Pekanbaru, 21 April 2019 – Menyambut Hari Bumi Internasional yang jatuh pada Senin, 22 April 2019 beberapa organisasi non-pemerintah di Provinsi Riau bersama masyarakat sipil dan mahasiswa melaksanakan aksi damai bertajuk “Selamatkan Bumi Melayu, Jom Lawan Perda RTRWP Riau” di area Car Free Day Pekanbaru. Tidak hanya mengkampanyekan penyelamatan bumi, WALHI Riau, Jikalahari dan massa yang turut berpartisipasi menggalang dukungan publik dalam rangka menolak Perda 10 Tahun 2018 tentang RTRW Provinsi Riau dengan membentangkan spanduk sepanjang 15 meter dan membubuhkan tanda tangan pada kain putih yang disediakan sebagai bentuk dukungan terhadap penolakan tersebut.
Jikalahari yang diwakili oleh Aldo, menilai penerbitan Perda 10/2018 yang diundangkan pada 8 Mei 2018 diduga telah melanggar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Penerbitannya terkesan dipaksakan dan lebih mengutamakan aspek ekonomi untuk sekelompok elit dan pengusaha dibanding perlindungan ruang-ruang ekologis dan ruang masyarakat. Menurutnya, Pemprov Riau gagal paham terkait validasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 188.34-9552 Tahun 2017 tentang Evaluasi Ranperda Provinsi Riau Tentang RTRW Provinsi Riau tahun 2018-2038. Sebab berdasarkan surat tanggal 11 April 2018, Menteri LHK belum menyetujui validasi KLHS RTRWP Riau 2017-2037 sebagaimana permohonan validasi dokumen RTRWP Riau pertanggal 2 Februari 2018 dan tanggal 23 Maret 2018 dari Gubernur Riau dan PLT Gubernur Riau.
Surat KLHK tersebut merekomendasikan Gubernur Riau menyempurnakan kembali KLHS selambat-lambatnya dalam 1 (satu) tahun, dengan berbagai tahapan yang harus dilakukan. Artinya Menteri LHK belum menyetujui validasi KLHS RTRWP Riau 2018-2038, karena tidak lengkap. Merujuk pasal 26 ayat 5 PP 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis. Jika hasil pemeriksaan menunjukkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak lengkap, Menteri atau gubernur mengembalikan dokumen kepada Penyusun Kebijakan, Rencana, dan/atau Program untuk dilengkapi. Sedangkan yang dimaksud ayat (2) ialah Menteri atau gubernur melakukan pemeriksaan kelengkapan permohonan Penyusun Kebijakan, Rencana, dan/atau Program mengajukan permohonan validasi KLHS secara tertulis dalam waktu paling lama 3 hari kerja sejak diterimanya permohonan, sesuai dengan Diktum Kedua Kepmendagri 188.34-9552 Tahun 2017 tentang Evaluasi Ranperda Provinsi Riau Tentang RTRW Provinsi Riau Tahun 2017-2037, Gubernur Riau wajib menyusun KLHS dengan berkoordinasi dengan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
“Gagal paham ini ditunjukkan Pemprov dengan tidak menindaklanjuti rekomendasi KLHK dalam surat 11 April 2018, namun tiba-tiba Sekda mengirim surat ke Mendagri cq. Direktur Bina Pembanguna Daerah untuk meminta Nomor Register. Ini jelas menyalahi kepmendagri 188.34-9552 Tahun 2017 yang mengharuskan pemerintah provinsi Riau untuk melakukan penyempurnaan serta penyesuaian KLHS terlebih dahulu,” ujar Aldo.
Menguatkan pernyataan Aldo, WALHI Riau yang diwakili Devi Indriani menambahkan bahwa perda tersebut memperparah ketimpangan ruang hidup dan ruang kelola rakyat. Ia menyebutkan dari total alokasi ±1,4 juta hektar untuk Perhutanan Sosial (PS) di Riau, implementasinya hingga hari ini masih diangka kurang dari 100.000 hektar atau sekitar 6%. Perda ini akan semakin memperlambat akselerasi perluasan PS karena Pasal 46 ayat (2) hurud e yang menyebutkan pemanfaatan kawasan hutan untuk perhutanan sosial dan penggunaan kawasan hutan untuk Tanah Objek Reforma Agraria sebelum mendapat rekomendasi dari Gubernur terlebih dahulu dilakukan pembahasan bersama DPRD.
Pasal itu, menurutnya bertentangan mekanisme perhutanan sosial yang dijelaskan dalam P.83 dan juga bertentangan dengan tugas dan wewenang dari DPRD sendiri. Kewenangan DPRD Riau yang dimandatkan dalam Perda RTRW Riau menyalahi UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terkait tugas dan wewenang DPRD Provinsi yakni membentuk Perda Provinsi bersama gubernur, membahas dan memberikan persetujuan Ranperda provinsi tentang APBD yang diajukan gubernur, melaksanakan pengawasan pelaksanaan Perda dan APBD dan mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur kepada Presiden melalui Menteri.
“Pengesahan perda ini membuka keran investasi sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan dan mengakomodir ruang hidup rakyat serta aspek ekologis. Diketahui dalam perda tersebut kawasan lindung gambut hanya sekitar 21.000 hektar. Padahal bencana ekologis yakni kabut asap yang terjadi sumber utamanya adalah kebakaran di gambut yang mengakibatkan kerusakan yang merupakan beban izin konsesi korporasi diatasnya. Kenyataannya Pemerintah Provinsi Riau tutup mata akan hal ini,” tambah Devi.
Beberapa mahasiswa turut merespon dugaan cacat formil dan materil dari Perda 10/2018 ini. Ali yang merupakan ketua Mahasiswa Pecinta Alam Fakultas Hukum UIR mengkhawatirkan peruntukan RTRW Riau bagi korporasi yang akan memperparah kondisi lingkungan hidup di Riau, terlebih serangan harimau sumatera yang merupakan satwa endemik terhadap warga beberapa tahun belakangan akibat habitatnya yang hilang karena ekspansi korporasi. Senada dengan Ali, Liza yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Riau menduga tertutupnya proses RTRW Riau hingga pengesahannya karena mengakomodir kepentingan segelintir kelompok.
Menyikapi pertentangan dalam Perda RTRW Riau tersebut dan dalam rangka menjaga bumi melayu dari kerusakan dan bencana ekologis, WALHI Riau bersama Jikalahari menggalang dukungan publik terkait rencana melakukan Judicial Review ke Mahkamah Agung atas Perda 10/2018 dalam waktu dekat.
Narahubung:
Aldo (Jikalahari) 082389927052
Devi indriani (Walhi Riau) 082285356253