Pekanbaru, 17 Juni 2020—Jikalahari mendesak Lembaga Adat Melayu (LAM) Propinsi Riau memanggil dan memeriksa PT Arara Abadi yang tidak mengakui keberadaan wilayah dan hak ulayat masyarakat adat di Propinsi Riau.
Keterangan sebagai Saksi dalam perkara Bongku bin Alm Jelodan, Usman Marzuki dan Sudarta menyampaikan; Di Petak D0404 Km 42 Desa Koto Pait Beringin Kecamatan Talang Mandau Kabupaten Bengkalis atau di lokasi atau areal yang dikerjakan atau dikuasai oleh terdakwa Bongku saat ini tidak ada hak ulayat, karena setahu saya peta lahan Ulayat untuk daerah Distrik II Petak D0404 Desa Koto Pait Beringin Kecamatan Talang Mandau Kabupaten Bengkalis tidak ada terdaftar pada Dinas Kehutanan Bengkalis maupun di Peta lahan milik PT Arara Abadi.” (Halaman 10 dan 14 Putusan No 89/Pid.B/LH/2020/PN.Bls). Marzuki adalah anggota Security PT AA, Sudarta adalah Koordinator Planning Survei PT AA distrik Duri II.
Padahal keberadaan wilayah adat masyarakat Sakai diakui di dalam Rencana Program Jangka Panjang (RPJP) Kabupaten Bengkalis Tahun 2005-2025 pada poin 2.1.4.4 kebudayaan yaitu, di Kabupaten Bengkalis juga terdapat suku asli yang mendiami pesisir pantai dan kawasan hutan yang kehidupannya masih sederhana, seperti Suku Sakai, Suku Laut, Suku Akit, Suku Bonai, Suku Hutan dan dalam hal ini Pemerintah Bengkalis telah melakukan pembinaan setiap tahunnya.
Keterangan saksi Usman dan Sudarta bertentangan dengan RPJP Bengkalis 2005-2025; Perda 10/2015 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya; Perda 10/2018 tentang Pedoman Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Permen LHK P21/2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak termasuk Putusan MK 35/PUU-X/2012 dan Putusan MK 95/PUU-XII/2014 secara gamblang menyebut, hukum telah mengakui keberadaan hak ulayat maupun wilayah masyarakat hukum adat.
“Secara administrasi hukum, masyarakat Sakai belum “didaftarkan” atau “tidak terdaftar” pada instansi pemerintah, bukan kesalahan Bongku atau masyarakat Sakai. Itu murni kesalahan pemerintah daerah karena belum menetapkan Perda. Secara hukum ketatanegaraan masyarakat adat telah diakui dalam sistem hukum Indonesia,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.
Pada 2013 grup Asia Pulp and Paper (APP)—salah satu anak perusahaannya PT Arara Abadi—meluncurkan komitmen bernama Forest Conservation Policy (FCP) APP yang diumumkan keseluruh dunia bahwa APP mengakui kesalahannya selama ini merusak hutan, gambut dan merampas wilayah masyarakat adat dan tempatan.
Pada komitmen 3 menyatakan keterlibatan social dan masyarakat. Untuk menghindari maupun menyelesaikan konflik sosial di seluruh rantai pasokannya, APP akan secara aktif meminta dan mengikutsertakan saran dan masukan berbagai pemangku kepentingan termasuk masyarakat sipil, untuk menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut, tiga diantaranya yaitu: FPIC dari masyarakat asli dan komunitas lokal, penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kepatuhan terhadap hukum, prinsip dan kriteria sertifikat bertaraf internasional yang relevan.
Gubernur Riau sebagai Datuk Seri Setia Amanah Syamsuar kembali menyampaikan komitmennya sembari mengingatkan LAM Riau dalam acara doa virtual yang ditaja LAM Riau sempena ulang tahun emas LAM Riau pada 7 Juni 2020, “Lembaga adat tak lagi hanya bicara adat budaya, namun juga muatan lokal, hutan dan tanah serta yang terkandung di dalamnya untuk kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan, melalu PS dan TORA. Tanah ulayat adalah milik masyarakat adat.”
“Bila perlu LAM Riau menghukum adat PT Arara Abadi berupa mengembalikan hutan tanah masyarakat adat Sakai yang selama ini telah dirusak,” kata Made Ali.
Narahubung:
Made Ali, Koordinator Jikalahari 081275311009
Arpiyan Sargita, Staf Kampanye dan Advokasi Jikalahari 0812 6111 6340