Catatan 100 Hari Gubernur Riau: Memenuhi Komitmen Tapi Perlu Koreksi Menyeluruh

Catatan 100 Hari Gubernur Riau:
Memenuhi Komitmen Tapi Perlu Koreksi Menyeluruh   

Meski Syamsuar-Edy Natar berhasil memenuhi Program 100 hari program kerja, Jikalahari menemukan mereka masih belum siap menghadapi situasi konflik dan koreksi mendasar atas kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup.

  1. Pengantar

Rumah Dinas Gubernur Riau (Gubri), 1 Mei 2019.

Syamsuar mengundang masyarakat sipil untuk memberi masukan konsep Riau Hijau. Dalam pertemuan itu, Ketua MKA LAM Riau Al Azhar juga hadir, termasuk dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Bappeda Provinsi Riau

Gubernur Syamsuar menegaskan Riau Hijau bukan sekadar penanaman pohon saja.  “Lebih jauh dan luas dari sekedar penanaman pohon dimana konsep ini berbicara program pembangunan daerah terkait tata kelola lingkungan dan hutan secara berkelanjutan dan terintegrasi dengan semua pihak serta memberikan dampak atau nilai ekonomi terhadap masyarakat ketika SDA itu dimanfaatkan,” kata Syamsuar.

Gubernur Syamsuar menjelaskan persoalan tata kelola berkelanjutan terhadap lingkungan termasuk di dalamnya tata kelola lahan gambut,  dewasa ini terutama di tingkat dunia atau internasional jika ada satu negara tidak memperhatikan masalah kelestarian lingkungannya, dampaknya sangat besar terhadap perekonomian bangsa.

“Sebab, bisa-bisa hasil atau produk dari bangsa tersebut akan dikomplain di dalam perdagangan dunia,” kata Syamsuar, “salah satu tujuan utama dari penyusunan program Riau Hijau mengantisipasi jangan sampai bangsa kita di mata internasional mendapatkan masalah karena dinilai program pemerintahnya tidak ada perhatian terhadap kelestarian lingkungan dan nilai-nilai ekonologis yang dimiliki oleh lingkungan tersebut (hutan dan gambut).”

Kantor Bappeda Riau, 29 Mei 2019.

Gubri Syamsuar memimpin langsung pembahasan masukan konsep Riau Hijau untuk diintegrasikan ke dalam RPJMD perubahan. Didampingi ketua MKA LAM Riau Al Azhar, Gubri Syamsuar lebih dari sejam membacakan langsung satu persatu masukan perubahan isi RPJMD. Disamping itu, Gubri Syamsuar juga menyampaikan perihal peta indikatif perhutanan sosial yang baru ditetapkan oleh Menteri LHK. Syamsuar menelpon langsung Sekda Provinsi Riau, Ahmad Hijazi untuk ikut hadir di rapat dan menjelaskan perihal peta indikatif hutan adat tersebut. Lalu, Syamsuar membuka dialog dengan peserta yang hadir dominan dihadiri lintas dinas dan masyarakat sipil.

Masukan publik dia dengar, dia catat, lalu berjanji untuk menindaklanjuti. Satu diantaranya, Jikalahari mengingatkan Gubernur segera menerbitkan tiga Pergub sebagaimana perintah Perda No 14 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Perda ini terbit pada 22 Mei 2018, dan setahun lebih draft Pergub belum juga disediakan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau.

Syamsuar juga aktif di media sosial. Di laman Facebook Drs. H. Syamsuar, MSi, kerap menginformasikan kinerjanya. “Rapat perdana dengan unsur pimpinan dan dinas di lingkungan Pemprov Riau, guna menyamakan Visi-Misi membangun Riau lebih baik. Karena di depan adalah tantangan, dan rakyat menunggu kerja nyata bukan sekadar janji semata,” tulis Syamsuar pada 25 Februari 2019.

Informasi teranyar, dia bagikan pada 24 Juni 2019, saat Gubernur Riau diundang hadir dalam pertemuan ke-12 Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) di sela pelaksanaan KTT Asean ke-34 di Thailand.

***

Sehari jelang dilantik sebagai Gubernur-Wakil Gubernur Riau periode 2019-2024 oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jikalahari mengusulkan kepada Syamsuar-Edy Natar 100 hari kerja berupa Tujuh Agenda Prioritas sektor Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pertama mereview (1) Perda No 10 Tahun 2018 tentang RTRWP Riau 2018-2038. Jikalahari menilai perda RTRW Riau perlu segera dibenahi Gubernur Syamsuar, sebab RTRWP Riau mengabaikan validasi KLHS dari KLHK. Selain itu penguasaan pengelolaan lahan juga sangat timpang antara korporasi bidang kehutanan dan perkebuanan dibanding ruang kelola masyarakat dan konservasi. Pola ruang budidaya pada Perda RTRW Riau mencapai 90%, sedangkan pola ruang lindung hanya 10 % dari total luas Provinsi Riau. Termasuk mereview Peraturan Gubernur (Pergub) No 5 Tahun 2015 Tentang Rencana Aksi Pencegahan Karhutla.

Kedua, membentuk Tim Perbaikan Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang bertugas menyelesaikan dan memperbaiki krisis lingkungan hidup dan kehutanan yang berdampak pada banjir dan karhutla yang merugikan kehidupan masyarakat Riau.

Ketiga, merumuskan konsep Riau Hijau dengan melibatkan partisipasi masyarakat luas. Salah satu Visi Misi Syamsuar menjadikan Riau Hijau. Konsep Riau Hijau replikasi dari Siak Kabupaten Hijau yang dicetuskan oleh Syamsuar sewaktu menjadi Bupati Siak.

Keempat, mempercepat capaian Reforma Agraria berupa Perhutanan Sosial (PS) dan TORA. Gubernur sebelumnya tidak serius mendukung Reforma Agraria. Hal tersebut karena minimnya capaian perluasan izin PS dan TORA. Hingga 2018 capaian PS baru terealisasi 88.009 ha dari 1,42 juta ha di Riau. Tanah Objek Reforma Agraria (Tora) dialokasikan 445.521 ha, namun belum ada yang terealisasi

Kelima, mengembalikan wilayah adat masyarakat hukum adat Riau yang selama ini hutan tanahnya masuk dalam areal konsesi. Gubernur Riau segera menjalankan instrumen yang ada berupa Perda No 10 tahun 2015 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya serta Perda No 14 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.   

Keenam, menindaklanjuti rekomendasi Pansus Monitoring dan Evaluasi Perizinan Perkebunan, Kehutanan Pertambangan  DPRD Riau 2015. Sejak 2015 DPRD Provinsi Riau telah mengirimkan laporan kerja berisi rekomendasi yang harus ditindak lanjuti Pemprov Riau.

Ketujuh, segera mengganti Ketua dan struktur Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD). Karena selama ini restorasi gambut bekas terbakar lamban ditangani oleh TRGD. Juga perlu memperkuat kolaborasi TRGD dengan Badan Restorasi Gambut (BRG). Struktur TRGD seyogyanya diisi oleh para pakar dan praktisi serta masyarakat luas yang berjuang mempertahankan hutan dan gambut.

Tujuh agenda prioritas, merupakan hasil evaluasi Jikalahari terhadap kinerja Gubernur Riau periode 2014-2019 yang tidak berpihak pada lingkungan hidup dan kehutanan, tidak transparan dan melibatkan publik dalam perencanaan, pembahasaan maupun realiasi perbaikan tata kelola lingkungan hidup bahkan terlibat kasus korupsi. Akibatnya enam warga meninggal terkena polusi karhutla, 97.139 warga terkena ISPA, 10 warga meninggal terkena banjir termasuk pemukiman warga yang rusak dan hancur. Meski ada kebijakan bagus dari Gubernur Riau, itu hanya di atas kertas. Di lapangan banjir dan karhutla terus menghantam warga.

Esoknya, pada 20 Februari 2019 Syamsuar dan Edy Natar Nasution resmi dilantik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Riau setelah menang dalam Pemilihan Kepala Daerah. Keduanya berhasil mengalahkan Lukman Edy – Hardianto, Firdaus – Rusli dan Arsyadjuliandi Rahman – Suyatno dengan total 799.289 dari 2.146.132 suara versi KPU Provinsi Riau.

Hari itu juga, Gubernur Syamsuar menerbitkan 10 program kerja dalam 100 hari kerja.

Gambar 1. 10 Program Kerja 100 Hari Syamsuar – Edy Natar

Dari 10 program kerja 100 hari, 4 diantaranya terkait dengan lingkungan hidup dan kehutanan, yaitu sosialisasi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, merumuskan konsep Riau Hijau dengan melibatkan partisipasi masyarakat, meningkatkan pencapaian reforma agraria berupa perhutanan sosial dan TORA serta meningkatkan koordinasi kabupaten/kota dengan kantor pajak guna meningkatkan penerimaan pajak penghasilan dan PBB perkebunan.

Duet Syamsuar-Edy Natar membuat 100 hari program kerja, merupakan terobosan pertama yang dilakukan Gubernur Riau ke-13 tersebut sejak Provinsi Riau berdiri pada 9 Agustus 1957 dan dipimpin Gubernur pertama, Mohammad Amin.

Bagaimana perkembangan implementasi 100 hari program kerja Syamsuar-Edy Natar dan respon atas peristiwa yang terjadi sepanjang 100 hari program kerja?

 

Realisasi Program Kerja 100 Hari

Gubernur Syamsuar memimpin langsung realisasi 10 program kerja, empat diantaranya terkait lingkungan hidup dan kehutanan.

  1. Sosialisasi Pencegahan Karhutla

Sebelum Syamsuar – Edy dilantik, pada 19 Februari Gubernur Riau, Wan Thamrin Hasyim menetapkan status siaga darurat karhutla hingga 31 Oktober 2019. Sebab sejak Januari karhutla terus terjadi di Riau. Menyikapi hal ini, pada 25 Februari 2019, Syamsuar langsung menerbitkan Surat Edaran Gubernur Nomor 360/BPBD/285 tentang Antisipasi dan Kewaspadaan Dini Potensi Karhutla. Gubri menginstruksikan BPBD untuk mensosialisasikan kepada masyarakat, dengan menyebarkan pamflet larangan membuka lahan dengan cara membakar, serta bersama Bupati/Walikota, Instansi terkait dan stakeholder melakukan pertemuan dalam rangka sosialisasi pencegahan karhutla.

