP mengatakan data tersebut sudah diserahkan pada KLHK, dan agar BRG meminta data tersebut pada KLHK. Lantas, pada 13 Juni 2016, APP baru menyerahkan data kepada BRG. “Hasil penelusuran Jikalahari, ternyata tidak semua data lahan gambut yang diserahkan APP,” kata Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari.
“APP juga melanggar komitmennya sendiri yang mengatakan akan mendukung strategi dan target Pemerintah Indonesia ntuk pengembangan rendah emisi dan penurunan gas rumah kaca, yang tertuang dalam Forest Conservation Policy (FCP) APP,” kata Woro Supartinah.
“Kami tidak terkejut dengan tindakan APP yang tidak patuh kepada pemerintah, karena sejak APP beroperasi di Riau, APP terlibat korupsi, pelanggaran HAM dan perusakan hutan alam dan merampok ruang kelola rakyat,”kata Woro Supartinah.
Terhitung sejak 1 Februari 2013, APP kebijakan pengelolaan yang ramah lingkungan berupa kebijakan Forest Concervation Policy (FCP) itu diluncurkan. Di dalam kebijakan tersebut, APP juga mengumumkan 38 perusahaan se-Indonesia, 17 perusahaan di Riau, afiliasinya yang menjadi pemasok serat kayu APP.
Intinya, selain akan mendukung Pemerintah, APP juga berjanji untuk tidak menebang hutan alam, melindungi gambut, membangun FPIC dan menyelesaikan konflik dengan masyarakat serta memastikan setiap pemasoknya untuk mengembangkan pengelolaan yang berkelanjutan.
Jika APP dan seluruh pemasoknya benar-benar melaksanakan komitmennya, seharusnya persoalan konflik dengan masyarakat, penebangan hutan alam, kebakaran hutan dan lahan dan pelanggaran lain yang seharusnya tidak perlu terjadi lagi apalagi sampai melawan Presiden.
Sejak diluncurkan hingga kini, Jikalahari menemukan banyak pelanggaran melalui monitoring dan investigasi terhadap implementasi FCP APP di lapangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa FCP APP belum bisa dijadikan indikator berubahnya pengelolaan hutan oleh APP dan afiliasinya.
Beberapa hasil dan temuan menunjukkan bahwa pola-pola lama (Business as Usual) masih berlangsung. Laporan ini akan terfokus pada pelanggaran terhadap komitmen dalam hal: penebangan hutan alam, kebakaran hutan dan lahan serta konflik sosial, dan perlindungan gambut.
“Jikalahari mendesak Badan Restorasi Gambut agar mengusulkan kepada KLHK untuk memberi sanksi kepada APP karena lamban memberi data peta lahan gambut,” kata Woro Supartinah.
Selain itu, berdasarkan temuan dan analisis diatas, Jikalahari mendesak APP/dan rantai pasokannya untuk:
Mematuhi regulasi dan aturan yang berlaku di Indonesia tanpa terkecuali.
- Menghentikan pasokan sumber bahan baku dari penebangan hutan alam.
- Membuka dan memberikan informasi kepada Publik terkait peta lahan gambut di konsesi APP/pemasoknya, areal bekas terbakar, dan potensi area terbakar sepanjang tahun 2013-2019, serta kanal yang dibangun di atas lahan gambut di dalam areal konsesi APP Grup.
- Melindungi gambut, merestorasi lahan bekas terbakar dan tidak menanaminya dengan tanaman pokok sesuai dengan Instruksi Menteri LHK.
- Menyelesaikan konflik dan mengembalikan tanah masyarakat serta hak-hak masyarakat adat dan masyarakat tempatan.
- Memutus kerjasama dengan pemasok serat kayu APP yang terbukti melanggar komitmen FCP APP.
Narahubung:
Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari, 0811 7574 055
Okto Yugo, Staf Kampanye dan Advokasi Jikalahari, 0853 7485 6435