Ironi Gelar Pahlawan untuk Soeharto: Pengabaian Terhadap Dampak Kerusakan Lingkungan Hidup

Pekanbaru, 11 November 2025 – Jikalahari menilai pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto adalah ironi dan pengabaian atas dampak kerusakan ekologis yang maha dahsyat. “Di masa kepemimpinan Soeharto menjadi awal mula hutan dikorbankan, dan alam dijadikan komoditas. Selama lebih dari tiga dekade, kebijakan hutan dijalankan secara terpusat, memberikan ruang bagi korporasi besar untuk menguasai jutaan hektar hutan melalui skema konsesi,” kata Arpiyan Sargita, Wakil Koordinator Jikalahari.

Sebelumnya, bersamaan dengan peringatan Hari Pahlawan Nasional di Istana Negara, Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.

Pemerintahan era Soeharto telah menerbitkan antara 497 hingga 524 izin kehutanan, dengan total luas mencapai lebih dari 7 juta hektar kawasan hutan yang diserahkan kepada perusahaan swasta. Izin tersebut mencakup berbagai jenis pemanfaatan, di antaranya: UPHHK-HT (Hutan Tanaman): 1.907.620 ha (58 unit); IUPHHK-HA (Hutan Alam): 1.637.149 ha (11 unit); PPKH – Korporasi: 25.961 ha (39 unit); PPKH – Kepentingan Publik: 14.045 ha (42 unit) dan Pelepasan Kawasan Hutan: 3.478.053 ha (374 unit).

Menurut KLHK pada tahun 2018, total Kawasan hutan yang dikeluarkan izinnya oleh pemerintahan Soeharto mencapai 7.062.829 hektar. Sepanjang 1984-1998, rezim Soeharto juga menerbitkan izin skala besar dalam bentuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) seluas 66.251 hektar dengan rincian 53.010 hektar untuk sektor tambang dan 13.241 hektar untuk sektor non-tambang, serta Pelepasan Kawasan Hutan (PKH) seluas 3.468.801 hektar.

Di Riau, kebijakan ini mulai berdampak sejak tahun 1986 di mana untuk pertama kalinya pemerintah menetapkan kebijakan pengelolaan hutan di bawah rezim Orde Baru. Pada masa itu pemerintah membuka ruang bagi investasi korporasi dengan skema pemberian izin konsesi berskala luas. Logika pembangunan yang diusung tidak lagi mengacu pada perlindungan ekosistem, melainkan percepatan pertumbuhan ekonomi dengan mekanisme eksploitasi alam. Dampaknya, hak masyarakat adat dan kelestarian lingkungan dikorbankan demi kepentingan korporasi dan elit yang dekat dengan penguasa.

Salah satu korporasi besar yang memperoleh izin pada periode tersebut adalah dua pabrik raksasa, yakni pertama PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) yang didirikan pada 1976, lalu produksi percobaan pabrik Pulo pada Mei 1984 yang dihadiri langsung oleh Presiden Soeharto. Pada tahun 1984 juga, perusahaan ini membangun Hutan Tanaman Rakyat (HTI) seluas 300.000 hektar yang terhubung dengan PT Arara Abadi (APP Grup). Kedua, PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), yang mulai beroperasi sejak tahun 1992 dan memulai produksi pada Januari 1995. Dengan izin konsesi HTI RAPP seluas 280.500 hektar (APRIL Grup). Menjadikan keduanya sebagai pemegang izin kehutanan terbesar di Riau bahkan di Indonesia.

Selain itu, sektor perkebunan tumbuh agresif pada periode 1990-an. Di tahun 1997, pemerintah memberikan izin kepada PT Sumatera Makmur Lestari untuk membuka perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Indragiri Hulu seluas 8.000 hektar, serta kepada PT Arvena Sepakat seluas 5.450 hektar. Sementara itu, PT Perkebunan Nusantara V (PTPN V) — sebagai perusahaan milik negara — memperluas penguasaan lahan di Riau hingga 67.097 hektar pada tahun 1991, dengan catatan konflik perampasan tanah masyarakat adat mencapai sekitar 2.863 hektar sejak pertengahan 1980-an.

Dampaknya, deforestasi Riau meningkat tajam — analisis Jikalahari sekitar 3,7 juta hektar tutupan hutan alam hilang antara 1982 hingga 2005. Bersamaan dengan itu, konflik agraria, perampasan tanah masyarakat adat, dan bencana ekologis menjadi warisan nyata yang masih dirasakan hingga kini. Bukan hanya itu, kerusakan lingkungan mengakibatkan Riau terus mengalami bencana ekologis seperti banjir, karhutla hingga rusaknya habitat flora dan fauna yang menimbulkan hingga puluhan korban jiwa.

Selain itu, pemberian gelar pahlawan oleh Presiden Parabowo yang notabene merupakan mantan menantu Soeharto menjadi tanda tanya. Bukan semata karena hubungan pribadi yang dimiliki keduanya, tapi ini juga menjadi cerminan kecendrungan politik orba yang melanggengkan praktik nepotisme dan patronase kekuasaan.

“Langkah ini menghianati reformasi dan kemunduran dari membangun pemerintahan yang bersih dan sarat kepentingan. Nepotisme tidak hanya perkara hubungan darah, namun kekuasaan yang diproduksi melalui koneksi keluarga dan loyalitas politik, acap kali mengambaikan aspirasi dan kepentingan publik,” lanjut Arpiyan.

Narahubung:
Arpiyan Sargita, Wakil Koordinator Jikalahari, 0812 6111 6340

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *