Rapor Merah 350 Hari Nandang Sebagai Kapolda Riau: Tak Ada Progres Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan kehutanan

Pekanbaru, 21 Agustus 2018— Jikalahari memberi nilai buruk 350 hari kinerja Kapolda Riau Irjen Pol Drs Nandang, MH untuk penegakan hukum lingkungan dan kehutanan di Riau. Polda Riau tidak menunjukan progres penegakan hukum perusakan lingkungan hidup dan kehutanan yang melibatkan korporasi. Ini menjadi catatan buruk dan penurunan prestasi dari kepemimpinan Kapolda Riau sebelumnya sekaligus menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Kapolda Riau yang baru.

“Selama  350 hari Polda Riau dipimpin Nandang tidak menunjukkan progres dalam penegakan hukum dan lamban merespon laporan masyarakat. Tidak terlihat komitmen Kapolda Riau melawan kejahatan korporasi,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.

Pada 13 Agustus 2018 Surat Telegram Kapolri Nomor ST/2015/VIII/KEP/2018 menyebutkan adanya pergantian Kapolda Riau Irjen Pol Drs Nandang, MH digantikan oleh Brigjen Pol Widodo Eko Prihastopo, Wakapolda Jawa Timur. Nandang dimutasi ke Badan Intelejen Negara sebagai Pejabat Tinggi Baintelkam Polri.

Pada saat serah terima jabatan pada awal September 2017, Irjen Pol Zulkarnain, Kapolda Riau sebelumnya berpesan agar Nandang meneruskan proses hukum atas pemeriksaan sejumlah perusahaan yang diduga melanggar UU lingkungan hidup dan kehutanan. Ini terkait 33 korporasi yang dilaporkan Koalisi Rakyat Riau (KRR) dan Jikalahari yang beroperasi dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin.

Semasa Zulkarnain menjabat, PT Hutahean dan PTPN V naik ke penyidikan dan ditetapkan sebagai tersangka. Ia menyarankan agar perusahaan lainnya tetap diproses dan upayakan kenakan kepada Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)[1]. Namun PT Hutahean ajukan permohonan praperadilan terhadap penetapan tersangka dan pada 19 Februari 2018, hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru mengabulkan permohonan praperadilan PT Hutahean. Namun setelah permohonan praperadilan dikabulkan, tidak ada langkah selanjutnya yang dilakukan Polda Riau.

Selain tidak memiliki inisiatif menindaklanjuti laporan 33 korporasi yang disampaikan KRR dan Jikalahari, masih banyak pekerjaan yang tidak diselesaikan Nandang sebagai Kapolda Riau terkait kasus kejahatan lingkungan hidup di Riau, diantaranya:

  1. Tidak berani melanjutkan penyidikan 15 korporasi pembakar hutan dan lahan tahun 2015. Padahal hasil evaluasi penyidik Mabes Polri yang mengevaluasi SP3 15 perusahaan menyatakan 6 dari 15 korporasi yang dihentikan perkaranya (SP3) oleh Polda Riau layak dilanjutkan.
  2. Belum menindaklanjuti laporan 49 korporasi diduga pelaku pembakaran hutan dan lahan pada 2014 – 2016 yang dilaporkan Eyes on the Forest pada 18 November 2016 lalu. EoF menemukan areal 29 korporasi HTI dan 20 korporasi sawit terbakar pada 2014 – 2016. Temuan EoF, areal korporasi kembali terbakar dan ditanami kembali oleh sawit dan akasia.
  3. Tidak ada perkembangan penyidikan PT Sontang Sawit Perkasa yang terbakar pada 2016. Padahal PT Wana Subur Sawit Indah yang bersamaan ditetapkan sebagai tersangka sudah diproses di Pengadilan Negeri Siak dan dinyatakan terbukti bersalah.
  4. Tidak ada perkembangan penyelidikan PT Andika Permata Sawit Lestari sebagai tersangka tindak pidana perkebunan dan kehutanan serta penyelidikan terhadap pekerja PT APSL yang menghalang-halangi staff KLHK saat melakukan penegakan hukum pada 2016.
  5. Tidak menindaklanjuti laporan masyarakat Desa Sotol bersama Jikalahari terhadap dugaan tindak pidana kehutanan yang dilakukan oleh PT Mitra Unggul Pusaka (Asian Agri grup, milik Sukanto Tanoto) yang dilaporkan pada 28 Februari 2018. PT MUP melakukan penanaman sawit di dalam kawasan hutan dengan fungsi Hutan Produksi Tetap (HP).

“Kapolda Riau Nandang meninggalkan catatan buruk bagi masyarakat Riau karena tidak berhasil menuntaskan penegakan hukum terhadap penjahat lingkungan hidup dan kehutanan di Riau,” kata Made Ali.

