Pekanbaru, 14 April 2022— Jikalahari mendesak percepatan realisasi perhutanan sosial di eks PT Rimba Rokan Lestari (PT RRL) di Bengkalis. PT RRL resmi dicabut Presiden Jokowi melalui kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 5 Januari 2022 dengan SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022.
Izin PT RRL berdasarkan SK Menhut nomor : 262/kpts-ii/1998 Tentang pemberian hak pengusahaan Hutan Tanaman Industri atas areal hutan di Provinsi daerah tingkat I Riau dengan luas ± 14.875 Ha. “Selama ini PT RRL berkonflik dengan 19 desa di Bengkalis, pemerintah harus segera mendistribusikan hutan eks PT RRL kepada masyarakat melalui perhutanan sosial,” kata Okto Yugo Setiyo, Wakil Koordinator Jikalahari.
Berdasarkan Keputusan Presiden (kepres) No 1 Tahun 2022 tentang Satuan Tugas Penataan Penggunaan lahan dan Penataan Investasi, izin-izin yang dicabut pengelolaannya dapat diberikan kepada masyarakat. Salah satu tugas Satgas adalah memberikan fasilitasi dan kemudahan perizinan berusaha bagi badan usaha milik desa/daerah, organisasi/kelompok masyarakat, usaha kecil menengah di daerah, serta koperasi untuk mendapatkan peruntukan lahan.
Masyarakat adat dan tempatan termasuk dalam kelompok penerima alokasi distribusi tanah dari pasca pencabutan izin konsesi korporasi. Apalagi bagi masyarakat yang memiliki hubungan yang kuat secara turun-temurun terhadap tanah tersebut.
Sejalan dengan kepres tersebut dan jauh sebelum Pencabutan izin oleh Presiden Jokowi, Aliansi Masyarakat Bantan dan Bengkalis menolak PT RRL sejak 2015. Masyarakat mendesak pemerintah mencabut PT RRL karena berada di atas pemukiman dan lahan pertanian masyarakat di 19 desa di Kecamatan Bantan dan Bengkalis yang dihuni lebih dari 28 ribu jiwa. Bahkan masyarakat Desa Bantan Sari dan Desa Bantan Timur telah mengusulkan izin perhutanan sosial sejak Desember 2018 dan telah diverifikasi teknis pada Desember 2019.
“Kami telah mengusulkan izin perhutanan sosial di wilayah kami yang selama ini ada izin PT RRL di atasnya. Kami berharap segera diberikan izin PS tersebut dan kami siap memanfaatkan tanah-tanah tersebut untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dengan cara yang ramah lingkungan,” kata Muis, Koordinator Aliansi Masyarakat Bantan.
Memang pemerintah telah mengalokasikan 12,7 juta ha dalam Peta Indikatif Alokasi Perhutanan Sosial (PIAPS) dan di Riau mencapai 1,2 juta hektar. Namun PIAPS tersebut tak selalu tersedia di setiap desa. Tanah-tanah masyarakat adat dan tempatan yang didapatkan secara turun-temurun lebih banyak berada pada lokasi-lokasi yang saat ini telah dibebani izin korporasi oleh pemerintah di masa lalu. Sehingga pencabutan izin korporasi HPH dan HTI menjadi jalan untuk memenuhi hak-hak konstitusi masyarakat melalui PS ini.
Percepatan realisasi perhutanan sosial di eks konsesi korporasi kehutanan, baik HPH maupun HTI juga menjadi kesempatan besar untuk pemulihan ekonomi yang menurun akibat pandemi Covid19. Hutan tanah tersebut akan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi, sosial dan pemulihan lingkungan yang rusak. Perhutanan sosial itu juga dapat menyelesaikan konflik agraria yang terjadi antara masyarakat dengan korporasi maupun pihak lain.
“Jangan sampai tanah-tanah di eks konsesi yang dicabut izinnya tak dikembalikan ke masyarakat adat dan tempatan, apalagi diserahkan kembali ke korporasi yang baru, ini akan menimbulkan konflik baru lagi,” kata Okto.
Indikasi tanah-tanah eks konsesi yang dicabut akan diserahkan kembali ke korporasi itu ada dan sangat memungkinkan. Temuan Jikalahari, Pada 22 Oktober 2020, Dinas LHK Provinsi Riau menandatangani perjanjian kemitraan Kerja sama Nomor: 525/PPH/3099 dan Kerja sama Nomor:525/PPH/3101 dengan PT Bumi Laksamana Jaya (PT BLJ) di eks konsesi PT RRL. PT BLJ sendiri sangat tidak kredibel untuk memanfaatkan lahan tersebut. PT BLJ terlibat korupsi dana penyertaan modal Pemkab Bengkalis ke BUMD yang merugikan negara senilai Rp 265 miliar. Kasus ini menyeret mantan Bupati Bengkalis Herliyan Saleh yang dihukum penjara 6 tahun.
“Bukan hanya terlibat korupsi, PT BLJ juga tidak punya pengalaman dalam usaha kehutanan dan lingkungan hidup,” kata Okto.
Oleh sebab itu, Jikalahari mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk fokus dan tegas dalam penataan penggunaan tanah pasca pencabutan izin agar tepat sasaran, tak menimbulkan konflik baru dan dapat meningkatkan ekonomi masyarakat yang terdampak pandemi covid-19.
Narahubung:
Okto Yugo Setiyo, Wakil Koordinator Jikalahari 0853 7485 6435
Arpiyan Sargita, Staf Kampanye dan Advokasi Jikalahari 0812 6111 6340