PEKANBARU, 30 NOVEMBER 2021 – Sudah bukan rahasia lagi banyak nama pemain industri sawit, mulai dari pabrik kelapa sawit, perusahaan perkebunan hingga pemasok crude palm oil (minyak sawit mentah) terlibat dalam skandal rantai pasokan produk sawit tercemar, dari lokasi penanaman hingga konsumen minyak sawit di dunia.
Pada 2011 dan 2012, investigasi penanaman ilegal Tandan Buah Segar (TBS) dari dalam Taman Nasional Tesso Nilo dan dua konsesi HPH di sekitarnya menandai terkuaknya korporasi global sawit terlibat dalam memasok TBS dari area konservasi. Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dan refinery yang menikmati pasokan TBS dari TNTN tersebutlah Wilmar dan Asian Agri (Royal Golden Eagle).
EoF melakukan investigasi kurun 2012 hingga 2014, rantai pasok TBS yang ditanam secara ilegal di dalam Koridor Harimau Bukit Betabuh, dimana nama-nama yang tersangkut seperti Wilmar, Asian Agri, Agro Muko (Belgium SIPEF Group), Darmex, Incasi Raya, Mahkota, Sarimas dan SK Group. Nama terakhir mengklaim jika Astra, Cargill, Darmex, Musim Mas, RGE, Salim, Sarimas dan grup GAR sebagai pelanggannya. CPO dari TBS yang ditanam ilegal di area hutan lindung memasuki rantai pasok sejumlah pemasok sawit terkenal di dunia.
Investigasi EoF pada 2015-2016 menemukan anak perusahaan grup Royal Golden Eagle (RGE), Golden Agri Resources (GAR) dari grup Sinar Mas, Wilmar, Musim Mas dan banyak perusahaan kecil lainnya menerima TBS ilegal CPO yang tercemar TBS ilegal.
Beberapa nama tersangkut pasokan CPO tercemari TBS ilegal seperti Unilever, Nestle dan IKEA yang terdaftar sebagai pembeli WINA Gresik yang membeli CPO dari WINA Pelintung. Cargill membeli minyak sawit dari WINA Pelintung untuk perusahaannya di Amerika dan Pakistan. Archer Daniels Midland (ADM), pemegang saham kedua terbesar Wilmar International, mengambil banyak pasokan minyak sawitnya dari Wilmar.
Pada 2016 website Eyes on the Forest memetakan 196 PKS di Riau dan Jambi, yang terkoneksi dengan para produsen sawit terbesar dunia. CPO yang dihasilkan PKS dibawa truk menuju refinery yang mengantarkan produk industri sawit menuju pasar domestik dan seluruh dunia.
Sejak EoF menerbitkan temuan-temuan tersebut, Wilmar, GAR, RGE (Asian Agri dan Apical) serta Musim Mas telah membuat komitmen luas untuk kelestarian. Grup perusahaan yang disorot dalam investigasi EoF telah berkomitmen untuk menelusuri semua CPO dan TBS mereka sampai tingkat kebun untuk memastikan kesesuaian dengan berbagai komitmen mereka.
Pada 2018 Laporan EoF menemukan PKS yang merupakan pemasok langsung dan tak langsung sejumlah nama pedagang dan pemakai sawit yang berkomitmen nol deforestasi, seperti: AAK, ADM, Bunge, Cargill, Colgate-Palmolive, Fuji Oil, General Mills, IOI, Kellogg’s, Louis Dreyfus, Mars, Mondelēz, Neste, Nestlé, Olam, PepsiCo, Proctor & Gamble, Reckitt Benckiser, Sime Darby dan Unilever.
Kurun waktu Februari-November 2019, EoF melakukan pemantauan lapangan di lebih dari 5% kebun ilegal kebun sawit di Riau tanpa HGU di Kawasan Hutan dan APL (129,948 hektar) yang dikelola oleh 1 koperasi unit desa, 3 perseorangan (cukong) dan 39 perusahaan termasuk Adimulya, Astra, Darmex Agro, First Resources, Gama & Samsung, Hutahaean, Indofood, KLK, Pancaputra Ganda, Peputra Masterindo dan Provident Agro. Dan 29 dari 43 unit pengelolaan ada di dalam dan di sekitar dua lansekap konservasi: Tesso Nilo dan Bukit Tigapuluh dengan taman nasional di masing-masing zona intinya, serta koridor harimau Bukit Batabuh.
Investigasi EoF antara Mei dan November 2019 menemukan bahwa TBS ilegal dari unit-unit yang dibeli oleh 15 PKS mencakup grup-grup Darmex, First Resources, Incasi Raya, Jhagdra, Mitra Agung Sawita Sejati dan Royal Golden Eagle. PKS itu juga termasuk 5 pelanggar berulang yang disorot Laporan EoF “Cukup Sudah” pada 2018. Pabrik First Resources (PT. Subur Arum Makmur 1 Senamanenek Mill) yang memiliki sertifikasi RSPO (Mass Balance Supply Chain Model) menunjukkan bahwa bagian konvensional tak bersertifikat dari produk Mass Balance pabrik mengandung TBS ilegal.
Antara Juli dan November 2019, EoF juga melacak truk-truk CPO milik 9 dari 15 PKS di atas dan menemukan bahwa CPO tercemar TBS ilegal telah dibeli oleh 6 pabrik penyulingan dari Darmex, First Resources, Musim Mas, Permata Hijau, Royal Golden Eagle dan Wilmar. Semuanya terkecuali penyulingan Darmex adalah anggota RSPO dan memiliki sertifikat-sertifikat RSPO Mass Balance, Segregated and Identity Preserved Supply Chain.
Ini baru nama-nama yang terikat dengan komitmen kelestarian dan reputasi tidak lestari, dan tentu saja nama-nama pemasok yang seharusnya disidik penegak hukum karena melakukan penanaman TBS ilegal. Komitmen no deforestation no peat exploitation (NDPE) oleh raksasa sawit dan pemakainya tentu tidak akan ada lagi jika sawit menjadi tanaman hutan.
Pada Januari 2017 dari hasil analisa Koalisi Rakyat Riau (KRR) atas temuan Pansus DPRD Riau, koalisi melaporkan kepada Polda Riau adanya tindakan 33 perusahaan kelapa sawit yang melakukan penanaman dalam kawasan hutan seluas 103.320 hektare. Mereka juga menanami sawit tanpa izin HGU di lahan seluas 203.977 hektare. Laporan dari CSO ini juga diteruskan kepada Kapolri, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kompolnas. .
Adapun nama-nama 33 perusahaan yang dilaporkan : PT Hutahean, PT Arya Rama Prakarsa, PT Aditya Palma Nusantara, PT Air Jernih, PT Eluan Mahkota, PT Egastuti Nasakti, PT Inti Kamparindo, PT Johan Sentosa, PT Sewangi Sawit, Sejahtera, PT Surya Brata; PT Peputra Supra Jaya, PT Inecda Plantation, PT Gandahera Hedana, PT Mekar Sari Alam Lestari, PT Jatim Jaya Perkasa, PT Salim Ivomas Pratama, PT Cibaliung Tunggal Plantation, PT Kencana Amal Tani; PT Karisma Riau Sentosa, PT Seko Indah, PT Panca Agro Lestari, PT Seberida Subur, PT Palma Satu, PT Banyu Bening Utama, PT Duta Palma Nusantara, PT Cerenti Subur, PT Wana Jingga Timur , PT PN V, PT Marita Makmur, PT Fortius Agro Wisata, PT Guntung Hasrat Makmur, PT Guntung Idaman Nusa, dan PT Bumi Palma Lestari Persada.
Tak hanya 33 perusahaan ini, Pansus Monitoring Evaluasi Perizinan bentukan DPRD Provinsi Riau pada 2015 menemukan 1,8 juta hektar sawit illegal yang beroperasi dalam Kawasan hutan di Riau. Total ada 378 perusahaan sawit yang menanam tanpa izin. Bahkan dari hasil perhitungan Pansus Monev, potensi kerugian negara dari pajak perkebunan yang tidak dibayarkan mencapai Rp 24 triliun per tahunnya.
Nama-nama besar terkait temuan DPRD Riau ini merupakan korporasi sawit global yang terlibat dalam dugaan kongkalikong sulap izin tata ruang ini, seperti Wilmar, First Resources, Golden Agri-Resources, Musim Mas, Panca Eka dan Bumitama Gunajaya Agro. Jika sawit jadi tanaman hutan, tentu nama-nama tersangkut dugaan kasus hukum akan lepas dari jeratan.
#SEKIAN#
Narahubung
Okto Yugo Setyo, Wakil Koordinator Jikalahari: +62 853-7485-6435