Gubri juga membentuk Satgas Pos Komando Penanganan Darurat Bencana Karhutla Provinsi Riau dengan SK Nomor: 625/II/2019 Tanggal 26 Februari 2019, yang menunjuk Gubri sebagai Komandan Satgas serta menginstruksikan kepada walikota dan bupati untuk mengaktifkan Posko Satgas Penanggulangan Karhutla.

Namun, upaya yang dilakukan untuk pencegahan karhutla belum optimal. Sejak Februari hingga Mei 2019 jumlah titik api di Riau cenderung meningkat. Menurut pantauan satelit Terra-Aqua Modis, sepanjang Januari – 26 Juni 2019 jumlah hotspot di Riau mencapai 2.509 titik dan 1.052 titik diantaranya berpotensi menjadi titik api.

Pencegahan karhutla belum efektif dilakukan oleh pemerintah daerah, sehingga karhutla masih terus terjadi. Hingga Mei 2019 Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Riau mencatat luas lahan terbakar di Riau sudah mencapai 2.932 hektare[1] dan terjadi di seluruh kabupaten/kota di Riau. Wilayah karhutla terluas terjadi di Bengkalis, Rohil, Siak, Kepulauan Meranti dan Dumai.

Temuan Jikalahari di lapangan menunjukkan kebakaran juga banyak terjadi di areal korporasi yaitu: PT Sumatera Riang Lestari di Rupat, PT Satria Perkasa Agung di Rokan Hilir, PT Rimba Rokan Lestari di Bengkalis dan  PT Surya Dumai Agro di Dumai.

Upaya yang dilakukan masih berupa pemadaman dengan menumpahkan 7 juta liter air menggunakan helikopter untuk water bombing. Syamsuar – Edy lupa, penyelesaian persoalan karhutla bukan hanya soal pemadaman, namun juga perbaikan sektor hulu berupa review perizinan serta regulasi sehingga terwujud perbaikan tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan yang baik sehingga karhutla dapat dicegah dengan maksimal.

  1. Konsep Riau Hijau

Keberhasilan Syamsuar menerapkan konsep Siak Kabupaten Hijau, mendorong Syamsuar – Edy untuk menjadikan Riau sebagai provinsi hijau. Dalam 100 hari kerja, keduanya akan menyusun konsep Riau Hijau dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Poin ini diklaim Syamsuar telah dilaksanakan dengan melakukan pertemuan bersama NGO dan dinas terkait. Tindaklanjutnya Program Riau Hijau telah dimasukkan ke dalam RPJMD Provinsi Riau 2019-2024.

Terkait konsep Riau Hijau, Jikalahari mengapresiasi keaktifan Syamsuar untuk terlibat langsung dalam proses pembahasan dan penyusunan. Gubernur  mengundang dan memimpin langsung pertemuan antara dinas terkait dengan masyarakat sipil untuk membahas konsep Riau Hijau pada 1 Mei 2019 di kediaman Gubernur. Syamsuar juga memimpin langsung rapat saat diskusi Riau Hijau dalam RPJMD di Kantor Bapedda Riau 29 Mei lalu. Ia menekankan konsep dari Riau Hijau bukanlah soal menanam pohon saja, melainkan hal substansi perbaikan tata kelola lingkungan hidup di Riau. Ini menjadi bentuk pembuktian komitmen Syamsuar untuk mewujudkan perbaikan tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan.

Namun, dalam pertemuan-pertemuan tersebut, Gubernur Riau belum menghadirkan konsep yang terukur tentang Riau Hijau dan tampak belum didukung oleh SKPD terkait. Sehingga dalam 100 hari kerjanya, Syamsuar – Edy masih dalam tahapan memastikan terakomodirnya masukan masyarakat sipil tentang Riau Hijau dalam RPJMD Riau.

  1. Percepatan Reforma Agraria (PS & TORA)

Tanah Objek Reforma Agraria (TORA)

Persoalan reforma agraria dan konflik lahan terus menjadi perhatian pemerintah pusat. Pada 3 Mei 2019, Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas di Kantor Presiden membahas upaya percepatan penyelesaian masalah-masalah yang berkaitan dengan pertanahan. Jokowi menyinggung persoalan sengketa lahan antara masyarakat adat di Kabupaten Kampar dengan PTPN di Provinsi Riau. “Saya minta ini segera diselesaikan secepatnya agar rakyat memiliki kepastian hukum dan ada rasa keadilan,” kata Jokowi.

Terkait areal konsesi yang di dalamnya terdapat desa atau pemukiman masyarakat yang sudah lama, Jokowi memerintahkan agar konsesi melepaskan areal tersebut dan memberikannya kepada masyarakat. “Keadilan dan kepastian hukum harus dinomorsatukan. Sudah jelas di situ masyarakat hidup sejak lama malah kalah dengan konsesi yang baru saja diberikan izin,” tuturnya.

