Bertekun dalam Pertanian di Lahan Gambut

Gambut menjadi jenis lahan yang dominan di wilayah pesisir Kalimantan Barat. Sifat tanahnya yang asam membuat lahan itu sangat sulit diolah untuk keperluan budidaya sektor pertanian. Namun, berkat kerja keras dan ketekunan masyarakat, lahan tersebut bisa berdaya guna untuk meningkatkan ekonomi masyarakat.

 

Salah satu sentra pertanian hortikultura di lahan gambut bisa ditemukan di Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya. Subejo (44), petani di Desa Rasau Jaya III, mengatakan, perlu waktu bertahun-tahun bagi lahan gambut untuk bisa ditanami tanaman pangan dan hortikultura.

Itu pulalah yang menyebabkan lahan gambut di wilayah pesisir, terutama lahan gambut dengan kedalaman kurang dari dua meter, menjadi lahan tidur selama bertahun-tahun. ”Banyak orang malas mengolah lahan gambut karena memang biaya yang diperlukan mahal, berbeda dengan jenis tanah di Jawa yang umumnya lebih subur,” kata petani pendatang asal Grobogan, Jawa Tengah, itu pada hari Rabu (17/11).

Rasau Jaya merupakan salah satu wilayah pesisir di Kalimantan Barat dengan jenis tanah yang paling dominan adalah lahan gambut. Pada tahun 1997 Subejo mencoba mengolah lahan gambut dengan terlebih dahulu menebarkan kapur. Kapur memiliki sifat menurunkan kadar asam. Namun, kapur saja belum cukup. Lahan gambut ternyata juga hanya memiliki unsur dominan nitrogen, padahal lahan akan cocok digunakan untuk bertani jika memiliki unsur lain, seperti fosfat, kalium, dan klorida.

”Satu hektar lahan gambut yang pertama kali akan digunakan untuk tanaman jagung, setidaknya membutuhkan modal sebesar Rp 8 juta hingga Rp 10 juta,” kata Subejo. Dari lahan seluas itu akan diperoleh penghasilan sekitar Rp 16 juta.

Kendati keuntungan masih sangat kecil, langkah Subejo memanfaatkan lahan gambut diikuti juga oleh petani-petani lain karena melihat bahwa lahan gambut bisa digunakan. ”Dari uji coba beberapa kali, ternyata yang paling ekonomis untuk pertanian di lahan gambut adalah sayuran dan buah-buahan. Namun, modalnya sangat besar,” kata Subejo.

Subejo memberi contoh, untuk komoditas semangka, misalnya, diperlukan modal Rp 25 juta per hektar, tetapi jika panen bagus akan memberikan penghasilan setidaknya Rp 60 juta dalam masa budidaya selama 90 hari. Komoditas melon dengan modal Rp 70 juta akan memberikan penghasilan Rp 140 juta.

Petani lain

Petani lahan gambut lainnya di Rasau Jaya, Junaedi, mengatakan, kerja keras di lahan gambut harus dilakukan terutama ketika musim kemarau. ”Saluran irigasi harus bagus supaya kadar air di tanah tetap normal ketika hujan tidak turun. Ketika panen, kadang-kadang juga saat pasang air sehingga perlu waktu panen lebih lama,” ujar Junaedi.

Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Kalimantan Barat Hazairin mengatakan, para petani di lahan gambut memberi kontribusi penting dalam penyediaan sayuran dan buah di Kalimantan Barat. ”Kalimantan Barat bertekad mengurangi ketergantungan terhadap sayuran dan buah dari luar pulau. Sekarang, hanya komoditas tertentu, terutama sayuran dan buah dataran tinggi saja yang masih harus didatangkan. Selebihnya, sudah bisa diproduksi petani lokal,” kata Hazairin.

Selama beberapa dekade, Kalimantan Barat bergantung pada sayuran dan buah-buahan dari Pulau Jawa karena tidak banyak petani lokal yang memproduksinya. Itulah sebabnya kenapa harga sayuran dan buah relatif mahal di Kalimantan Barat, bahkan di pasar-pasar tradisional sekalipun.

Lewat orang-orang yang bertekun mengolah lahan gambut yang tidak termasuk dalam lahan gambut dilindungi karena memiliki kedalaman lebih dari dua meter, ketahanan pangan di Kalimantan Barat bisa dibangun dan dipertahankan. Mereka kembali memberi bukti bahwa kerja keras dan tidak kenal putus asa tetaplah memberi hasil yang setimpal. (aha)

Sumber: KOMPAS edisi cetak: Kamis, 16 Desember 2010

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *