FITRA Riau – Jikalahari – ICW
Pekanbaru 11 Agustus 2016–Hasil kajian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA Riau) bersama Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) dan Indonesia Corruption Watch (ICW), menemukan terdapat kekurangan penerimaan daerah provinsi Riau dari Pendapatan DBH PSDH dan DR mencapai Rp. 795,9 Milyar sepanjang tahun 2010-2014. Temuan ini berdasarkan hasil perhitungan realisasi produksi kayu dengan realisasi penerimaan DBH -PSDH dan DR yang tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) setelah audit.
DBH PSDH sebagai mana tercatat dalam LKPD pemerintah daerah se Provinsi Riau tahun 2010-2014, adalah sebesar Rp. 717 Milyar. Sementara hasil perhitungan dengan menggunakan data realisasi produksi kayu di Riau, seharusnya penerimaan daerah se Riau dari PSDH mencapai Rp. 833 Milyar. dengan demikian terdapat kehilangan sebesar Rp. 116 Milyar DBH PSDH yang seharusnya diterima daerah se Provinsi Riau.
Sedangkan untuk DBH Dana Reboisasi (DR), ditemukan terdapat perbedaan yang sangat jauh antara realisasi penerimaan yang tercatat dalam LKPD dengan hasil perhitungan dalam kajian ini. Hasil perhitungan DR yang mestinya diterima pemerintah daerah se Riau, sebesar Rp. 1,014 T. Sementara realisasinya hanya Rp. 335 Milyar, terdapat kehilangan sebesar Rp. 679 Milyar yang seharusnya diterima daerah.
Hasil kajian ini, menunjukkan pula bahwa selama ini kontribusi pendapatan dari sektor kehutanan terhadap pendapatan daerah se Riau sangat minim, dikarenakan kekurangan penerimaan daerah yang semestinya diterima setiap tahun, baik dari PSDH maupun DR. Untuk bagian Provinsi Riau, pendapatan dari sektor kehutanan hanya berkontribusi rerata 2010-2014 0,4% dari total pendapatan daerah Provinsi Riau. Sedangkan kontribusi untuk pendapatan daerah se Provinsi Riau hanya berkontribusi 4-5% dari total pendapatan 12 kabupaten dan kota di Riau sepanjang 2010-2014.
Kekurangan penerimaan DBH PSDH dan DR salah satu disebabkan oleh keberagaman data yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah baik ditingkat daerah maupun ditingkat pemerintah pusat dan lembaga Statistik. Sementara pembagian DBH data produksi sangat menentukan berapa penerimaan negara yang akan diterima dari sektor kehutanan serta menjadi intrumen pembagi DBH ke daerah. Data yang singkron dan banyaknya data yang bervariasi akan menyulitkan dalam menghitung pembagian DBH tersebut.
Kajian ini juga menemukan perbedaan data realisasi produksi yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Riau, dengan data realisasi produksi yang tercantum dalam beberapa Rencana Kerja Tahunan (RKT) perusahaan yang dilaporkan. Seperti, Data RKT untuk pemegang izin IUPHHK-HTI PT. RAPP tahun 2014, data realisasi produksi yang tertera dalam RKT perusahaan ini, terdapat 479,278,38 m3 kayu jenis Acasia, sedangkan berdasarkan Data Dinas Kehutanan produksi kayu yang di hasilkan PT. RAPP di kabupaten Siak pada tahun 2014 sebesar 482,223,08 m3 jenis Acasia, terdapat perbedaan yang tipis sekitar 2,994,70 m3.
Selain itu, juga terdapat perbendaan produksi kayu dari hutan alam (rimba campuran), terlihat; berdasarkan RKT produksi kayu alam sebesar 9,388,91 m3 sedangakan berdasarkan dinas kehutanan kayu alam di produksi sebesar 9,390,00 m3. Artinya, dengan adanya ketidaksesuaian pendataan produksi kayu tersebut maka akan berimplikasi pula terhadap penerimaan Negara dari sektor Kehutanan ( DBH PSDH, DR) yang tidak terukur.
Bahkan kajian ini juga menemukan beberapa daerah di Provinsi Riau yang mengalami lebih besar DBH PSDH dari yang semestinya diterima. Sementara terdapat daerah yang justru penerimaan dari PSDH tidak sesuai dengan data produksi yang di peroleh dari daerah nya.
Sedangkan untuk DBH DR, justru selain kekurangan penerimaan secara akumulatif se luruh daerah se Riau, juga terdapat daerah yang semestinya mendapatkan DR namun justru tidak mendapatkan. Di Provinsi Riau terhadap 11 daerah yang menjadi penghasil kayu alam, akan tetapi berdasarkan LKPD masing daerah, hanya da 8 (delapan) daerah yang menerima DBH DR, sementara 3 (tiga) daerah tidak mendapatkan DR.
Besarnya potensi kekurangan penerimaan negara, yang juga bepotensi terjadi kerugian negara dari pengelolaan sumberdaya alam sektor kehutanan, maka pemerintah baik pusat dan daerah harus memperbaiki tata kelola penerimaan negara dari sektor kehutanan tersebut. Hal ini agar penerimaan negara dari pengelolaan sumberdaya alam kehutanan yang selama ini berkontribusi minim tidak sebanding dengan luasan serta kerusakan lingkungan, dapat dioptimalkan untuk membiayai pembangunan kedepan.
Hal – hal yang harus dilakukan yaitu, Pertama: pengelolaan pedapatan dari sektor kehutan harus dilakukan secara transparans, penggunaan data yang akurat serta mempublikasi informasi produksi kayu yang sebenarnya berdasarkan klasifikasi jenis kayu dan pembayara PSDH berdasarkan perusahaan. Kedua mengidentifikasi ruang-ruang yang berpotensi disalahgunakan untuk mendapatkan keuntungan piribadi, ketiga : penegak hukum harus melakukan audit secara khusus penerimaan dari sektor kehutanan yang selama ini dilakukan.