Pekanbaru, Selasa 4 Desember 2018—Jikalahari mengapresiasi Pansus IV DPRD Kabupaten Kampar berkunjung ke sekretariat Jikalahari pada 2 Desember 2018 guna konsultasi dan sharing informasi pembahasan Ranperda RTRWP Kabupaten Kampar Berbasis Konservasi. Ketua Pansus Tony Hidayat datang bersama Triska Felly, Harsono, Syarifudin, M. Ausar dan Zulpan Azmi, juga hadir Zaki dari Bappeda Kampar.
“Kami apresiasi semangat DPRD Kampar yang melibatkan masyarakat dalam penataan ruang, ini penting dilakukan karena dapat mencegah dampak negatif kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, ruang kelola masyarakat, flora dan fauna. Apalagi Kampar salah satu benteng bentang alam tersisa,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari. Dalam Undang – Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan pada pasal 65 ayat (1) Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat (2) Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang.
Dalam pertemuan ini Tony Hidayat Ketua Pansus IV DPRD mengatakan Pansus bekerja dua bulan. Desember ini akan diparipurnakan. “Kami tak hendak legalkan cukong dan korporasi,” kata Tony Hidayat. “Pansus akan mengutamakan kepentingan masyarakat dan lingkungan dengan menjadikan Perda yang berbasis konservasi.”
Perda berbasis konservasi mendorong penyelamatan Bentang Alam Rimbang Baling dengan luas sekitar 500.000 Ha. Rimbang Baling merupakan kunci dari Bentang Alam Konservasi Harimau Sumatera. Bentang alam ini mencakup beberapa kawasan konservasi seperti Suaka Margasatwa Rimbang Baling, Cagar Alam Bukit Bungkuk, perkebunan dan wilayah kelola masyarakat tradisional. Bentang alam ini memainkan peran sangat penting bagi masyarakat Kampar, misalnya sebagai menara air dan sumber kehidupan lainnya. Dalam Perda Kampar akan diatur bagaimana pengelolaan hutan Rimbang Baling yang juga memikirkan masyarakat yang berada di sekitarnya.
Ranperda RTRW Kampar disusun setelah Perda RTRWP Riau No 10 Tahun 2018 terbit pada 8 Mei 2018. “Ranperda RTRWP Kampar wajib merujuk Perda RTRWP Riau, meski isi Perda RTRWP Riau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan mematikan kreatifitas serta aspirasi masyarakat untuk mengembangkan ruang kelola masyarakat,” kata Made Ali.
Catatan Jikalahari perihal Perda 10 Tahun 2018 Tentang RTRWP Riau 2018-2038 yaitu: pertama, KLHS belum disetujui Menteri LHK tapi dijadikan lampiran dalam Perda. Kedua, usulan Perhutanan Sosial dan Tora dibahas bersama DPRD, padahal bukan kewenangan DPRD. Ketiga DPRD Riau mengambil alih kewenangan Menteri LHK terkait perubahan dan peruntukan kawasan hutan, persetujuan KLHS dan perizinan kawasan hutan. Keempat, Outline seluas 405.830 ha seharusnya masih usulan untuk perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dijadikan norma pasal di dalam Perda.
Kampar mendapat outline seluas 39.774,83 Ha dari 405.830 ha, dengan rincian: infrastruktur 537,13 ha, kawasan pertanian 3.909,60 ha, pemukiman 3.294,21 dan perkebunan rakyat 32.033,89 ha. Hasil Investigasi Jikalahari pada 2016-2017 menemukan kebun sawit illegal milik 2 korporasi perkebunan sawit PT Padasa Enam Utama seluas 1.926 ha dan PT Agro Mandiri/Koperasi Sentral Tani Makmur Mandiri seluas 485 ha dalam outline. “Dua korporasi ini berada dalam kawasan hutan, itu artinya telah melakukan tindak pidana kehutanan. Namun, oleh Perda RTRWP Riau dipaksakan untuk dilegalkan tanpa melalui proses perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan,” kata Made Ali.
Jika ada usulan masyarakat Kampar di luar outline seluas 39.774,83 ha yang berada di dalam kawasan hutan, Perda RTRWP Riau tidak memperbolehkan. “Oulitne menghambat ruang partisipasi dan ruang kelola masyarakat adat dan tempatan termasuk pembangunan Kabupaten Kampar,” kata Made Ali.
Jikalahari berharap pada Pansus IV DPRD Kampar tidak terburu – buru menetapkan Perda RTRWP Kabupaten Kampar, sebab butuh masukan dari masyarakat adat terutama hasil perjuangan alm Datuk Bustamir yang memperjuangkan pengakuan atas tanah dan wilayah Masyarakat Adat Kuntu melalui Putusan MK 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa Hutan Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat dan bukan lagi hutan Negara.
Jikalahari mengusulkan agar DPRD Kampar memetakan wilayah adat dan memasukkan dalam Ranperda RTRW Kampar sebab Kampar sudah punya Perda No 12 Tahun 1999 tentang Tanah Ulayat. “Kelemahan Perda 12 tersebut berupa peta wilayah adat, bisa dimasukkan di dalam RTRW Kampar,” kata Made Ali.
Narahubung:
Made Ali, Koordinator Jikalahari 0812 7531 1009
Aldo, Staf Kampanye dan Advokasi Jikalahari 0812 6111 6340