Pasca rapat terbatas dengan Presiden Jokowi, Gubernur Riau Syamsuar dalam keterangan resminya memastikan lahan perkebunan sawit PTPN V seluas 2.800 ha diserahkan kepada masyarakat Desa Senama Nenek Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar.

Untuk itu pemerintah daerah didorong untuk segera menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut dengan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, salah satunya dengan TORA.

Di Riau, upaya percepatan reforma agrarian melalui TORA sudah dijalankan Syamsuar. Pada 25 Maret 2019 Syamsuar terbitkan Keputusan Gubri Nomor Kpts.659/III/2019 tentang Pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Provinsi Riau Tahun 2019. GTRA memiliki tugas mengkoordinasikan penyediaan TORA, memfasilitasi pelaksanaan, memperkuat kapasitas serta mengkoordinasikan integrase pelaksanaan untuk penataan asset serta akses ditingkat Provinsi Riau.

Pada 25 Mei 2019 Syamsuar juga menyerahkan sertifikat TORA kepada warga Desa Tanjung, Kecamatan Koto Kampar Hulu. Rencananya sertifikat yang akan dibagikan berjumlah 2.500 dan dibagikan secara bertahap. Pada tahap awal ini ada 336 sertifikat yang dibagikan.

Dalam pelaksanaan kegiatan TORA dari Kegiatan Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan (PTKH) di Provinsi Riau, Syamsuar merujuk pada keputusan Menteri LHK yang telah menerbitkan Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan Untuk Penyediaan Sumber Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA), berdasarkan Keputusan Nomor 180/MENLHK/SETJEN/KUM. Keputusan Nomor SK.3154/MENLHK-PKTL/KUH/PLA. Keputusan Nomor SK.8716/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.

Perhutanan Sosial

Pada 13 Mei 2019, Wagubri Edy Natar mengundang CSO dan instansi terkait membahas Capaian Perhutanan Sosial di Riau dan peran Pokja PPS Riau ke Depan. Ini merupakan rapat pertama setelah SK ini terbit. Hasilnya, Pertama, realisai luas izin yang telah diterbitkan masih kecil 13,6 % dari PIAPS revisi III, hal ini mencerminkan akselerasi kinerja sangat lambat. Kedua, adanya keluhan terkait pasal 46 Perda 10 tahun 2018 tentang RTRWP Riau yang meminta rekomendasi Gubernur dan Pembahasan dengan DPRD. Ketiga, belum ada sasaran dan prioritas target yang disusun bersama-sama oleh POKJA PPS Riau sehingga ada beberapa usulan dari CSO dan NGO anggota POKJA PPS belum ditindak lanjuti.

Keempat, perlu adanya komunikasi dan keterbukaan informasi sesame anggota POKJA PPS Provinsi Riau, baik antar OPD di lingkungan Pemprov Riau, LAM Riau, NGO, UPT KLHK RI dan stakeholder yang berada didalamnya untuk menyukseskan perhutanan sosial agar tepat sasaran, berhasil dan berdaya guna.

“Perlu reformasi struktur organisasi POKJA PPS Riau karena organisasinya dianggap terlalu gemuk dan tidak jelasnya job description dari masing-masing bagian/ divisi sehingga POKJA PPS menjadi tidak efektif dan efisien,” arahan Wakil Gubernur Riau terkait POKJA PPS.

Pokja PS yang dibentuk oleh Gubernur Andi Rachman yang diketuai Kepala Dinas LHK selama ini tidak berjalan. Pada 14 Februari 2018 Andi menerbitkan Surat Keputusan Gubernur Riau Nomor: Kpts.184/II/2018 tentang Pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Percepatan Perhutanan Sosial (PPS) Provinsi Riau. Pokja ini memiliki tugas untuk mempercepat pelaksanaan PS Dengan melakukan perencanaan, sosialisasi, implementasi, monitoring dan evaluasi.

Pokja PS memiliki anggota lintas dinas dan melibatkan organisasi masyarakat sipil dan akademisi. Dalam pelaksanaan PPS, pokja dibagi menjadi 4 divisi: Divisi Percepatan Pemberian Akses PS, Divisi Peningkatan Kapasitas dan Pengembangan Usaha Perhutanan, Divisi Komunikasi dan Advokasi PS serta Divisi Penyelesaian Konflik. Total ada 69 anggota dalam Pokja PPS.

Syamsuar menyatakan telah mengefektifkan dan mengefisienkan Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja PS) Provinsi Riau melalui perbaikan dan penyempurnaan struktur Pokja PPS Riau. Untuk progres penerbitan izin Perhutanan Sosial (Usulan PS), Syamsuar katakan telah membahas hal ini bersama DPRD dan akan menyetujui usulan PS seluas 6.118 Ha, di Kepulauan Meranti dan Kuantan Singingi. Saat ini Pemprov Riau sedang menunggu jadwal pembahasan DPRD untuk usulan di Kampar seluas 12.700 ha.

Syamsuar targetkan untuk skema PS dapat menerbitkan 840 izin sepanjang 2020 – 2024. Target pertahunnya 120, 160, 160, 200 dan 200 izin baik itu hutan hak, hutan desa, hutan adat/hak, ataupun kemitraan.

