Rilis Jikalahari
Senin, 18 Juni 2012
· Bukti redd+ ajang greenwashing korporasi di Pelalawan
· Resiko Korupsi dalam Redd+
PADA 30 MEI 2012, melalui Surat No. 522.12/DISHUT/2012/02 Bupati Pelalawan H. Haris menolak usulahHutan Desa untuk Pulau Muda dan Kelurahan Meranti. Dan, pada 7 juni 2011 Ir Hambali, Kepala Dinas Kehutanan KabupatenPelalawan mengeluarkan surat ke Bupati perihal pertimbangan teknis usulanpenetapan hutan desa; Desa Segamai seluas 2.000 Ha dan Serapung Seluas 2.000Ha. Padahal pencadangan Hutan Desa dari Menhut RI seluas 12.360, dan itu sesuai dengan usulan Hutan Desa oleh empat Desadi Pelalawan.
Namun saat PT. Gemilang Citra Nusantara, anak perusahaan PT RAPPdi Kabupaten Pelalawan mengajukan IUPHHK-RE seluas 19.674 ha, Bupati Pelalawansecepat kilat memberikan rekomendasi. Tak perlu menunggu lama, meski aturan dilabrak.
Dalam catatan Jikalahariyang diolah dari data Kemenhut RI, dari1,25 Juta ha hutan yang dicadangkan hanya 0,99 persen (12.000 ha) dicadangkankhusus untuk rakyat. “Dari 12.000 yang dicadangkan untuk rakyat, 70 persenluasan kawasan telah dirampok untukkepentingan industri kertas dan Perkebunan Kayu,” kata Muslim, Koordinator Jikalahari.
“Ini mengindikasi modus kejahatan korporasi kehutanan masihberjalan hingga detik ini di Pelalawan, pemerintah tidak lagi berpihak padamasyarakat sekitar hutan untuk mengelola hak hutannya. Padahal salah satutujuan REDD+ bahwa alokasi hak kelolahutan untuk masyarakat sekitar hutan,” lanjut Muslim.
Hasil riset TransparencyInternational Indonesia (TII) bertajuk ResikoKorupsi REDD+ tahun 2012 menyebutkan penyimpangan alokasi konsesi untukRedd+, salah satunya terjadi saat alokasi konsesi diberikan berdasarkan asosiasi pribadi ataujaringan politik.
Raflis dari TII Riaumerinci indikasi itu. Persoalan ini sangat terkait dengan beberapa resikokorupsi dalam REDD+ diantaranya: Alokasi konsesi untuk REDD+, dan PersiapanPenggunaan Lahan Dalam REDD. Praktek korupsi yang dominan dalam hal ini adalahmenciptakan sistem informasi dan pengambilan kebijakan yang tertutup dan hanyadapat diakses oleh elit tertentu. “Idealnya ketika ada alokasi ruang untukkonsesi harus diumumkan ke publik, sehingga setiap orang atau badan usaha dapatpeluang yang sama dalam mengajukan perizinan,” terang Raflis.
Di samping itu sebagai prasyaratsebuah kawasan dapat diberikan izin konsesi harus terlebih dahulu dilaksanakanpenegasan Fungsi dan Status Kawasan Hutan. Hal ini juga ditegaskan oleh putusanmahkamah konstitusi tentang pasal 1 point 3 UU No 41 tahun 1999 yangmenjelaskan tentang definisi kawasan hutan. Juga diperkuat Inpres No 10 tahun 2011Tentang Penundaan Izin Baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer danlahan gambut. Dan menginstruksikan “Terhadap Bupati/ Walikota: Melakukanpenundaan penerbitan rekomendasi dan izin lokasi baru pada kawasan hutan danlahan gambut serta areal penggunaan lain berdasarkan peta indikatif penundaanizin baru.”
“Praktek korup yang mungkin terjadi dalam hal ini adalahmanipulasi informasi yang menguntungkan pihak tertentu (dalam kasus ini perusahaan) dan merugikan pihak lain (dalam kasus ini masyarakat). Patutdiduga ketika sebuah kebijakan yang dikeluarkan melanggar beberapa aturanberkorelasi kuat dengan praktek korup yang mengiringinya,” papar Raflis.
Laporan Ringkas Center forInternational Forestry Research (CIFOR) November 2011 bertajuk Mencegah Risiko Korupsi pada REDD+ diIndonesia, juga menuliskondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya korupsi, salah satunya jaringankelompok dengan kepentingan tertentu yang kuat. “Akibatnya penguasaankeuntungan oleh kaum elit; pelanggaran atas hak-hak yang ada dan konflik ataslahan; perampasan lahan; dan peningkatan deforestasi; kinerja dan laporanpembayaran yang tidak jujur dalam sistem yang rumit,” tulis lembaga yangberkantor di Bogor itu.
“Ini mengindikasikan kuat, bahwa REDD+ hanya dijadikan greenwashing oleh PT RAPP. Seolah-olahdengan melakukan RE, mereka telah menyelamatkan hutan Riau. Padahal PT RAPPsalah satu perusahaan perusak hutan di Riau,”tegas Muslim.
“Kita himbau kepada Bupati Pelalawan, agar Bupati berpihak padamasyarakat, sebab Bupati bisa merekomendasikan menghentikan proses perizinan PT GCN.”
Muslim memberi contoh Bupati yang berpihak pada masyarakat terkaitkasus Hutan Desa. Masyarakat mengusulkan ke Bupati penetapan areal kerja HutanDesa Muara Medak Kecamatan Bayung Lancir, Kabupaten Banyuasin, Palembang, seluas 10.900 di areal PT RimbaHutani Mas seluas 40.012.
Melalui surat Bupati Musi Banyuasin, No; 5221/Dishut/2010 tanggal 25 Januari 2012, Bupati dengan tegas memenuhi usulanmasyarakat dengan merekomendasikan sebagian areal yang telah direkomendasikankepada PT Rimba Hutani Mas seluas 40.012 Ha dikurangi seluas 10.900 Ha untukdijadikan areal kerja hutan desa muara medak kec bayung lencir, salah satupertimbangan Bupati mengurangi dampak kesenjangan sosial antra perusahaan besardengan masyarakat sekitar hutan.”Itu bukti bahwa Bupati bisa berpihak padamasyarakat. Ingat bupati dipilih oleh masyarakat, bukan dipilih oleh korporasiperampok hutan milik rakyat,” tegas Muslim.#
Kontak;
Muslim, KoordinatorJikalahari (08127637233)
Rafflis,Unit Manager TII Riau (081276189862)
Made Ali,Manajer Infokom Jikalahari (081378056547)