Pekanbaru, 14 Agustus 2019—Jikalahari menilai pengesahaan RUU Pertanahan oleh DPR RI akan melanggengkan pembakaran hutan dan lahan oleh korporaasi sawit illegal di Riau dan bertentangan dengan kebijakan yang sedang dijalankan oleh Gubernur Riau Syamsuar yang telah membentuk satgas pernertiban sawit illegal di Riau.
“Gebrakan yang dilakukan Syamsuar merupakan inovasi kepada daerah. Dan ini butuh backup dari Presiden Jokowi secara langsung sebab yang sedang dilawan Syamsuar adalah taipan dan kejahatan korporasi yang punya jejaring dengan elit politik,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.
Jikalahari mengusulkan Presiden Jokowi membentuk tim khusus untuk membantu Gubernur Syamsuar. Lalu, “Presiden Jokowi segera menolak draft RUU Pertanahan yang sedang dibahas oleh DPR RI karena akan melegalkan 378 korporasi sawit dalam kawasan hutan yang saat ini hendak dibereskan oleh Gubernur Riau,” kata Made Ali.
Pada 12 Agustus 2019 Syamsuar membentuk satgas penertiban sawit illegal yang dibagi menjadi tiga tim yaitu tim Pengendali, Tim Operasi dan Tim Yustisi. Tim Pengendali terdiri atas Wakil Gubernur Riau sebagai ketua, lalu Wakapolda Riau, Sekdaprov Riau, Kakanwil ATR/BPN, Kadis LHK, Kadis TPH Bun, Asisten Pemerintahan dan Kesra DLHK, Asisten Perekonomian dan Pembangunan, Asisten Administrasi Umum, Kadis PUPR, dan Kepala Bapenda.
Tim Operasi diketuai oleh Direskrimum Polda Riau, Kalog Korem 031 WB, Kasubdit I Ditreskrimum, Komandan Detasemen ZB 6/1 Korem 031 WB, Panit Unit 4 Subdit 1 Ditreskrimum, lalu Kabid Infrastruktur Pertanahan BPN, Kabid Penataan LHK. Kabid Perkebunan, Pol PP, Polhut dan Terakhir Tim Yustisi akan dipimpin Dirreskrimsus Polda, selanjutnya Asisten Datun Kejati, Kabiro Hukum Setdaprov, Kabid Pajak Daerah, serta perwakilan Direktorat Jenderal Pajak .
“Satgas ini harus segera dijalankan untuk menindak perkebunan sawit illegal hasil temuan Pansus Monitoring Perizinan DPRD Provinsi Riau pada 2015 sebelum RUU Pertanahan disahkan,” kata Made Ali Koordinator Jikalahari, “Ini sejalan dengan dukungan publik melalui laman change.org sebanyak 165.000 orang yang telah diserahkan ke KPK, Gubernur Riau dan Menteri LHK, mendukung penertiban ini agar Riau terlepas dari bencana kabut asap.”
Pada 2015, Pansus Monitoring Perizinan DPRD Provinsi Riau menemukan 378 dari 513 perusahaan perkebunan kelapa sawit tidak berizin dominan berada di dalam kawasan hutan seluas 1,8 juta hektar yang telah merugikan keuangan negara berupa tidak membayar pajak Rp 34 Triliun per tahun. Korporasi-korporasi itu selain berada di dalam kawasan hutan, juga menanam tanaman sawit melebihi izin Hak Guna Usaha (HGU).
Pada 16 November 2016, Jikalahari bersama KRR melaporkan 33 korporasi sawit ke Polda Riau diduga telah melakukan tindak pidana penggunaan kawasan hutan dan lahan secara illegal. 33 korporasi ini merupakan temuan Pansus Monitoring Perizinan DPRD Provinsi Riau pada 2015. Hasil pantauan Jikalahari melalui Satelit Terra-Aqua Modis sepanjang 5 tahun terakhir sejak 2014 ada 1.204 hotspot muncul di areal kebun sawit milik 33 korporasi ini. Dengan Confidence > 70%, ada 651 titik yang berpotensi menjadi titik api. Hotspot terbanyak berada berada di areal PT Guntung Hasrat Makmur (416 titik), PT Guntung Idaman Nusa (97 titik), PT Palma Satu (88 titik) dan PT Jatim Jaya Perkasa (25 titik).
Jikalahari juga melaporkan 49 korporasi pelaku pembakaran hutan dan lahan pada 2014 – 2016 ke Polda Riau pada 18 November 2016, hingga detik ini juga belum diproses. Berdasarkan pantauan Satelit Terra-Aqua Modis dan menemukan bahwa sepanjang 2019 ada 683 hotspot muncul di areal konsesi 49 korporasi ini. Dengan Confidence > 70%, ada 272 titik yang berpotensi menjadi titik api. Hotspot terbanyak berada di: PT Sumatera Riang Lestari (131 titik), PT Rimba Rokan Lestari (71 titik), PT Panca Surya Agrindo Sejahtera (51 titik), PT Arara Abadi (33 titik) dan PT Peputra Supra Jaya (16 titik). “Satgas penertiban sawit illegal yang dibentuk Gubernur harus berani menindak 33 dan 49 korporasi yang menjadi penyebab kabut asap di Provinsi Riau,” kata Made
Selain penyebab karhutla, 33 korporasi sawit dan 49 korporasi sawit dan HTI merupakan penyebab deforestasi di Riau. Hasil analisis Jikalahari di arel 33 korporasi sawit, pada tahun 2008 tutupan hutan alam seluas 9.501,93 hektar namun pada tahun 2018 tinggal 571,22 hektar terjadi deforestasi seluas 8.930,71 hektar. Sedangkan diareal 49 korporasi sawit dan HTI pada tahun 2008 tutupan hutan alam seluas 326.693,93 hektar dan pada 2018 tinggal 80.027,56 hektar terjadi deforestasi seluas 246.666,37 hekktar. “Jika RUU Pertanahan tetap disahkan oleh DPR RI deforestasi akan semakin menggila di Riau dengan alasan untuk merealisasikan 20% dari areal yang berada di sekitar HGU korporasi untuk petani, pekebun dan petambak plasma.” Kata Made.
Temuan Jikalahari di lapangan menunjukkan bila RUU Pertanahan menjadi UU dampaknya akan terjadi deforestasi besar-besaran dengan cara melakukan pembakaran hutan dan lahan serta melegalkan kejahatan kehutanan 378 korporasi sawit yang lahannya kembali terbakar sepanjang 2019 hingga 6 juta warga Riau kembali terpapar polusi asap.
Bayangkan 1,8 juta kawasan hutan anggaplah hutan alam tersisa 1 juta hektare, lahan seluas itu akan segera digunduli oleh korporasi. Lalu dibakar karena biayanya murah. Habitat flora dan fauna yang selama ini hidupnya di hutan alam, mereka akan punah secara cepat.
Jika ini terjadi, Presiden Jokowi telah melanggar sendiri komitmen berupa moratorium sawit, moratorium hutan. Dua kebijakan itu sebagai wujud komitmen presiden jokowi di Paris Agreement yang telah menjadi UU No 16 tahun 2016 yaitu komitmen nasional hendak menurunkan emisi berupa; pelestarian hutan, energi terbarukan, dan peran serta masyarakat lokal dan masyarakat adat dalam pengendalian perubahan iklim yang selama ini diperjuangkan Indonesia. Termasuk menghentikan karhutla dengan cara merestorasi gambut akan sia-sia sebab sebagian besar 378 korporasi itu berada di atas lahan gambut. Itu artinya jokowi akan melegalkan tindakan korporasi itu merusak gambut.
Jikalahari menelaah RUU Pertanahan Versi draft awal, draft versi Juni 2019 dan Versi Juli 2019. “Versi Juni dan Juli 2019 adalah versi penuh kegelapan karena dibahas tersembunyi dan tertutup rapat hingga publik tidak tahu perkembangannya,” kata Made
Pertama, Pasal 146 berbunyi; dalam hal pemegang HGU telah menguasai fisik tanah melebihi luasan pemberian HGU dan/atau Tanah yang diusahakan belum memperoleh hak atas tanah, status HGU ditetapkan oleh menteri. Pasal ini jelas menguntungkan 378 korporasi sawit illegal dalam kawasan hutan. “Dia kuasai lahan lebihi HGU yang berada dalam kawasan hutan atau tanah dalam kawasan hutan yang belum punya hak atas tanah, statua HGUnya ditetapkan Menteri ATR/BPN. Status apa? Illegal atau legal?” kata Made
Kedua, Pasal 33 ayat 9 berbunyi; dalam hal pemegang HGU menguasai fisik melebihi luasan pemberian haknya maka status tanahnya dihapus dan menjadi tanah yang dikuasai oleh negara dengan status hak pengelolaan. Pasal 33 ayat 9 untuk frasa HGU kuasai fisik lebihi luasan HGU status tanahnya dihapus. Namun dalam pasal 146 frasa kuasai tanah lebihi pemberian HGU status HGU ditetapkan oleh Menteri. Mana yang harus diikuti? Nah pasal ini saja sudah saling bertentangan.
Ketiga, memindahkan konflik tenurial pada KLHK. Terlihat dalam pasal 33 ayat 5 dan ayat 6. Ayat (5) berbunyi; dalam hal hak guna usaha diberikan atas Tanah Negara, maka pemegang hak wajib menyediakan Tanah untuk pekebun atau petani atau petambak plasma di sekitar atau yang berdekatan dengan lokasi hak guna usaha, yang luasnya paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari luas Tanah yang diberikan dengan prinsip ekonomi berkeadilan.
“Mustahil perusahaan akan membagikan 20 persen dalam HGUnya. Karena pasal ini memberi peluang 20 persen di luar HGUnya, temuan Jikalahari 20 persen itu dominan berada di dalam kawasan hutan,” kata Made, “Nah, perusahaan ajukan ke menteri ATR/BPN 20 persen di kawasan hutan. Lalu KLHK tidak setuju karena berada di kawasan hutan fungsi HPK. Korporasi dan Menteri ATR BPN dengan mudah menyalahkan KLHK dan petani akan mengutuk KLHK.”
Keempat, Pasal 33 ayat 6 berbunyi; Dalam hal Tanah 20% (dua puluh persen) dari luas Tanah yang diberikan tidak tersedia dari bagian tanah hak guna usaha yang dimohon atau tidak tersedia di lokasi lain yang memungkinkan masyarakat sekitar dapat mengusahakan maka dapat diberikan dalam bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri.
“Bentuk lainnya apa? Ini luar biasa kewenangan Menteri ATR BPN. Jika tak tersedia dia bisa berikan dalam bentuk lain. Korporasi diberi kemudahan oleh Menteri ATR BPN, ini berbahaya dan membuka peluang korupsi karena dalam bentuk lain bisa saja berasal dari permintaan korporasi. Dan ini bisa transaksional,” kata Made
Kelima, pemaksaan melegalkan kejahatan kehutanan atau menghilangkan tindak pidana kehutanan bisa dilakukan dengan status HGU dari menteri atr dan bpn (lihat pasal 146 dan 33). Menteri ATR BPN dapat mengampuni kejahatan kehutanan korporasi sawit.
Jika ini terjadi, Presiden Jokowi telah melanggar sendiri komitmen berupa moratorium sawit, moratorium hutan. Dua kebijakan itu sebagai wujud komitmen presiden jokowi di Paris Agreement yang telah menjadi UU No 16 tahun 2016 yaitu komitmen nasional untuk menurunkan emisi berupa; pelestarian hutan, energi terbarukan, dan peran serta masyarakat lokal dan masyarakat adat dalam pengendalian perubahan iklim yang selama ini diperjuangkan Indonesia.
Jikalahari merekomendasikan kepada Presiden Jokowi memecat Menteri ATR/BPN RI karena pasal-pasal dalam RUU Pertanahan justru merugikan pemerintahan Indonesia dalam Paris Agreement berupa pelestarian hutan untuk menghentikan perubahan iklim.
Narahubung:
Made Ali, Koordinator Jikalahari 081275311009
Aldo, Staf Kampanye dan Advokasi Jikalahari 0812 6111 634