Namun, rencana Syamsuar ini hanya akan menjadi wacana jika tidak dilakukan revisi terhadap Perda No 10 Tahun 2018 tentang RTRW Provinsi Riau Tahun 2018 – 2038. Pada 17 April 2019, Jikalahari taja diskusi capaian reforma agraria dalam 100 hari kerja Gubernur Riau di Kedai Kopi J. Kegiatan tersebut dihadiri oleh Asisten 1 gubernur Riau, Ahmad Syah Haroffie, Kadis LHK Riau, Erfin Rizaldi dan Juhar, Pengurus LPHD Segati.

Hasil diskusi mendapati bahwa perizinan PS di Riau terkendala oleh perda RTRWP Riau karena adanya pasal 46 Ayat dua huruf E dimana Pemanfaatan kawasan hutan untuk Perhutanan Sosial (PS) dan penggunaan kawasan hutan untuk Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) sebelum mendapat rekomendasi dari Gubernur terlebih dahulu dilakukan pembahasan bersama DPRD. Keberadaan poin tersebut menyebabkan banyaknya usulan dari masyarakat  yang terhabat.

Dampaknya setidaknya terdapat 112.330 Ha usulan PS di Riau oleh masyarakat dampingan masyarakat sipil yang belum di tindak lanjuti Dirjen PSKL dengan alasan Perda RTRW Riau. Hingga saat ini tercatat capaian PS di Riau baru sekira 88.009 ha atau 6 % dari total seluas 1,4 juta ha yang di alokasikan dan dari target pemerintah provinsi seluas 680 ribu ha.

  1. MoU dengan Kanwil Pajak Perkebunan Kelapa Sawit

Untuk peningkatkan koordinasi kabupaten/ kota dengan kantor pajak dalam rangka peningkatan penerimaan pajak penghasilan dan PBB perkebunan, pemerintah daerah telah menandatangani Kesepakatan Bersama antara Pemprov Riau dengan Kanwil DJP Riau pada 2 Mei 2019.

Dalam Rangka koordinasi untuk optimalisasi penerimaan pajak pusat, dan daerah Mou Nomor : MoU-2/WPJ.02/2019 dan Nomor: 10/KSB/V/2019 ditandatangani. Kemudian Syamsuar juga terbitkan Peraturan Gubernur Nomor 20 pada 8 Mei 2019 tentang Pendaftaran Wajib Pajak Cabang Bagi Pelaku Usaha Yang Melakukan Usaha Atau Pekerjaan di Provinsi Riau.

Namun MoU tersebut masih berorientasi pada sektor penerimaan pajak, masih belum secara tegas akan menyelesaikan perbaikan tata kelola sawit di Riau.

Pada 2015, Pansus Monitoring Perizinan menemukan 417 dari 513 perusahaan perkebunan kelapa sawit tidak berizin dominan berada di dalam kawasan hutan seluas 1,8 juta hektar yang telah merugikan keuangan negara berupa tidak membayar pajak Rp 34 Triliun per tahun. Temuan terhadap perusahaan tambang dan kehutanan, juga hampir sama, kerugian negara triliunan. Dalam rekomendasinya, Pansus Monev merekomendasikan agar Pemprov menindaklanjuti temuan tersebut dengan membuat regulasi sehingga dapat meningkatkan pendapatan daerah dari pajak yang belum dibayarkan.

 

  • Analisis dan Temuan

Meski Syamsuar-Edy Natar berhasil memenuhi Program 100 hari program kerja, Jikalahari menemukan mereka masih belum siap menghadapi situasi konflik dan koreksi mendasar atas kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup.

Pertama, Syamsuar-Edy Natar masih menggunakan pendekatan legalitas dalam penyelesaian konflik, salah satunya konflik antara PT Sekar Bumi Alam Lestari (SBAL) dengan masyarakat Koto Aman Kampar. Konflik yang sudah berlangsung sejak 1991 ini tak juga selesai karena masyarakat menuntut agar areal seluas 1.500 ha yang dikuasai perusahaan dikembalikan ke masyarakat sebab 80% lahan kehidupan masyarakat dirampas oleh PT SBAL.

“Solusi terakhir adalah pengadilan, kami minta ini diputuskan di pengadilan karena warga juga tidak memiliki bukti kepemilikan yang kuat terhadap lahannya,” komentar Syamsuar pada 13 Maret 2019[2]. Senada dengan Syamsuar, Wakil Gubernur Riau Edy Natar menyatakan telah  selesaikan masalah ini dengan mempertemukan kedua pihak. Edy mengatakan pada prinsipnya perusahaan mau bertanggung jawab atas kepemilikan lahan yang didudukinya tersebut. Asalkan masyarakat dapat memberikan bukti lahan tersebut dengan menunjukkan bukti kepemilikannya secara riil atau administrasi. Dan  Itu dianggap sebagai niat baik perusahaan.

Seharusnya Gubri mulai merubah pola pendekatan penyelesaian konflik, sebab sejak kebijakan reforma agraria terbit, pemerintah sudah memakai pendekatan bukan lagi formalitas—dokumen atau legalitas—tapi pendekatan penyelesaikan konflik. Itulah mengapa tim GTRA dibentuk. Ke depan setiap konflik terkait LHK Gubernur penyelesaiannya melalui tim tersebut.