Akibat dari penegakan hukum yang buruk dari Kapolda Nandang, konsesi korporasi yang dilaporkan kembali terbakar dan hotspot terus bermunculan, apalagi tahun 2018 musim kemarau berlangsung lebih panjang. Pantauan Jikalahari sepanjang Januari – Agustus 2018, ada 2.314 hotspot di Riau. Dengan confidence > 70% ada 1048 titik yang berpotensi menjadi titik api. Hotspot terlihat berada di areal korporasi, kawasan gambut dalam, areal konservasi dan moratorium.

Di areal korporasi, hotspot paling banyak di PT Satria Perkasa Agung (107 hotspot), PT Rimba Rokan Perkasa (66 hotspot), PT Sumatera Riang Lestari (29 hotspot), PT Ruas Utama Jaya(29 hotspot), PT Diamond Raya Timber (39 hotspot), PT Suntara Gaja Pati (26 hotspot), PT Riau Andalan Pulp & Paper (9 hotspot), PT Bhara Induk (10 hotspot)dan PT National Timber Forest Product/ PT Nasional Sagu Prima (13 hotspot). Hotspot-hotspot ini bermunculan di kawasan gambut dengan kedalaman rata-rata 1 meter hingga melebihi 4 meter. Korporasi-korporasi ini terafiliasi dengan APP Group dan APRIL Group dan telah dilaporkan Jikalahari pada 2016 silam.

“Tidak heran bila karhutla kembali muncul di Riau, karena penegakan hukum oleh Polda Riau lemah terhadap korporasi,” kata Made Ali.

Kinerja yang sangat buruk ini patut disayangkan. Sebab penetapan Tipe A Polda Riau sejak 12 November 2016 seharusnya memotivasi kinerja penegakan hukum menjadi lebih baik lagi. Polda Riau ditetapkan sebagai Polda Tipe A karena dianggap memiliki beban kerja dan kerumitan persolan yang lebih besar dibandingkan daerah lain. Sehingga Polda Riau memiliki tambahan sumber daya manusia yang lebih banyak dan juga fasilitas penunjang yang lebih mumpuni.

“Kapolda Nandang justru tidak memaksimalkan fasilitas dan kemampuan yang dimilikinya, penegakan hukum justru ‘melempem’ dan tidak berani melawan para penjahat lingkungan tersebut,” kata Made.

Catatan Jikalahari pada zaman Kapolda Condro Kirono berhasil menangani perkara karhutla korporasi PT Adei Plantation dan PT Nasional Sagu Prima tahun 2013 dan 2014. Penanganan perkara ini menjadi contoh penanganan perkara di Polda di Indonesia. Era Kapolda Dolly Bambang Hermawan, menangani  perkara karhutla PT Langgam Inti Hibrindo dan PT Palm Lestari Makmur pada 2016 dan Thamrin Basri, Pimpinan Kebun PT Wana Sawit Subur Indah pada 2017. Pada masa kepemimpinan Brigjen Pol Sutjiptadi, sepanjang 2006-2008 Polda Riau juga berani menetapkan 14 korporasi Hutan Tanaman Industri (HTI) pemasok kayu untuk RAPP dan IKPP sebagai tersangka kasus illog.

Prestasi dan keberanian ini harus menjadi catatan pengingat bagi Kapolda Riau, bahwa penegakan hukum harus ditegakkan untuk melawan kejahatan lingkungan hidup dan kehutanan di Riau. Brigjen Pol Drs Widodo Eko Prihastopo, MM yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Kapolda Jawa Timur punya tugas untuk menyelesaikan pekerjaan yang tidak diselesaikan Irjen Pol Nandang.

“ Kapolda Riau baru harus menyatakan ‘Perang’ terhadap penjahat lingkungan untuk perbaikan lingkungan hidup dan kehutanan di Riau. Jangan lagi Kapolda Riau malah takut dan tidak berani melawan penjahat lingkungan tersebut,” kata Made Ali.

Jikalahari merekomendasikan kepada kapolda Riau baru, Brigjen Pol Widodo Eko Prihastopo untuk:

  1. Melanjutkan penyidikan terhadap 15 korporasi pembakar hutan dan lahan yang di SP3 oleh Polda Riau.
  2. Menetapkan 33 korporasi perkebunan kelapasawit yng dilaporkan KRR bersama Jikalahari sebagai tersangka.
  3. Menetapkan 49 korporasi diduga pelaku pembakaran hutan dan lahan pada 2014 – 2016 yang dilaporkan Eyes on the Forest sebagai tersangka.
  4. Menetapkan PT Sontang Sawit Perkasa sebagai tersangka dan mempercepat proses kelengkapan berkas di kejaksaan sehingga segera bisa disidangkan di pengadilan.
  5. Menetapkan PT APSL sebagai tersangka tindak pidana perkebunan dan kehutanan
  6. Melakukan penyidikan terhadap PT Mitra Unggul Pusaka yang melakukan dugaan tindak pidana kehutanan.

 

Narahubung:

Made Ali, Koordinator Jikalahari 0812 7531 1009

Aldo, Staf Kampanye dan Advokasi Jikalahari 0812 6111 6340

 

[1] Kliping koran Tribun Pekanbaru Edisi 8 September 2017

About Nurul Fitria

Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *