Pekanbaru, 16 Februari 2021—Jikalahari menilai penetapan siaga darurat karhutla pada 15 Februari 2021 hingga Oktober 2021 oleh Gubernur Riau Syamsuar bentuk kelemahan kepemimpinan Syamsuar menghentikan karhutla. “Belum apa-apa Gubernur Riau sudah minta bantuan pusat. Padahal karhutla masih sanggup dikendalikan Gubernur Riau. Mengapa pendekatan pencegahan karhutla tidak berubah? Selalu mengandalkan duit jumbo untuk pemadaman,” kata Okto Yugo Setyo, Wakil Koordinator Jikalahari.
Deputi V Bidang Koordinasi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Kemenko Polhukam Irjen Pol Carlo Brix Tewu katakan ada keuntungan yang didapatkan daerah bila sudah menetapkan status siaga darurat karhutla di antaranya Pemda akan mendapat dukungan dana dari pemerintah pusat.
“Penggunaan APBN dan APBD hanya untuk ‘memadamkan api karhutla’ sangat mubazir, uang itu hilang begitu saja. Justru anggaran ini akan bermanfaat digunakan untuk penertiban sawit illegal serta merealisasikan PS di Riau. Ini lebih jelas manfaatnya untuk masyarakat, dan tentunya berefek terhadap pencegahan karhutla,” kata Okto.
Siaga Darurat—PermenLHK nomor P.9/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2018 tentang Kriteria Teknis Status Kesiagaan dan Darurat Kebakaran Hutan dan Lahan—adalah suatu keadaan Karhutla, berpotensi bencana, yang merupakan peningkatan eskalasi ancaman yang penentuannya didasarkan atas hasil pemantauan yang akurat oleh instansi berwenang dan juga mempertimbangkan kondisi nyata/dampak yang terjadi di masyarakat.
“Pada November 2020 – 14 Februari 2021—empat bulan—Riau tak berstatus siaga darurat, apa yang dikerjakan Gubernur Riau untuk mencegah karhutla?” kata Okto, “mestinya, masa itu Gubernur memimpin langsung pencegahan karhutla.” Seharusnya Gubernur segera melakukan perbaikan tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan yang sejatinya sudah dimulai. “Termasuk menerapkan Riau Hijau yang digadang-gadangkan sejak awal terpilih,” tambah Okto.
Pertama, perihal SE No 335/SE/2019 tentang Penanggulangan Karhutla kepada seluruh Bupati/ Walikota se-Riau yang terbit pada 20 September 2019. Dalam SE Gubernur Riau meminta seluruh Bupati/Walikota se-Riau memberikan police line dan pengumuman ‘Dilarang Menanam’ di areal terbakar untuk mengetahui pembakar lahan tersebut. Serta meminta Bupati/Walikota bekerja sama dengan kepolisian setempat dan membekukan izin lingkungan korporasi yang terbakar agar korporasi fokus memadamkan api di lahan atau areal sekitar lahannya.
“Tapi sampai detik ini tak ada korporasi yang arealnya dipolice line atau izin lingkungannya dibekukan,” kata Okto. Padahal sejak SE terbit hingga Februari 2021 berdasarkan analisis citra satelit Terra-Aqua MODIS terdapat 1.611 hotspot di areal konsesi perusahaan. Sekitar 258 titik diantaranya berpotensi menjadi titik api.
Potensi hotspot terbanyak berada di areal konsesi HTI PT Arara Abadi (181), PT Sumatera Riang Lestari (154), PT RAPP (141), PT Satria Perkasa Agung unit Serapung (74) dan PT Sekato Pratama Makmur (60). Sedangkan untuk perkebunan kelapa sawit, hotspot terbanyak berada di PT Surya Dumai Agrindo (100), PT Trisetya Usaha Mandiri (39), PT Bertuah Aneka Yasa (31), PT Tabung Haji Indo Plantation (31) dan PT Tani Swadaya Perdana (22).
“Bahkan, areal PT Arara Abadi yang terbakar pada 29 Juni 2020 seluas 83 hektar saja tidak ada upaya penegakan hukum yang dilakukan Gubernur. Padahal sudah jelas-jelas areal tersebut terbakar,” kata Okto.
Kedua, Satgas sawit illegal yang dibentuk Syamsuar berdasarkan SK Gubri Nomor Kpts.1078/IX/2019 pada 12 Agustus 2019 juga tak jelas hasil kerjanya. Satgas yang dibagi menjadi 3 tim di antaranya Tim Pengendali, Operasi dan Yustisi bertugas untuk melakukan monitoring dan penyelidikan terhadap kebun-kebun sawit illegal yang ada di Riau. Hingga Januari 2020, Tim Satgas Terpadu ini telah mengidentifikasi 80.885,59 ha kebun sawit di 9 kabupaten Riau. Temuannya ada 32 korporasi illegal yang menggarap 58.350 ha lahan. “Tapi tak jelas tindak lanjut dari hasil temuan ini, sampai saat ini belum ada perusahaan perkebunan kelapa sawit yang ditindak hukum berdasarkan hasil temuan satgas Sawit Ilegal,” tegas Okto.
Ketiga, Syamsuar mestinya segera membuat KLHS, karena hingga kini Provinsi Riau belum memiliki Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang telah divalidasi. Apalagi paska putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan gugatan atas Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau maka diperlukan KLHS untuk memperbaiki Perda RTRWP Riau.
Keempat, capaian Perhutanan Sosial (PS) dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) masih minim. Realisasi PS baru mencapai 100.825 hektar atau baru 9,26% dari target yang ditetapkan KLHK. Begitu juga TORA yang dialokasikan seluas alokasi TORA seluas 503,563 Ha belum terlihat di Riau. “Mestinya realisasi PS dan TORA lebih cepat, sehingga karhutla bisa ditekan, karena masyarakat akan memiliki akses dan tanggung jawab terhadap wilayahnya. Apalagi sejak awal Gubernur menjadikan PS dan TORA menjadi program prioritas,” kata Okto.
Jikalahari menilai jika sejak awal Gubernur Riau Syamsuar fokus melaksanakan 4 hal yang telah direncanakannya sejak jauh hari, karhutla tentunya dapat dicegah. “Empat hal itu dilakukan dalam empat bulan saja sebagai bentuk pencegahan karhutla sudah cukup. Siaga darurat sesungguhnya tak dibutuhkan Riau,” tegas Okto.
Narahubung:
Okto Yugo Setyo, Wakil Koordinator Jikalahari: +62 853-7485-6435
Aldo, Advokasi dan Kampanye Jikalahari: +62 812-6111-6340