Kedua, kematian M Amri yang diterkam harimau di Kanal Sekunder 41 PT Riau Indo Agropalma (PT RIA), anak perusahaan APP di Desa Tanjung Simpang, Pelangiran, Inhil. Tidak ada respon duka maupun pembentukan tim untuk mengadvokasi persoalan ini oleh Gubernur Riau. Padahal kematian warga yang diterkam harimau karena harimau kehilangan habitatnya yang telah dirusak oleh korporasi HTI dan sawit yang menebang hutan alam di zona penyangga Lansekap Kerumutan.

Menurut catatan Jikalahari, serangan harimau terhadap warga terus terjadi sepanjang 2017 hingga 2019 di Lansekap Kerumutan. Pertama pada Mei 2017 beredar berita dan video kemunculan Harimau Sumatera di Desa Tanjung Simpang, Kecamatan Pelangiran.

Lalu pada 3 Januari 2018, Jumiati di terkam harimau saat bekerja di areal PT THIP, masih dilokasi yang sama pada 10 Maret 2018 Yusri juga meninggal di terkam harimau saat sedang membuat sarang walet. Harimau juga muncul pada 14 November 2018 di Desa Pulau Burung, Kecamatan Pulau Burung. Harimau berkeliaran disekitar pasar desa dan akhirnya terjebak di lorong ruko pasar. Sampai akhirnya M. Amri menjadi korban selanjutnya pada 23 Mei 2019.

Jumiati, Yusri dan M. Amri menjadi korban karena habitat harimau ditelah dirusak oleh korporasi sawit dan HTI di lansekap Kerumutan. Di dalam lansekap Kerumutan ada 15 korporasi HTI dan HPH dan 7 korporasi Sawit: PT Selaras Abadi Utama, PT Rimba Mutiara Permai, PT Mitra Taninusa Sejati, PT Bukit Raya Pelalawan, PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Mitra Kembang Selaras, PT Arara Abadi, PT Satria Perkasa Agung, PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa, PT Bina Duta Laksana, PT Sumatera Riang Lestari, PT Bhara Induk, PT Riau Indo Agropalma, PT Bina Daya Bentara dan PT Inhil Hutani Permai (HTI dan HPH). 7 korporasi perkebunan kelapa sawit: PT Tabung Haji Indo plantation/ PT MGI, PT Gandaerah Hendana, PT Guntung Hasrat Makmur, PT Guntung Idaman Nusa, PT Bhumireksanusa Sejati, PT Riau Sakti Trans Mandiri dan PT Riau Sakti United Plantation dengan dua konsesi (sawit). Ini mengakibatkan deforestasi di Lansekap Kerumutan. Pada 2005 luas hutan alam di Lansekap Kerumutan 512.972 ha saat ini tinggal 285.659 ha.

Ketiga,  Jikalahari mengumpulkan informasi persoalan lingkungan hidup dan kehutanan yang terjadi di Riau. Sepanjang Februari sampai Juni dari media cetak dan online. Dari informasi yang ada Jikalahari mengklasifikasikan peristiwa yang terjadi dan sejauh mana respon pemerintah terhadap persoalan tersebut. Catatan Jikalahari sejak Februari hingga  Juni 2019 kebakaran hutan dan lahan merupakan peristiwa yang terjadi disetiap bulan. Sudah lebih 3211 ha lahan di Riau terbakar, paling luas terbakar di Kabupaten Bengkalis 1426 ha dan diikuti oleh kabupaten lainnya. Selain karhutla, banjir juga terjadi di Riau. Jikalahari mencatat banjir terjadi di Kabupaten Pelalawan, Kampar, Inhu, Inhil dan Kota Pekanbaru hingga menelan korban jiwa, Yeni Risky Pratiwi tewas terseret arus banjir.

Konflik lahan antara korporasi dan masyarakat juga sering terjadi. Setidaknya ada 5 konflik yang muncul ke media sepanjang Februari sampai Juni 2019, yatu,  konflik lahan masyarakkat Bonai dengan PT. Rokan Adi Raya, konflik lahan masyarakat Desa Koto Aman dengan PT SBAl, konflik lahan antara PT Citra Sumber Sejahtera dengan masyarakat Kecamatan Batang Peranap, masyarakat Suku Sakai dengan PT Ivo Mas dan PTPN V dengan masyarakat senama nenek. Selain konflik lahan, konflik satwa juga terjadi hingga menewaskan M. Amri saat bekerja di PT Riau Indo Agropalma.

Lalu bagaimana pemerintah merespon persoalan lingkungan hidup dan kehutanan selama februari – Juni 2019. Catatan Jikalahari, 15 orang sudah menjadi tersangka akibat kebakaran hutan dan lahan sedangkan 2 korporasi masih dalam penyelidikan. KPK menetapkan PT Palma Satu sebagai tersangka bersama Suheri Terta serta pemilik PT. Duta Palma, Surya Darmadi  kasus alih fungsi Kawasan hutan.

Terakhir Pemprov Riau merespon langsung konflik lahan antara masyarakat Senama Nenek dengan PTPN V dengan menyerahkan 2.800 ha kepada warga setempat.

Keempat, Gubernur Syamsuar jangan menelanmentah-mentah informasi dari oknum ASN yang kerap memotong informasi. Misal terkait Revitaliasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN). Jikalahari menemukan ASN melaporkan bahwa areal RETN dikuasai oleh pendatang dan cukong. Padahal selama RETN bekerja pendekatan yang digunakan adalah penyelesaian melalui ruang kelola untuk masyarakat. Hutan desa yang diusulkan juga dikelola masyarakat adat dan tempatan. Sampai saat ini baru 2 usulan HD yang disetujui yaitu HD Pangkalan Gondai 9.210 ha di Pelalawan, HD Gunung Sahilan 2.750,78 ha di Kampar dan 2 usulan yang masih proses HD Segati 17.500 ha di Pelalawan, dan HD Giri Sako 7.857 ha di Kuantan Singingi.

Proses penegakan hukum didalam Kawasan RETN juga dilakukan terhadap para cukong, diantaranya penyitaan eskavator di lokasi yang diindikasikan dikuasai cukong seperti di areal Sukdhev Singh, Lorena, Koperasi Segati Jaya, Bagan Limau dan Bukit Apolo. Sukdhev Singh juga telah disidangkan di PN Pelalawan dan divonis terbukti bersalah melakukan aktivitas dalam Kawasan hutan tanpa izin. Sukdhev divonis 1 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.

Syamsuar juga musti berhati-hati dengan ASN di lingkungan dinas LHK, temuan Jikalahari di dinas ini oknum ASN ada yang terlibat korupsi kehutanan dan korupsi alih fungsi lahan RTRWP Riau yang melibatkan Gubernur, Bupati dan Kepala Dinas.

Kelima, Edy Natar juga memberikan pujian terhadap PT RAPP, Pada 20 Mei 2019, Wakil Gubernur Riau, Edy Natar Nasution mengapresiasi keberadaan PT RAPP. “Program RAPP yang terus melakukan pembinaan terhadap masyarakat yang ada di sekitar tempat usahanya, tentu ini turut membantu pemerintah dalam mensejahterakan masyarakat,” kata Wagubri dalam buka puasa yang ditaja oleh PT RAPP di Hotel Premiere Pekanbaru.

Padahal, PT RAPP kerap berkonflik dengan masyarakat di sekitar konsesi. PT RAPP juga berkonflik dengan masyarakat Desa Lubuk Jering dan Desa Olak Kecamatan Sei Mandau di Kabupaten Siak. Dalam konsesi seluas 235.140 hektar di Kecamatan Sei Mandau dan Kecamatan Tualang terdapat kampung, kebun, ladang dan kawasan perkuburan masyarakat. Selain itu konflik yang masih berlarut-larut ialah konflik PT RAPP dengan Masyarakat Desa Bagan Melibur, Pulau Padang. Konflik yang tejadi sejak 2009 hingga saat ini masih menyisakan persoalan.

Keenam, Gubernur Syamsuar belum bersikap perihal Revisi RTRWP Riau. Temuan Jikalahari Menlhk sudah menyurati Gubernur Riau pada 20 Maret 2019 dengan surat nomor S.149/Menlhk/PKTL/Pla.0/3/ 2019 yang menyatakan adanya permasalahan dalam Perda RTRWP Riau seperti: 1) ketidaksesuaian beberapa muatan perda terhadap peraturan yang lebih tinggi; 2) belum diakomodasikannya ekosistem gambut dan 3) belum terselesaikannya KLHS secara utuh yang dikonsultasikan kepada KLHK.

Selain itu realisasi program TORA dan PS juga terhambat karena adanya muatan pasal dalam Perda RTRWP yang mengharuskan usulan TORA dan PS sebelum mendapatkan rekomendasi dari gubernur terlebih dahulu dibahas bersama DPRD. Menurut KLHK hal ini bertentangan dengan peraturan lebih tinggi yaitu UU 41 tahun 1999 jo UU 19 tahun 2004 tentang Kehutanan, UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan ruang, PP No 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, PP No 8 Tahun 2013 dan perpres No 88 tahun 2007.

Untuk itu Menlhk merekomendasikan agar Gubri mengusulkan perubahan atas muatan substansial Perda RTRWP Riau tahun 2018 – 2038 yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan diatasnya, dan diproses lanjut dalam revisi perda serta melaksanakan peran aktif dalam mendukung program TORA dan PS sesuai mekanisme perundang-undangan yang berlaku.

Temuan Jikalahari, banyak persoalan dalam Perda RTRWP Riau diantaranya KLHS yang dibuat Pemda Prov Riau belum disetujui Menteri LHK namun dijadikan lampiran sehingga perda ini dapat ditetapkan pada 8 Mei 2018. Dalam proses penyusanan, Pemda dan DPRD tidak melibatkan publik dalam prosesnya, serta tidak bersedia membuka informasi kepada publik.

DPRD Riau juga mengambil alih kewenangan Menteri LHK terkait perubahan dan peruntukan Kawasan hutan, persetujuan KLHS dan perizinan Kawasan hutan. Selain itu, usulan PS dan TORA dibahas bersama DPRD, padahal ini bukan kewenangan DPRD. Dan terakhir, outline seluas 405.830 ha seharusnya masih usulan untuk perubahan peruntukan dan fungsi Kawasan hutan dijadikan norma pasal di dalam Perda.

Ketujuh, sosialiasi 10 program kerja 100 hari Syamsuar – Edy Natar tidak masif disebarkan oleh Pemprov Riau. Sosialiasi terbatas hanya di media cetak melalui pemberitaan. Bahkan sosialiasi di website resmi Pemprov Riau terkait Riau Hijau juga tidak ada. Padahal Gubernur Syamsuar mengumumkan Riau Hijau berdasarkan aspirasi masyarakat, namun tidak ada kanal aspirasi yang bisa dimanfaatkan masyarakat untuk memberikan masukan.

Kedelapan, Syamsuar – Edy Natar tidak memberikan respon atas penetapan tersangka oleh KPK terhadap PT Palma Satu, Suheri Tirta (Legal Manager PT Duta Palma Group tahun 2014) dan Surya Darmadi (Pemilik Darmex Grup). Korporasi sawit dan para petingginya menjadi tersangka dalam tindak pidana korupsi pemberian hadiah atau janji terkait pengajuan revisi alih fungsi hutan/ perubahan peruntukan dan fungsi Kawasan hutan menjadi non kawasan hutan di Provinsi Riau yang diintegrasikan dalam RTRWP Riau. Temuan Jikalahari bersama EoF menunjukkan PT Palma Satu menanam sawit dalam Kawasan hutan dan tidak memiliki izin pelepasan Kawasan hutan dari Menteri LHK.

Kesembilan, Syamsuar dan Edy Natar nampaknya “bekerja sendiri”. Ini wajar sebab mereka baru bisa mengganti kepala dinas dan perombakan ASN setelah enam bulan menjabat merujuk pada 162 ayat 3 UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Dalam Pasal 162 ayat 3 menjelaskan bahwa gubernur, bupati, atau walikota dilarang melakukan penggantian pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/ Kota dalam jangka waktu enam bulan terhitung sejak tanggal pelantikan,Tentu ini tidak mudah bagi Syamsuar, apalagi kepala dinas warisan gubernur sebelumnya tidak punya keberpihakan atas perbaikan tata kelola LHK.

 

 Kesimpulan dan Rekomendasi

Cerita 1 Mei dan 29 Mei 2019 serta akun FB Syamsuar, contoh tindakan yang membuka ruang partisipasi publik untuk terlibat langsung memberi saran, kritikan dan inovasi atas pembangunan Provinsi Riau. Komunikasi seperti ini selanjutnya, harus dibuka seluas-luasnya untuk publik.

Jikalahari juga menilai, selain membuka ruang partisipasi publik, Gubernur Syamsuar juga memenuhi komitmen 100 hari kerja bahkan dengan terobosan yang menarik berupa MoU penerimaan pajak dari sektor perkebunan, Konsep Riau Hijau dan merombak Pokja Perhutanan Sosial. Meski, belum semua agenda prioritas yang diusulkan Jikalahari belum terwujud. Setidaknya, ini langkah awal untuk memperbaiki tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan Provinsi Riau yang kompleks karena hutan tanah dikuasai oleh korporasi.

Oleh karenanya 100 hari berikutnya dan lima tahun mendatang, Syamsuar perlu melakukan koreksi menyeluruh untuk ruang ekologis yang lebih baik.

Untuk itu Jikalahari merekomendasikan agar Gubri – Wagubri:

  1. Membentuk tim perbaikan tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan yang bertugas menyelesaikan dan memperbaiki krisis lingkungan hidup dan kehutanan. Tim ini berasal dari luar ASN yang diisi oleh akademisi, praktisi dan masyarakat sipil.
  2. Mengusulkan kepada DPRD Provinsi Riau Revisi Perda No 10 Tahun 2018 Tentang RTRWP Riau 2018-2038 untuk memberi ruang kelola pada masyarkat, review perizinan korporasi perkebunan sawit dan industri kehutanan serta ruang konservasi serta memperbaiki Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) demi keselamatan masyarakat Riau dari kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup.
  3. Segera membentuk tim untuk melakukan inventarisir hutan adat untuk diusulkan dalam perubahan peta indikatif hutan adat kepada Menteri LHK.
  4. Membuat kanal khusus atau jalur khusus bagi masyarakat luas untuk memberi masukan dan kritikan atas konsep Riau Hijau sebagai wujud ruang partisipasi masyarakat, salah satunya menyediakan kanal khusus di Website resmi Pemprov Riau (www.riau.go.id)
  5. Mereformasi birokrasi di Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dan Bappeda Provinsi Riau terutama yang terlibat dalam kejahatan korupsi kehutanan.

Download (PDF, 6.32MB)

 

[1] https://sumatra.bisnis.com/read/20190508/533/920051/kebakaran-hutan-di-riau-mencapai-2.932-hektare

[2] https://pekanbaru.tribunnews.com/2019/03/13/konflik-lahan-desa-koto-aman-gubri-syamsuar-sebut-solusi-terakhirnya-adalah-pengadilan

About Nurul Fitria

Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *