Pekanbaru, 25 November 2021–Koalisi Eyes on The Forest (EoF) mengecam penyelenggaraan Seminar Nasional “Permasalahan, Prospek dan Implikasi Sawit Sebagai Tanaman Hutan” yang bertentangan dengan tekad Pemerintah Indonesia untuk berkontribusi mengurangi ancaman krisis iklim (climate crisis) dan menahan laju deforestasi.
Selebaran undangan seminar nasional bertajuk “Permasalahan, Prospek dan Implikasi Sawit Sebagai Tanaman Hutan” yang akan dilaksanakan pada 25 November 2021 di IPB beredar luas. Surat undangan tersebut menyertakan logo IPB dan Pusat Kajian dan Advokasi Konservasi Alam serta ditanda tangani Prof. Dr. Ir, Yanto Santoso, DEA sebagai ketua panitia.
“Upaya untuk menjadikan kelapa sawit sebagai produk tanaman hutan oleh orang yang itu-itu saja merupakan tindakan kontraproduktif yang akan menghancurkan lebih banyak hutan dan menjungkir-balikkan peraturan, keilmuan dan kebijakan kehutanan yang sudah ada,” kata Nursamsu dari Eyes on the Forest.
Upaya menjadikan sawit sebagai tanaman kehutanan bukan kali pertama. Pada 14 April 2018, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) bersama Pusat Kajian dan Advokasi Konservasi Alam, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit menaja Focus Group Discussion (FGD) “Sawit dan Deforestasi Hutan Tropika” di Bogor.
Tokoh-tokoh di balik seminar tersebut memiliki track record sebagai para akademisi yang setia membela perusahaan perkebunan kelapa sawit yang terlibat tindak pidana dan proses penegakan hukum. Seperti Prof Yanto Santoso, Guru Besar Fahutan IPB, ia setia menjadi saksi bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan menjadi ahli perkara perdata PT Jatim Jaya Perkasa vs KLHK[2]; perdata KLHK VS PT National Sago Prima[4] serta Frans Katihokang GM PT Langgam Inti Hibrindo[3] terpidana kasus karhutla di Riau.
Bukan hanya menjadi ahli yang membela perusahaan di pengadilan, Prof Dr Yanto Santosa mengetuai Tim Pakar IPB sebagai ahli –bersama Dr Ir Basuki Sumawinata, Dr Ir Gunawan Djajakirana, Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, Dr Ir Bahruni dan Dr Ir Lailan Syaufina– pada gugatan permohonan keberatan uji materil Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) ke Mahkamah Agung.
Permohonan uji materi GAPKI terhadap Pasal 5 dan Lampiran II Permen LHK No. 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup karena bertentangan dengan UU 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 12 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada Pada 28 April 2017. Menurut GAPKI Penegakan hukum pidana dan perdata lingkungan hidup jika dibiarkan berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan usaha perkebunan kelapa sawit nasional.
“Jelas sekali bahwa kepentingan dari seminar yang diadakan oleh Prof Yanto Santoso adalah kepentingan dari perusahaan-perusahaan besar. Sama sekali bukan kepentingan petani, apalagi lingkungan hidup,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.
Implikasi kebun sawit menjadi tanaman hutan tentu akan menghilangkan kejahatan korporasi dalam kasus kebun sawit dalam Kawasan Hutan. Dan upaya untuk mengurangi kerugian negara akibat hilangnya pajak karena sawit dikembangkan dalam Kawasan hutan akan jadi sia-sia.
Undang-Undang nomor 18 tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan mengatur masalah pidana dalam BAB X pasal 82-109. Khusus tanaman sawit dalam kawasan hutan diatur dalam pasal 92-93. Orang perseorangan atau korporasi sengaja atau lalai melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam kawasan hutan atau membeli sawit dari kawasan hutan bisa dipidana.
Data Kementerian Pertanian (2019) menyebutkan ada sekitar 3,4 juta hektar kebun sawit ilegal berada dalam Kawasan hutan di seluruh Indonesia. KPK menengarai ada kerugian triliunan rupiah akibat adanya sawit ilegal dalam Kawasan hutan di mana perusahaan-perusahaan yang menanam sawit tidak membayar pajak kepada negara.
“Fenomena sawit dalam Kawasan hutan tidak bisa diremehkan, karena ini terjadi masif dengan kerugian negara triliunan rupiah, dan kerusakan hutan dan ekosistem yang tak kalah besarnya. Masalah ini harus diselesaikan di mana pelakunya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dan mengembalikan fungsi hutan lindung dan konservasi sesuai aturan,” ujar Boy Even Sembiring, direktur WALHI Riau.
Akselerasi legalitas wilayah kelola rakyat yang diusung oleh Pemerintah layak didukung. Terlebih ada skema dialogis dengan memperhatikan aspek keterlanjuran alih fungsi kawasan hutan dan rehabilitasi serta pemulihan lingkungan bersama masyarakat.
“Secara ekologis, benar sawit bukan tanaman kehutanan dan memiliki ancaman serius terhadap laju deforestasi. Pilihan perhutanan sosial sebagai kebijakan transisi pemulihan hutan Indonesia diharap mampu menghentikan praktik represif terhadap keberadaan rakyat di kawasan hutan, bahkan dapat mendorong memulihkan relasi sakral masyarakat, khususnya masyarakat adat dengan alamnya,” ujar Boy Even Sembiring.
Koalisi EoF mendesak Pemerintah Indonesia untuk konsisten dalam melindungi hutan dan menolak upaya pihak-pihak yang ingin menjadikan sawit sebagai tanaman hutan karena buruk dampaknya bagi perlindungan hutan maupun kerugian negara.
Narahubung:
Made Ali – Jikalahari : +62 812-7531-1009
Boy Even Sembiring – WALHI Riau: +62 852-7189-7255
Afdhal Mahyudin – EoF : +62 813-8976-8248