CAT 2025 Jikalahari: Setelah Bencana Ekologis Sumatera, Menata Ulang Tata Ruang, Cabut Izin Korporasi di DAS

Pekanbaru, 29 Desember 2025 – Jikalahari kembali menerbitkan Catatan Akhir Tahun (CAT) 2025 bertajuk “Setelah Bencana Ekologis Sumatera, Menata Ulang Tata Ruang dan Cabut Izin Korporasi di DAS”. CAT Jikalahari 2025 memuat analisis data kehutanan dan lingkungan hidup, temuan lapangan, serta evaluasi kebijakan dan penegakan hukum sumber daya alam–lingkungan hidup (SDA–LH) di Provinsi Riau sepanjang tahun 2025.

Selain memotret kondisi Riau, CAT Jikalahari 2025 juga menempatkan bencana ekologis yang melanda Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh sebagai peringatan serius bagi Riau. Jikalahari menilai bencana hidrometeorologi pada tahun ini bukan semata dipicu cuaca ekstrem dan siklon tropis, melainkan merupakan dampak langsung dari kerusakan ekologis struktural akibat deforestasi, alih fungsi hutan di daerah aliran sungai (DAS), serta ekspansi konsesi kehutanan, perkebunan sawit, dan tambang yang terus dibiarkan negara.

Uraian fakta-fakta sepanjang 2025 tersebut terangkum dalam beberapa poin utama sebagai berikut:

Pertama, kondisi kehutanan dan deforestasi yang kian mengkhawatirkan.
Berdasarkan analisis citra satelit dan verifikasi lapangan, deforestasi di Riau sepanjang 2025 mencapai 24.085 hektar, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Sisa tutupan hutan alam Riau tercatat hanya 1.315.364 hektar, dan tidak ada satu pun kabupaten/kota yang memiliki tutupan hutan alam di atas 30 persen. Deforestasi terjadi tidak hanya di kawasan konsesi PBPH dan sawit, tetapi juga di kawasan konservasi dan hutan lindung, yang berdampak langsung pada rusaknya habitat satwa liar dan meningkatnya konflik satwa dengan manusia.

Kedua, kebakaran hutan dan lahan yang kembali melonjak tajam.
Luas karhutla di Riau sepanjang 2025 mencapai 19.671 hektar, meningkat tajam sebesar 78 persen atau bertambah 8.643 hektar dibandingkan tahun 2024. Sebanyak 568 hotspot atau sekitar 14 persen dari total hotspot di Riau pada 2025 berada di dalam areal konsesi PBPH dan perkebunan kelapa sawit. Dari jumlah tersebut, 185 hotspot terdeteksi di konsesi PBPH dan 383 hotspot berada di perkebunan sawit. Hotspot terbanyak di kawasan konsesi PBPH tercatat berada di areal PT Selaras Abadi Utama dengan 64 titik panas.

Ketiga, banjir dan longsor yang terus berulang di wilayah yang sama.
Disamping itu, banjir kembali melanda berbagai wilayah di Riau, merendam ribuan rumah warga dan lahan pertanian. Jikalahari menemukan keterkaitan kuat antara banjir dengan penguasaan ruang oleh konsesi industri di sepanjang Sungai Kampar, Rokan, Indragiri, dan Siak. Keberadaan puluhan konsesi PBPH dan sawit di DAS menghilangkan fungsi resapan air dan memperbesar risiko banjir setiap musim hujan. Longsor juga terjadi di sejumlah wilayah, termasuk di area yang berkaitan dengan aktivitas pertambangan.

Keempat, konflik masyarakat dan korporasi yang tidak kunjung selesai.
Jikalahari mencatat sedikitnya delapan konflik antara masyarakat dan korporasi di Riau. Konflik dipicu oleh sengketa lahan, perampasan wilayah kelola masyarakat, hingga pengelolaan kebun sawit bekas HGU yang tidak transparan. Pada sejumlah kasus, warga justru dikriminalisasi, sementara akar konflik berupa tumpang tindih izin dan ketimpangan penguasaan lahan tidak diselesaikan negara.

Kelima, krisis keanekaragaman hayati akibat rusaknya habitat.
Tekanan terhadap kawasan konservasi seperti Taman Nasional Tesso Nilo semakin parah. Jikalahari mencatat kematian satwa liar, konflik gajah dan harimau dengan manusia, serta penyusutan kawasan taman nasional akibat perambahan dan kebun sawit ilegal. Hingga akhir 2025, sebagian besar kawasan TNTN telah berubah fungsi, mempersempit ruang jelajah satwa dan meningkatkan risiko konflik serta kematian satwa liar.

Keenam, ruang kelola masyarakat yang masih tertinggal.
Realisasi Perhutanan Sosial di Riau hingga 2025 baru mencapai sekitar 14 persen dari target. Program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) juga belum menyelesaikan akar konflik agraria, terutama terkait tanah ulayat, kawasan hutan, dan bekas HGU. Lambatnya pengakuan dan penguatan ruang kelola masyarakat menunjukkan ketimpangan serius dalam kebijakan penguasaan ruang.

Ketujuh, kebijakan SDA–LH yang belum menyentuh akar persoalan.
Sepanjang 2025, pemerintah pusat dan daerah menerbitkan sejumlah regulasi di sektor SDA–LH. Namun sebagian kebijakan justru menimbulkan kekhawatiran karena berpotensi melegitimasi pelanggaran lama, memperkuat pendekatan represif, dan belum menjamin perlindungan ruang hidup masyarakat serta pemulihan ekologis yang nyata. Penataan ruang, khususnya revisi RTRW, masih minim partisipasi publik dan belum berorientasi pada penyelamatan ekosistem tersisa.

Persoalan-persoalan ekologis yang terangkum dalam CAT Jikalahari 2025 menunjukkan bahwa degradasi lingkungan hidup di Riau telah berada pada titik darurat. Oleh sebab itu, Jikalahari mendesak:

  1. Presiden Prabowo segera menetapkan status Bencana Nasional Banjir Sumatera dan mengevaluasi Tata Ruang pasca bencana banjir dan longsor termasuk mencabut izin korporasi PBPH, perkebunan dan pertambangan di seluruh DAS.
  2. Presiden Prabowo tidak takut oligarki perusak Ekologis dan segera memerintahkan Menhut, Jakasa Agung dan Kepolisian menindak korporasi perusak hutan.
  3. Presiden Prabowo, mengevaluasi kebijakan yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan berisiko melanjutkan perusakan hutan.
  4. Gubernur Riau dan DPRD membahas Perda RTRWP Riau dengan mengedepankan penyelamatan hutan alam tersisa, serta mengakomodir hak masyarakat adat serta proses pembentukan yang dilakukan secara transparan, partisipatif dan akuntabel.
  5. Gubernur Riau mempercepat penyelesaian konflik SDA dengan pengakuan terhadap hak masyarakat adat dan tempatan serta mempercepat realisasi ruang kelola masyarakat berupa perhutanan sosial mulai dari perizinan hingga ke pada pengelolaannya.
  6. Bupati/Walikota se Riau, segera mengarusutamakan isu perlindungan dan pemulihan SDA-LH.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *