Pekanbaru, Rabu 2 September 2015–Koalisi PSDA Riau mendorong Pemerintah Pusat dan Daerah menuntaskan karhutla gambut melalui pendekatan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) sebelum dan sesudah cuaca ekstrim melanda Riau. Cuaca ekstrim menunjukkan curah hujan rendah, suhu tinggi, terjadi perubahan iklim.
Koalisi PSDA Riau memberi apresiasi kepada Kemen LHK, BNPB, Gubernur Riau dan Polda Riau karena aktif memadamkan karhutla gambut, meski kabut asap masih melanda Kota Pekanbaru dan kabupaten lainnya. Sejauh ini Polda Riau berhasil menetapkan 28 tersangka dan satu korporasi.
“Persoalan karhutla Riau bukan sekedar menabur uang Rp 40 Miliar untuk memadamkan api. Lebih dari itu, Riau butuh perbaikan tata kelola kehutanan yang selama ini diabaikan pemerintah,” kata Muslim Rasyid, Dinamisator Koalisi PSDA Riau. “Pendekatan GNPSDA merupakan jalan cepat memperbaiki buruknya tata kelola kehutanan Riau.”
Mengapa hutan dan lahan gambut harus dibakar? Hasil penelitian ahli Karhutla Prof Bambang Hero Saharjo dan DR Basuki Wasis dalam perkara karhutla di atas gambut menyebut:
“Terbakarnya lahan sama sekali tidak menimbulkan kerugian bagi perusahaan, justru memberikan keuntungan secara ekonomis. Dengan terbakarnya lahan, perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membeli kapur yang digunakan untuk meningkatkan PH gambut dan biaya pengadaan pupuk dan pemupukan karena sudah digantikan dengan adanya abu dan arang bekas kebakaran, serta biaya pengadaan/pembelian pestisida untuk mencegah ancaman serangan hama dan penyakit. Perusahaan juga diuntungkan karena jelas akan memangkas biaya operasional seperti upah tenaga kerja, bahan bakar, serta biaya-biaya lain yang dibutuhkan.”
“Artinya merujuk pada temuan tersebut, lahan gambut dibakar dengan motif ekonomi tertentu dengan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa peduli pada pelestarian lingkungan hidup,” kata Riko Kurniawan, ED Walhi Riau.
Mengapa GNPSDA KPK
“Sebab lokasi karhutla gambut dominan berada di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan,” kata Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari.
Data hotspot Jikalahari sepanjang Januari-Agustus 2015 menunjukkan ada total 5869 titik api yang berada di atas lahan HTI, Sawit dan Hutan Lindung, yang semua itu berada di atas lahan gambut. Dari 5860 hotspot 4057 berada pada kawasan gambut.
Sejumlah perusahaan yang sudah tercatat sebagai tersangka kasus pembakaran hutan dan lahan tahun 2013 dan 2014 masih ditemukan titik api di konsesi mereka pada kurun tiga bulan terakhir ini.
Sebaran hotspot pada lahan gambut
Sebaran hotspot pada kawasan konservasi, konsesi hgu dan iuphhk
“Artinya karhutla terjadi di dalam konsesi perusahaan HTI dan Sawit serta di dalam kawasan konservasi yang dirambah dan diokupasi oleh cukong sawit,” kata Woro Supartinah.
Penghancuran hutan alam dan rawa gambut Riau sudah direncanakan melalui produk hukum sejak terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 173/Kpts- ll/1986 tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) seluas 8.598.757 Ha. Dari luasan itu pemerintah menunjuk dan membagi-bagi pemanfaatan hutan :
Dari tabel tersebut terlihat porsi untuk korporasi sangat besar dan dominan: HPH, HTI, HPK dan Non Kawasan Hutan/APL terutama untuk perkebunan kelapa sawit.
Temuan Jikalahari menunjukkan, besarnya monopoli “kawasan hutan” yang diberikan pemerintah kepada pengusaha monokultur (HTI dan Sawit) berdampak pada: deforestasi/degradasi hutan, konflik sosial, kebakaran hutan dan kebanjiran, serta praktek korupsi, monopoli menuju kerusakan ekologis.
Di tengah deforestasi-degradasi terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif di Riau melalui produk hukum yang menguntungkan korporasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berupaya menghentikan praktek-praktek tersebut melalui Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam.
Dalam GNPSDA Pemda Riau harus menyelesaikan pengukuhan: Kawasan Hutan, penataan Ruang dan Wilayah Administrasi, penataan Perizinan Kehutanan dan Perkebunan, perluasan Wilayah Kelola Masyarakat, penyelesaian Konflik Kawasan Hutan, penguatan lnstrumen Lingkungan Hidup Dalam Perlindungan Hutan dan membangun Sistem Pengendalian Anti Korupsi.
Dan persoalan karhutla akan segera berakhir di Riau, bila saat musim kemarau berakhir pemerintah tidak berleha-leha dan serius menjalankan GNPSDA.
“Pantauan kami pemerintah kelihatan bekerja saat Riau Darurat Asap. Seolah-olah dengan memadamkan api pemerintah sudah menyelesaikan persoalan tata kelola kehutanan yang terindikasi korupsi,” tegas Muslim Rasyid.
lnformasi lebih lanjut, sila hubungi:
Muslim Rasyid, 08127637233
Riko Kurniawan, 08116900097
Woro Supartinah, 08117574055