Wujud Keadilan Ekologis Bagi Korban Polusi Asap dan Rusaknya Hutan: Cabut Izin Korporasi HTI dan Sawit di Lahan Gambut dan Buka Kembali SP3 Illegal Logging 14 Korporasi HTI di Riau

Pekanbaru, 22 Desember 2017 Jikalahari mendesak Presiden Jokowi mewujudkan aksi koreksi secara menyeluruh dengan cara melakukan penegakan hukum atas kejahatan korporasi merusak  hutan, tanah dan gambut dan mengembalikan hak hutan tanah gambut milik masyarakat hukum adat.

Putusan Hakim PTUN Jakarta kemarin menolak permohonan PT RAPP; atas keberatan perusahaan HTI tersebut mematuhi regulasi perlindungan gambut termasuk memulihkan areal gambut eks terbakar; adalah langkah kecil aksi koreksi yang dilakukan penegak hukum.  PT RAPP sebelumnya telah mendapatkan peringatan agar melakukan perbaikan Rencana Kerja Usaha (RKU) yang disesuaikan dengan regulasi perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut merujuk PP 71/2014 jo PP 57/2016. Namun tak kunjung diperbaiki, Menteri LHK terbitkan SK No 5322 tentang Pembatalan RKU periode 2010 – 2019. SK inilah yang digugat PT RAPP di PTUN .

“Kami mengapresiasi putusan Majelis Hakim karena putusan ini adalah wujud kedilan untuk masyarakat Riau sejak 18 tahun terakhir menghirup polusi asap pembakaran hutan dan lahan,” kata Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari, “ Namun tak cukup sampai di situ. Bukan hanya PT RAPP, masih banyak perusahaan HTI dan sawit yang melakukan perusakan lingkungan hidup dan kehutanan. Presiden Jokowi mesti memimpin langsung aksi koreksi penegakan hukum atas korporasi tersebut.”

Jikalahari mendorong agar Presiden Jokowi memerintahkan Polda Riau dan KLHK segera menetapkan 49 korporasi yg membakar hutan dan lahan gambut di Riau pada 2015 sebagai tersangka. Tak hanya itu, Jikalahari juga mendorong agar SP3 terhadap 14 korporasi HTI (APRIL dan APP Group) pelaku illegal logging di Riau dibuka kembali.

Tepat sembilan tahun lalu, persis di Hari Ibu, 22 Desember 2008, Kapolda Riau Brigjen Hadiatmoko menghentikan penyidikan perkara illegal logging 14 korporasi HTI (APRIL dan APP grup)  karena tidak cukup bukti. Padahal bukti-bukti menunjukkan 14 korporasi HTI itu menebang hutan alam lalu menanam akasia di bekas hutan alam tersebut. Aturan kehutanan menyebutkan HTI tidak boleh di atas hutan alam.

“Ini adalah dosa besar rezim Presiden SBY, yang tak berani membuka penghentian perkara itu. Padahal akibat aksi pembalakan liar yang dilakukan oleh 14 perusahaan penyuplai kayu untuk dua perusahaan pembuat kertas besar tersebut, mengakibatkan negara rugi mencapai Rp 2 ribu triliun. Angka yang hampir sama dengan APBN,” kata Woro “SP3 itu terbit karena surat sakti dari Menteri MS Kaban yang menyatakan 14 korporasi punya izin legal. Anda bayangkan surat Menteri bisa mengalahkan kewibawaan rezim SBY.”

Lalu, perkara ini ditangani oleh KPK hingga naik ke Pengadilan. Di Pengadilan, Hakim memutus perkara 20 korporasi—sebagian 14 korporasi tersangka illog juga terlibat dalam kasus korupsi ini— terlibat korupsi bersama sama dua Bupati, tiga Kepala Dinas Kehutanan dan Gubernur Riau karena merugikan keuangan negara lebih dari Rp 3 Triliun. “Berdasarkan kesaksian di persidangan, keuntungan yang diterima korporasi APRIL senilai Rp 939 miliar dari penebangan hutan alam dan take over perusahaan boneka yang didirikan terpidana Azmun Jaafar,”kata Woro.

Selain putusan hakim Tipikor, waktu itu Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (satgas PMH) pimpinan Kuntoro Mangkusubroto merekomendasikan pada Kapolri untuk buka SP3, Kejagung untuk menggugat perdata dan kepada KLHK untuk gugat perdata.  Sepanjang sembilan tahun itu, selain KPK, baru KLHK yang menindaklanjuti rekomendasi Satgas PMH yaitu menggugat perdata PT Merbau Pelalawan Lestari dan PT Madukoro.

Pada 2014, perkara PT Merbau Pelalawan Lestari naik sidang di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Namun Majelis Hakim memutuskan menolak gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ajukan kasasi, pada 2016, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan No. 460.K/Pdt/2016 yang mengabulkan gugatan perdata KLHK terhadap PT MPL dan mempertegas kasus Illegal Logging tersebut bisa dilanjutkan kembali secara pidana.

Majelis hakim Takdir Rahmadi, Nurul Elmiyah dan I Gusti Agung Sumanatha menyatakan perbuatan PT MPL melakukan pembalakan liar melanggar ketentuan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Putusan yang diterbitkan dalam direktori putusan MA 17 November lalu, memerintahkan tergugat PT MPL membayar ganti kerugian lingkungan hidup kepada negara melalui Kementerian LHK secara langsung dan seketika sebesar Rp 16,2 T.

“Nah, ini kesempatan Jokowi, bila SP3 14 korporasi didiamkan saja, sama saja Jokowi mengaminkan pembiaran yang dilakukan SBY,”  kata Woro

Narahubung

Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari, 0813 1756 6965

 Okto Yugo Setiyo, Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari, 0853 7485 6435

About Nurul Fitria

Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *